0.6

153 20 8
                                    

"Rai!"

Suara cempreng Isha mau tak mau membuat Rai mengucek mata malas. Sungguh, kalau bukan saudara bahkan kembaran sudah Rai depak Isha ke alam kubur. Oh, Rai lupa, Isha sama sekali tak ada ikatan darah dengan Rai.

K-e-j-a-m

Erangan Rai membuat Isha melotot. Sungguh, pagi-pagi saja Isha sudah berfikiran negatif. Padahal, erangan Rai wajar saja mengingat Isha pasti pernah mengerang saat bangun tidur juga.

"Aehm, apasih?" Tanya Rai malas. Rambutnya yang lurus sepinggang berantakkan sendiri akibat pergerakkan saat tidur. Ditambah dengan mimik muka Rai yang sangat bantal. Cukup, mampu, bisa, sangat membuat Isha tergelak dan diam-diam mengabadikannya dalam memori handphone milik Isha.

Isha berdehem. Menetralkan suaranya, "sekolah." Singkat-padat-jelas, bahkan Rai lupa hari ini hari Selasa. Weekday!

Mata Rai sukses melotot, dengan kecepatan rata-rata terjun bebas, Rai lompat dari kasur dengan wajah panik. Melihat beker yang menunjukkan pukul enam lewat lima. Gak akan pas!

Terburu-buru, membuat Rai sama sekali tak sadar bahwa kaki kanannya yang kemarin disiksa oleh tukang urut tersangkut selimut yang melilit di tiang penyangga kasur tingkat atas. Kasur Rai memang dua tingkat. Membuat Rai terjungkal dengan posisi mengenaskan, lagi.

Rai diam. Frustasi kenapa kakinya selalu menjadi korban kekerasan dan sadisnya kecerobohan Rai. "Kaki gue, sakit."

Suara debuman tangga mulai terdengar. Beberapa detik setelah Isha dan Rai menjerit.

"MAMA! RAI JATUH!"

×××

Sapaan bahkan ledekkan sepanjang koridor membuat Rai mengeluh tak karuan. Kalau bukan karena mamah Rai yang memaksa, Rai tak akan sudi untuk di perban.

"Idie, itu kenapa sih Re?"

Oke Rai akui, disekolah Rai keseringan dipanggil Re. Padahal, itu nama keramat yang bisa bikin Rai nangis di kamar semalaman.

"Caper banget sih, kaki gak kenapa-kenapa segala sok di perban."

Oke, sekali lagi Rai akui Rai memiliki banyak haters yang kebanyakan berasal dari kakak kelas. Mungkin, perihal adu mulut Rai dan Davian atau Davin si ketua osis masih membekas di hati fans berat Davian.

"Cie pincang, lucu deh."

Sindir salah satu kakak kelas yang berdiri tepat di pojok koridor. Berdiri sejejer, saling merumpi, adu keras suara tawa, berbagi gossip. Rai sendiri kenal betul dia siapa, dia Fai yang memiliki dendam pribadi dengan Rai. Lagipula, Fai dengan Tai beda tipis. Jadi jangan salahkan mulut Rai yang asal bunyi.

"Gak merasa di sindir." Gumam Rai sarkas, lalu berjalan ke lantai satu bagian pojok. Tempat kelasnya berada. Dan jangan lupakan, pincang di setiap langkah Rai berjalan.

Saat sesampai di depan kelas, tatapan mata aneh menghujat diri Rai yang meringis ngilu akibat rasa sakit yang kembali menyerangnya di bagian kaki.

Termasuk Alvin.

Rai acuh, menganggap bahwa kedekatannya dan Alvin kemarin hanyalah mimpi dan ilusinya semata. Yah, anggap saja ilusi seorang Rai yang terlalu banyak membaca novel bergenre romance dengan happy ending dan sweet boyfri(end). Cukup sudah materi menjelek-jelekkan novel, karena jauh di lubuk hati Rai terdalam sekalipun Rai iri. Ingin menjadi peran utama di novel-novel yang sering dibacanya.

Hah, andai saja kalau Rai dan Isha sekelas. Pastilah Rai akan menjadikam Isha tameng pelindung Rai. Iya, tameng pelindung. Bukan sayap pelindung.

"Rai, kaki lo kenapa?" Tanya Mela, temen sejak SMP Rai dulu. Seenggaknya Rai bersyukur, saksi kalah Alvin berandalan bertambah populasi.

Rai menggeleng lemah, berjalan ke arah mejanya yang berada paling belakang. Sebelah Alvin. "Gak kok Pam, tadi jatuh." Balas Rai. Memang, Rai, Isha, Alvin dan kawan SMP lebih senang memanggil Mela dengan sebutan Pam. Sebetulnya Pame, oh bahkan yang lebih asli Mel.

Saat sampai di singgasananya, Rai menaruh ransel hitam miliknya yang baru berganti atas dasar kiriman, Rai duduk. Disambut dengan senyuman Alvin. "Kaki lo kenapa?"

"Udah tau malah nanya." Jujur aja, kalau bukan karena fans Alvin yang melampau senior, Rai gak akan ketus kayak gini. Secara, Alvin itu

Cogan? Cek!

Cool? Cek!

Bad boy? Cek!

Jomblo? Cek!

Cek! Cek! Cek!

Alvin mengernyit. Modus lo kemarin gagal bro. Batin Alvin.

Dengan raut muka dibuat sepolos mungkin, Alvin mengangguk paham. "Jangan takut sama fans gue."

"Pede banget lo, kutil semut."

"Idie, pernah liat lo ya?" Goda Alvin, berniat membuat Rai sekut.

"Pernah! Ini disamping gue!" Todong Rai ketus. Sembari menunjuk-nunjuk Alvin yang melotot kesal.

Tapi sejurus kemudian Alvin tersenyum, Betapa lo bakal nyesel Rai. Karena nanti gue bakal bikin lo nangis ngeharapin cinta gue.

"Mimpi aja lo sana!"

×××

Jakarta, 29 Desember 2015.

Oke! Ini gue tau, ceritanya melenceng jauh dari alur. Jadi bertele-tele or something like that. Percaya dah, gue tuh author labil yang kadang suka lupa alur cerita sendiri. Jangankan alur cerita, tokoh utama aja masih diingetin temen.

Oke, gue gak ada temen.

Jadi mulai besok, gue bakal bikin cerita ini semula kayak alur. Pendekatan Alvin sama Rai.

Stop Gin, lo bacot banget.

Oke maafkan aing. Jadi, ya gitu. Pokoknya, vommentin aja sih udah. Tinggal pencet tombol bintang apa susahnya sih?

Gina emosi.

Halah sudahlah.

10+ vomment bakal gue lanjut.
15+ photo Alvin.

Sekian.

BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang