0.3

205 26 8
                                    

Rai terus merengek-rengek, mengapit kaki kiri Isha yang berniat meninggalkannya pulang. "Ini gimana Sha? Ah, lo sih. Tanggung jawab gak mau tau." Rengek Rai. Koridor kelas yang sepi membuat aksi rengek-merengek antara Isha dan Rai tidak terlalu ketahuan publik.

"Apanya yang gimana sih?!" Omel Isha kesal. Rai terduduk lemas, "ituloh, baru pertama MOS aja Alvin udah banyak fans. Rata-rata senior pula, kalo gue pulang sama dia nanti ketahuan publik gimana? Bisa-bisa gue dilabrak tiga angkatan sekaligus kali." Cerocos Rai malas.

"Hubungan sama gue apa?" Tanya Isha tenang, seakan-akan masalah takutnya Rai adalah hal biasa.

"NANTI GUE DIBULLY! GAK PEKA AMAT SIH LO!" Teriak Rai langsung di depan telinga Isha.

Di hadapan Isha dan Rai, berdiri Alvin dengan permainan mendribel basketnya. Bahkan sesekali Alvin menshoot bola tepat sasaran. "Mau kabur?" Tawar Isha pada akhirnya. Rai mengangguk antusias.

"Iya iya gue mau kabur!" Jerit Rai senang. Membuat Alvin menengok ke arah Rai dan menghampirinya.

"Siapa yang mau kabur? Ayo Rai gue anterin." Suara Alvin bak tusukkan jarum yang mendarat di balon besar penuh udara. Yang suaranya membuat Rai menoleh secara cepat dengan mata melotot dan mulut mengap-mengap ketakutan.

Alvin terdiam, kaget juga melihat ekspresi yang dikeluarkan Rai tanpa sadar. "Kenapa?" Tanya Alvin heran, lengkap dengan kerutan-kerutan di dahinya. Rai menggeleng, "gu-gue, gue pulang sama Isha! Ah iya, gue pulang sama si Isha. Ya kan Sha?" Tanya Rai dengan suara memelas. Meminta persetujuan dari seorang Raisha Geraldine W.

Krik.. krik..

Satu detik..
Dua detik..
Tiga detik..
Empat detik..
Lima detik..

Krik.. krik..

Gak ada sahutanpun sama sekali. Justru suara bingung Alvin yang menjawab. "Ngomong sama siapa? Perempuan yang disamping lo? Kan udah balik."

"Hah?! Sejak kapan?" Tanpa sadar, mulut Rai mengucapkan sepotong pertanyaan yang membuat Alvin tersenyum.

"Daritadi. Yaudah ayo." Ajak Alvin sembari menggenggam tangan Rai lembut. Rai melotot.

Anjir tangannya gak selon. Tapi gakpapa, sama orang kayak Alvin mah santai. Ya Allah, salah fokus.

Alvin mebawa Rai ke parkiran. Setelah sampai, Alvin memnyodorkan Rai satu helm berwarna hitam dengan ukiran 'S' di bagian kepala. Sedangkan Alvin mengeluarkan motor, Rai memperhatikan ukiran 'H' di helm Alvin.

"Ini naiknya gimana?" Tanya Rai polos, melihat motor besar milik Alvin. Apalagi Rai memakai rok khas seragam perempuan.

Alvin menggeleng, "ini lo naik ke sini." perintah Alvin, menunjuk pijakkan di motornya. "Pegangan pundak gue, abis itu nanti lo berdiri--"

"Ngapain?" Potong Rai cepat.

Alvin menggeleng. "Dengerin aku dulu makanya." Ujar Alvin, yang tanpa sadar menggunakan logat aku-kamu.

Gila, Alvin bad boy bisa manis juga ya. Eh tapi apa tadi dia bilang? Aku? Okesip, Rai gak boleh baper.

Alvin berdehem, mencairkan suasana canggung akibat tutur kata yang digunakan Alvin saat berbicara dengan Rai tadi. Yailah, modus ke calon pacar gapapa kali.

Eh.

Rai mengangguk paham. "Gue ngerti, jadi nanti gue benerin rok kan pas diri. Nah gue diri nanti--"

"Sembari pegangan gue lah." Potong Alvin, mendengar intonasi bingung dari Rai.

Rai mengangguk, menaikkan kakinya lalu berdiri. Membetulkan roknya yang sangat terbuka. "Aurat jangan sampe kelihatan Rei." Ingat Alvin.

"Nama gue Rai, Vin."

"Bodo amat." Gerutu Alvin.

Rai mencebikkan bibirnya pelan, menggetok helm Alvin kencang. Mungkin isyarat supaya jalan.

Motor yang Alvin kendarai melaju kencang, menjadi satu dari sekian ratus bahkan ribuan kendaraan yang menyumbangkan suara bising dan asap polusi. Alvin menunduk ke arah speedometer motor miliknya, matanya tertuju pada alat yang menunjukkan besin miliknya menipis.

Dengan gila-gilaan, Alvin melajukan motornya kencang. Membuat Rai refleks berpegangan kencang pada pinggang Alvin.

"Lo ngapain?!" Tanya Alvin panik, takut Rai mendengar bahkan merasakan degup jantung Alvin.

"Pegangan lah! Lo mau gue mati?!" Balas Rai sengit.

"Tapi lo gak denger kan?" Tanya Alvin, yang masih bisa didengar oleh Rai secara samar-samar.

"Apa?!" Balas Rai, berteriak. Supaya Alvin bisa mendengar suaranya.

"Detak jantung gue." Balas Alvin pelan, sangat pelan. Sehingga Rai tidak dapat mendengarnya, apalagi dibarengi dengan suara klakson truk.

Rai mengernyit, "tadi lo ngomong apa?!"

"Gak. Gak ngomong apa-apa."

Mulut Rai membulat, seolah mengatakan oh. "Gue mau ngebut." Lapor Alvin.

×××

Motor yang dikendarai Alvin memasuki daerah perumahan Rai. "Masih yang lama kan?" Tanya Alvin dengan nada suara biasa, tidak lagi menaikkan beberapa oktaf suara seperti saat di jalan raya.

"Apanya?" Tanya Rai bingung.

"Softex." Balas Alvin santai. Yang langsung mendapat pukulan maut di helm hitamnya. "Serius!" Omel Rai kesal.

"Rumah lo lah, bolod." Ketus Alvin kesal. Rai terkekeh kikuk, "he. Iya."

Setelah sampai di depan rumah Rai, Alvin mematikan mesin motornya sebentar. Langit yang menampilkan semburat merah kejingga-jinggaan membuat Rai dan Alvin terdiam sejenak.

Berasa kayak di novel scenenya ini mah.

"Mau mampir?" Tanya Rai canggung. Alvin menggeleng dari balik helm. "Gue langsung pulang aja, udeh sore. Lo balik mandi sono, badan lo bau."

"Sialan!"

Alvin tergelak, dihidupkan kembali mesin motornya lalu melaju kencang.

"Balik Rai!"

"Hati-hati!" Balas Rai dengan suara menaik beberapa oktaf.

Padahal, ada dua hal yang sama sekali belum mereka sadari: mereka memikirkan hal yang sama perihal scene mega merah. Dan perihal dua sosok yang tertawa di balik jendela akibat melihat mereka.

×××

Jakarta, 20 Desember 2015.

826.

BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang