Chapter 4: Safe Zone

795 81 2
                                    

Dua jam berikutnya kami sampai di kota New Orleans. Jeremy sudah menelpon atasannya tentang di mana letak Zona Aman itu. Saat sampai di bibir pantai sedikit jauh dari New Orleans. Kami menemukan sebuah perkemahan. Perkemahan yang cukup besar di kelilingi pagar besi setinggi tiga meter.

...

Kami berempat diizinkan masuk ke dalam Zona Aman. Perahu mesin yang hanya bisa menumpang limabelas orang. Aku duduk bersebelahan dengan Jeremy sedangkan Wilson dan Ethan duduk di belakang kami.

Aku melihat ada enam kapal perang. Kami menunggu di tenda sedangkan Jeremy pergi entah ke mana. Di tenda yang cukup besar ini terdapat enam kasur lipat. Aku menaruh keponakanku di atas kasur itu.

Ethan dan Wilson duduk sambil memperhatikan bayi mungil itu. Aku keluar dari tenda meninggalkan mereka. Kulihat Jeremy sedang berbicara dengan seseorang. Aku tidak mempedulikan mereka sedang berbicara apa.

Aku melangkahkan kakiku untuk berkeliling tenda. Aku sempat bertemu beberapa tentara yang berkeliling yang berkeliling. Kapal perang ino diubah menjadi seperti perkemahan. Yang kudengar dari orang-orang tempat di dalam kapal sudah penuh.

Sampai kakiku entah kenapa berdiri di depan tenda kesehatan. Kakiku melangkah masuk ke dalam.

Ada banyak orang yang sakit namun ada satu orang yang menyita perhatianku. Dia terbaring di kasur dengan luka di kakinya. Aku memperhatikan lukanya.

"Sedang apa kau di sini?" aku berjengit karena terkejut.

Seseorang mengenakan jas putih memegang tanganku dan menarikku keluar. Tapi aku memberontak. Dia terus menarik tanganku lalu aku menendang kakinya. Dia refleks melepas tanganku dan memegang kakinya yang kutendang. Kemudian wanita menyebalkan itu berteriak.

Aku mendengar langkah kaki berat dari luar. Kulepas ikat pinggangku dan melilitkannya di tubuh orang yang terluka itu. Aku mengikatknya agar dia tidak bisa lepas. Entah, kenapa aku sangat curiga dengan luka itu. Luka itu cukup dalam dan kulit disekitarnya menjadi seperti membiru.

Ada meja yang penuh dengan suntikan, obat-obatan dan sarung tangan plastik. Saat aku ingin memegang luka itu disaat itu juga. Dia membuka matanya. Aku kembali terkejut melihat matanya yang berwarna putih.

"Panggil bantuan." Teriakku pada wanita itu yang sekarang hanya berdiri dan diam.

Aku berlari keluar dan berteriak meminta bantuan. Beberapa tentara datang dan masuk ke dalam tenda. Salah satu orang menodongkan senjatanya pada kepala orang yang terinfeksi itu.

"Tidak. Hentikan." Teriakku.

"Mundur dari sini, mam." Ucapnya.

"Tunggu, aku hanya ingin melihat lukanya." Kataku.

Dia memperhatikanku, "Kau bukan dokter."

"Tapi aku mahasiswa kedokteran. Mohon kau mundur."

Dia tetap keras kepala untuk tetap menodongkan senjatanya pada orang yang terinfeksi. Tenda ini menjadi ramai saat orang-orang mulai panik. Beberapa pasien dipindahkan ke tempat yang lebih aman.

"Apa yang kau lakukan?" kulihat Jeremy mendekat.

"Aku hanya ingin melihat lukanya." Gumamku.

Aku melihat dokter wanita itu mendekat.

"Berapa lama dia di sini?" tanyaku.

Dia sedikit gemetar, "Aku memberikan morfin setengah jam yang lalu. Kami baru mengobatinya setelah limabelas menit dia datang. Aku tidak tahu kalau dia terinfeksi."

Aku mengangguk. Lalu aku merobek kaos bagian lenganku. Jeremy memperhatikanku.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya curiga.

"Tolong kau pegang kepalanya. Aku akan menyumpal mulutnya dan kau" tunjukku pada tentara itu, "Bersiaga di dekatku kalau dia menyerang."

Jeremy mencoba memegang kepalanya tanpa harus tergigit. Aku bersiap-siap menyumpal mulutnya dan hap... mulutnya tersumpal.

"Boleh kuminta ikat pinggangmu?" tanyaku pad Jeremy.

Dia langsung melepaskan dan memberikannya padaku. Aku langsung melilitkannya ke kepala pria itu dengan kasur. Dia terus memberontak dan menggeram. Aku bergerak cepat. Kuambil jarum suntik dan mengambil sampel darahnya. Segera kumasukkan ke dalam wadah.

"Kau bisa membunuhnya." Ucapku pada tentara itu.

Aku melangkahkan kakiku keluar dalam hitungan menit terdengar suara tembakkan. Jeremy berjalan di sampingku. Dia menatapku dengan curiga.

"Apa yang ingin kau lakukan dengan darah itu?" tanyanya.

"Mengeceknya." Jawabku singkat.

"Di mana tenda para perwira?" tanyaku.

Jeremy menunjuk ke arah sebuah tenda yang besar. Aku berlari ke sana. Kusibakkan tirai penutup tenda tersebut. Ada lima pasang mata menatapku.

"Ada apa, nona?" tanya salah satu dari mereka.

"Aku ingin kalian mengirimkan sampel darah ini ke lab." Ujarku sambil menaruhnya di meja.

"Apa yang kau inginkan dari sampel ini?" tanya pria tua dengan kumis yang sudah memutih itu.

"Ada beberapa pertanyaan namun itu akan terjawab saat sampel ini diperiksa." Ujarku.

Kemudian mereka menatap satu sama lain sampai mereka berbisik. Aku menunggu dengan jengah. Mereka saling berbicara dengan suara yang sangat rendah hingga aku hanya mendengar beberapa kata.

Mereka kemudian menatapku.

"Kami sepakat. Kau akan dibawa ke kapal induk khusus. Di sana ada laboratorium. Fasilitasnya cukup baik." Ujar salah satu dari mereka.

"Tapi aku punya keluarga. Dua orang dewasa dan satu bayi. Mereka harus ikut." Ujarku.

Pria yang rambutnya sudah hilang separuh itu mengangguk, "Bawa mereka."




28.12.2015

Book 1: The SurvivorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang