Chapter 3: Someone Help Me

861 77 3
                                    

Aku sadar tas tidak akan muat dengan barang-barang itu. Lalu aku mengeluarkan beberapa pakaianku. Memasukkan barang-barang itu. Tas berukuran kecil kutemukan. Kumasukkan beberapa kain ke dalam tas itu kemudian memasukkan keponakanku ke dalam tas itu. Aku terlonjak dan mengayunkan tongkatku saat seseorang menyentuh pundakku.

"Wow. Easy, Miss." Ucap orang itu.

.......

"Who are you?" tanyaku sambil mengacungkan tongkat baseball.

Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya, "Jeremy Dalton from CIA."

Aku menyambut jabatan tangannya. Dia tersenyum kemudian melepaskannya lalu merlirik ke arah keponakanku.

"Anakmu?" tanyanya.

Aku menggeleng, "Keponakanku."

Dia mengangguk, "Sebaiknya kita segera pergi."

Setelah ia berbicara seperti itu aku medengar suara geraman. Dia menarikku untuk berlari. Jeremy berlari melewati lorong sampai aku melihat sepatu boot. Aku langsung menyambarnya. Kami lanjut berlari melewati pintu dan keluar.

"Tunggu. Mobilku ada di depan." Ucapku padanya.

"Tidak. Gunakan mobilku." Dia berlari ke sebuah jeep yang cukup besar berwarna hitam.

Aku cukup kesulitan untuk menaikinya. Dia membantuku saat sudah masuk dan disaat itu pula aku melihat dua orang lainnya duduk di belakang. Dua orang laki-laki. Satu laki-laki seperti akhir duapuluh dan yang satu lagi masih remaja. Tujuhbelas tahun mungkin.

Jeremy mengendarai mobilnya. Dia fokus mengendarai hingga aku bertanya.

"Ke mana kita pergi?" tanyaku.

Jeremy melirikku sebentar lalu fokus kembali ke depan. Dia masih belum menjawab pertanyaanku sampai dia berkata, "New Orleans."

Aku menaikkan alis, "Ada apa di sana?"

"Zona aman." Ujar remaja itu. "Dan namaku Ethan."

"Paige." Aku berjabat tangan dengan remaja itu.

"Wilson." Ucap pria yang lebih tua sambil sedikit tersenyum.

Aku tersenyum kemudian melepas jabatan tangannya.

"Apa yang dimaksud zona aman?" tanyaku penasaran.

"Pemerintah langsung bergerak membuat zona aman saat serangan pertama di New York. Kapal-kapal induk perang dijadikan zona aman dan beberapa pesisir cukup aman untuk ditinggali."

Aku hanya mengangguk. Terdiam selama perjalanan. Aku membuat susu formula dengan seadanya. Tidak dengan air panas. Aku hanya menggunakan air mineral yang sempat kucuri tadi. Botolnya saja aku hanya sempat mencuci dengan air biasa.

Sangat berharap semoga keponakanku mampu bertahan. Sejak tadi dia tidak menangis aku tak mengerti tapi aku bersyukur. Bayi ini tidak berisik karena aku tak tahu apa yang akan aku lakukan agar bayi ini diam.

"Siapa namanya?" tanya Jeremy.

Selama dua jam perjalanan kami hanya diam dan ini pertama kalinya dia bertanya. Wilson dan Ethan sudah tertidur. Aku menatap Jeremy. Baru sadar ternyata dia itu cukup tampan. Rambut berantakan berwarna cokelat dengan warna mata yang sama. Hidungnya macung, bibirnya tips dan wajahnya cukup mulus walau aku melihat beberapa luka di wajanya itu malah membuatnya semakin maskulin.

"Aku belum memberi nama." Gumamku.

Aku menatap bayi yang ada digendonganku. Entah, ini anugerah atau bukan. Bayi ini sangat kuat. Dia bertahan saat terjadi invasi seperti ini. Aku mengelus pipi bayi ini. Dia terlihat kecil namun kuat disaat yang bersamaan.

......

"Hei, wake up. Wake up."

Aku terbangun saat seseorang mengguncang tubuhku. Saat membuka mataku. Jeremy tepat di depan wajahku. Spontan aku langsung mendorong kepalanya menjauh. Kemudian dia terkekeh. Kulihat Ethan sedang duduk di ban mobil bekas dengan Wilson. Aku turun dari mobil dan menghampiri mereka. Jeremy mengikutiku di belakang.

Aku melihat sekeliling. Tidak ada tanda-tanda dari makhluk pucat itu. Semua tenang seperti sediakala. Wilson menyodorkanku roti. Aku menerimanya.

"Bisa kau rebus air?" tanyaku pada Wilson.

"Sure." Ucapnya.

Kulihat keponakanku yang masih tertidur dengan nyaman di tas. Dia tertidur dengan menghisap jempolnya. Jeremy bersandar di jeep-nya. Aku menghampirinya. Dia tersenyum manis padaku.

"Hai." Sapaku.

"Bagaimana tidurmu?" tanyanya.

"Not bad." Jawabku, "Aku bisa menggantikanmu mengemudi nanti. Itupun kalau kau mau."

"Yeah, aku tidak akan menolak. Cukup lelah mengemudi enam jam." Ujarnya.

Aku terkekeh, "Tapi kau harus menggendong keponakanku."

Dia mengangguk, "Ya. Tidak apa-apa."

.......

Setelah istirahat sebentar kami melanjutkan perjalanan. Tadi ada sedikit hambatan. Aku lupa membeli popok untuk keponakanku hingga dia poop di celana. Aku tidak mau repot jadi aku memotong kaosku yang lain dan kujadikan popok.

Saat dipemberhentian berikutnya. Aku dan Jeremy bertukar tempat. Kami melanjutkan perjalanan hingga New Orleans. Perjalanan dari Detroit ke New Orleans membutuhkan waktu duabelas jam.

Aku melihat keluar. Saat matahari terbit mayat hidup itu tidak keluar namun sekarang mereka berkeliaran di jalan. Beberapa dari mereka mengejar kami. Ada yang menabrakkan badannya ke jendela dan memberikan bekas-bekas merah di sana.

Selama itu juga. Aku, Wilson dan Ethan harus stay dengan senjata masing-masing. Walau aku hanya memegang tongkat baseball. Aku cukup mahir dalam memukul seperti pitcher profesional.

Dua jam berikutnya kami sampai di kota New Orleans. Jeremy sudah menelpon atasannya tentang di mana letak Zona Aman itu. Saat sampai di bibir pantai sedikit jauh dari New Orleans. Kami menemukan sebuah perkemahan. Perkemahan yang cukup besar di kelilingi pagar besi setinggi tiga meter.




28.12.2015

Book 1: The SurvivorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang