Air menyucur perlahan dari kerannya. Terlihat seorang laki-laki dengan rambut pirang tengah membasuh wajahnya yang tampan. Sedetik setelahnya ia menatap cermin di depannya.
“Gadis sialan. Dia sudah mempermalukan ku.” Gumam Justin, menatap nanar pada pantulan dirinya.
Varsity biru yang ia kenakan basah akibat air jeruk dingin milik Theressa. Ia tidak bisa memaafkan Roxanne begitu saja. Ia akan membalasnya.
“Kau pikir aku masih menyukai mu, huh?” Justin menutup keran yang ada di depannya dan menyisakan tetesan-tetesan air disana. “Ku pikir kau butuh pelajaran, sweetheart.” Ucapnya dengan senyum separuh.
Pintu kamar mandi khusus pria terkuak dan kepala Tommy menyembul disana. Justin yang tidak memperdulikan temannya itu lantas membuka keran air lagi untuk membasuh wajah tampannya.
“Ternyata benar kau disini.” Tommy memukul pundak laki-laki bermata cokelat hadzel itu, ikut bercermin.
“Emily?”
“Ya, kekasih mu yang cerewet itu yang memberitahuku disini. Dia menganggu acaraku dengan Valerie.” Justin menghentikan aksi-membasuh-wajahnya dan tangannya beralih memegang sisi wastafel.
“.Kau benar, dia cerewet. Aku sudah bosan dengannya.” Justin memandang pantulan temannya di cermin.
“Jadi kau ingin memutuskan hubungan kalian?” Tanya Tommy, takjub sekaligus heran. Justin hanya menaikkan alis mata untuk menjawabnya. “God’s sake, dude! Kau benar-benar hebat jika melakukannya. Yang ku tahu kau baru 13 jam dengannya.”
“14 jam. Sejam yang lain ku habiskan isi dompet ku untuk menemaninya belanja.” Justin mengoreksi. “Kau tentu tahu temanmu ini sangat suka mengoleksi mantan kekasih kan?.”
Tommy terkekeh mendengarnya. “Ya aku tahu. Anyway dude, ku dengar dari Valerie, tadi di kafetar----”
“Dia benar. Ada seorang gadis yang mempermalukanku.” Potong Justin. Dalam hatinya ia ingin segera membalas perbuatan gadis itu.
Tommy yang sudah bertahun menjadi teman dekat Justin mengerti apa yang ada di dalam pikiran Justin sekarang.
“Apa kau punya rencana?” tanyanya sambil memperhatikan pantulan wajahnya yang tampan di cermin. Justin tersenyum puas, ide brilian terbesit di benaknya.
“Ada.”
***
Bel tanda pulang sekolah sudah sebelas menit yang lalu berdering, keadaan sekolah sudah sepenuhnya kosong. Semua siswa dan siswi sudah pergi meninggalkan lokasi ini tapi tidak dengan gadis bermata biru kehijauan yang sibuk berkutat dengan pengepel dan ember berisikan air kotor di sisi kirinya.
‘Kau membuat kekacauan, Johnson. Aku ingin kau membersihkan tempat ini setelah bel pulang sekolah.’
‘Tapi si Bieber itu yang melakukannya juga! Ini tidak adil.’
‘Dia sudah membayar sepuluh dollar padaku. Kurasa itu cukup.’
“Demi cangkang Mr. Krabs yang sudah berwarna merah muda! penjaga kafetaria ini sungguh mata duitan!” Roxanne mengoceh sepanjang jalur yang ia setrika dengan pengepel lantai itu. Sesekali ia menabrak ember dan menumpahkan puluhan tetes air berukuran jumbo ke lantai. Dia mendesah frustasi. “Apa mereka tidak mendengar kata-kata uang tidak bisa membeli segalanya? Kurasa mereka itu kuno. Sangat kuno!”
“Kau yang kuno.” Telinga Roxanne berjinjit ketika menangkap suara Martha dan derap kaki yang mendekatinya. Tidak, itu bukan suara derap kaki satu orang. Itu….. empat orang.
Roxanne menoleh dan matanya mendapati Martha, Kalie, Sue, dan Luly memandangnya dengan tatapan sinis. Jenis kesialan macam apa lagi ini? Batin Roxanne.
Gadis itu menangkat dagunya, memberikan tatapan ‘ada apa’ pada keempat gadis yang salah satu diantaranya adalah keturunan Cina.
“Ya, kau yang kuno, Johnson.” Ucap Sue sependapat dengan Martha. “Kau pantas mendapat hukuman ini. Kau pantas mendapatkan balasan dari Bieber.” Lanjutnya lagi melihat pengepel yang Roxanne pegang.
“Oh, kalian ingin aku menumpahkan air suci yang ada di ember itu, ya?” ujar Roxanne santai. Ia benci bicara basa-basi dengan empat gadis yang sempat menjadi Paparazzi dadakan tadi siang.
“Beraninya kau.” Gumam Kalie. Kali ini gadis berambut oranye itu angkat bicara. Luly bersembunyi di belakang mereka bertiga. Setahu Roxanne, empat gadis ini juga popular di sekolah ini. Namun Luly lah yang berbeda. Kalau dibandingkan dengan Roxanne dan teman-temannya, Luly ini mirip Theressa. Agak pendiam serta kalem menggoda. Dia cantik. Tidak heran banyak yang menyukainya. Dari freshman sampai guru magang yang baru sebulan bekerja disini saja jatuh hati padanya.
“Tujuan kalian datang kemari untuk membantu membersihkan ruangan ini?” Tanya Roxanne dengan senyuman mengembang. “Ini.” Ia mengambil tangan Martha dan meletakkan pengepel tersebut tepat di antara jemari Martha yang lentik.
“Aku pergi dulu. Terimakasih atas kebaikkannya. Tuhan memberkatimu.” Roxanne tertawa kecil sembari mengambil ranselnya dan hendak berjalan ke keluar jika saja Sue tidak menarik hoodie yang dikenakan Roxanne dan membuat gadis itu menghentikan langkahnya yang ketiga.
“Hei, apa-apaan ini?!” teriak Roxanne, reflex menhentakkan tangan gadis keturunan Cina itu dan meninggalkan jejak merah di sana. Sue mengerang.
“Kau ini benar-benar!” Sue menjambak rambut Roxanne. Karena tak mau kalah, dia pun menjambak rambut Sue keras-keras dan membuat gadis bermata sipit itu mengerang untuk kedua kalinya.
Detik berikutnya mereka berdua sudah saling jambak-menjambak. Martha dan Kalie tertawa puas melihat wajah Roxanne yang merah karena amarah.
“Hentikan!!” Teriak Luly. Keduanya menghentikan performa mereka. Roxanne melepas tangannya, dan bertingkah hendak meninju Sue. Sedang Sue, gadis itu juga ikut melepaskan tangannya sembari merapihkan diri.
“Temanmu yang duluan.” Ucap Roxanne tetap memasang wajah santainya. Sue memandang gadis itu dengan pandangan tidak suka.
“Roxie sayang, kau seharusnya tidak melakukan itu pada Justin. Tapi kau melakukannya, wajar jika kami memberimu sedikit nasehat.” Martha berkata lembut pada Roxanne. Dia mengelus wajah gadis itu seperti yang telah ia lakukan tadi siang.
“Sok kepahlawanisme sekali ya kalian.” Roxanne menepuk-nepuk pipi Martha. Gadis berambut seperti tembaga itu sedikit bergedik ngeri dan perlahan menjauhkan tangannya tadi wajah Roxanne, mengantisipasi kalau-kalau Roxanne melakukan hal yang sama padanya seperti Sue –atau bahkan lebih mengerikan lagi-
Martha berdehem. Menyuci dahak yang menganggu di tenggorokannya. “Aku sempat mendengar bahwa Justin pernah menyatakan cintanya padamu… dulu.”
“Eh-hm. U’r totally right, beibeh.” Jawab Roxanne dengan nada seperti menyombongkan diri.
“Dan kau pikir dia masih menyukai mu hingga sekarang?” Tanya Martha lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit merendahkan.
“Kurasa ya.”
“Kau terlalu percaya diri, Roxie sayang. Justin tidak menyukai gadis jelek yang menggunakan rompi berbahan jeans yang sama jeleknya dengan wajahmu! Kau tak bisa membuatnya bertekuk lutut lagi seperti sedia kala. Kau akan menangisi kebodohan mu yang kau lakukan tadi siang. Benar-benar membuat Justin malu.” Sarkasme Martha. Dan phew, Roxanne tersulut emosi yang kentara.
“KAU…!! ENYAH DARI HADAPAN KU.” Teriak Roxanne. Membuat keempat badan yang masih bernyawa itu tersentak kaget mendengar lengkingan Roxanne.
Berani-beraninya dia menghina fisik Roxanne. Setidaknya, menurut kacamata gadis itu sendiri, Martha tak ubahnya jalang yang biasa duduk dengan santai di kelab malam.
“Relax Roxie.” Ucap Luly lembut. Sedikit menenangkan hati siapa saja yang mendengar teriakan Roxanne.
Gadis itu memejamkan matanya sedetik, membungkus lensa biru kehijauannya untuk meredakan emosi. Justin Bieber, suatu hari aku akan membuktikan pada gadis jalang ini bahwa aku bisa menaklukkanmu. Lihat saja.
To be continued....
ps: sorry for the typo(s) keep reading ;;)