Pulang ngampus aku langsung menuju ke lapangan basket di kampusku. Sampai di lapangan basket, mentari sangat terik. Tapi tak mengurungkan niatku untuk bermain basket. Mataku menyipit karena teriknya matahari. Tanganku menutupi mukaku menghalangi panasnya cahaya matari, sedang tanganku yang satu lagi mengapit bola basket. Kupandangi lapangan di depanku.
Udah lama gue gak main basket. Batinku.
Terakhir aku main basket ketika pengumuman kelulusan seleksi masuk universitas. Aku sangat senang karena diterima di universitas favorit dan melampiaskan perasaanku dengan bermain basket di lapangan sekolah sampai 3 jam tiada henti. Pada akhirnya aku harus di bopong oleh teman temanku karena tidak sanggup berjalan.
Kuletakkan tas ku di pinggir lapangan lalu berjalan ke tengah lapangan sambil sesekali tanganku memantul-mantulkan bola oranye milik Dika. Tiba di kotak free throw kuambil posisi shooting, mencoba menembakkan bola ke ring.
Hup!
Masuk dengan sempurna.
Kuambil bola ribbon dan menuju ke daerah three point.
Baru akan melakukan three point, sebuah suara yang amat kukenal mengganggu konsentrasiku. Membatalkan niatku melakukan tembakan tiga angka dan kembali mendrible.
"Coffee"
"Apaan?" tanyaku tanpa menghadap ke lawan bicara. Tatapanku fokus kearah bola yang sedang ku drible.
"Lomba goyang drible yuk. Siapa yang paling kenceng dia yang menang," ajaknya ngaco.
Mendengar ajakannya membuatku mau tak mau menoleh kearahnya. Aku terkekeh pelan mendengar celetukannya. Setidaknya dia bisa menaikkan mood ku dengan leluconnya itu.
Dika berjalan mendekat kearahku disertai dengan cengirannya.Kulemparkan bola ditanganku kearahnya yang segera ditangkapnya. Di drible nya bola ke luar garis three point.
"One on one. Kalo gue menang, lo harus gendong gue sampai kerumah" ucapnya dengan tampang menjengkelkannya.
Aku mengerucutkan hidungku dan mengetuk ngetukkan jari di dagu tanda berpikir "Kalo gue menang?"tanyaku tertantang.
"Gue gendong lo sampe apartemen"
Kunaikkan sebelah alisku dan tersenyum menantang. Tawarannya boleh juga.
Aku bertekad untuk menang. Kapan lagi digendong nyampe rumah? Mengingat apartemen ku yang lumayan jauh dari kampus.
Kubikin mati kau Dika! HAHA *ketawa setan*.
***
Kuhempaskan tubuhku dikasur. Kukibas-kibaskakan baju ku mengharapkan akan mendapatkan sedikit angin. Badanku lengket semua. Berkeringat disana sini.
*flashback on
Aku kalah telak dari Dika. Terpaksa aku harus menggendongnya sampai rumah. Aku tak menyangka tubuhku yang segeda upil bisa menggendong Dika yang segeda jerapah. Kugendong dia ala piggyback. Cukup berat sih, tapi aku tidak mau mengakuinya. Malu dong sama kucing.
Ketika sampai diparkiran dia minta diturunkan. Aku hanya mengikuti perkataannya karena tak tau apa yang ingin dilakukannya. Ketika aku menurunkannya, dia langsung berjalan ke arah mobilnya yang terparkir manis di parkiran. Tadi katanya mau di gendong? Gimana sih!
Aku hanya mengikutinya masuk ke mobil."Ga bawa motor kan?" tanyanya setelah aku duduk di kursi penumpang.
Aku hanya menggeleng."Yaudah. Gue antarin" ucapnya lalu menjalankan mobil.
Aku hanya diam pasrah. Setidaknya aku tidak akan menggendong anak jerapah sampai ke kandangnya.
Selama diperjalanan tidak ada yang bersuara. Entah mengapa suasana jadi canggung. Aku benci suasana hening seperti ini. Sesekali kulirik Dika yang fokus menyetir. Dika tampan. Sangat tampan. Kulitnya putih bersih, matanya yang agak keabu abuan, bibirnya yang tidak tipis dan juga tidak tebal, rahangnya yang tegas, dan lesung pipi di pipi bagian kirinya ketika tersenyum. Sangat manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Locodestiny
Short Story"Kamu bagiku bagaikan 'pagi', alasan kenapa aku bangun setiap hari. Tapi ketika pagiku menghilang, apakah aku punya alasan untuk bangun lagi?" - Coffeeya Milky Strujch. "Dia bagiku bagaikan 'malam', alasan kenapa aku terlelap dalam nyaman, tapi aku...