1. Pertemuan Keluarga

5.4K 108 0
                                    


DIMAS POV

Mobilku berhenti tepat di depan sebuah rumah kecil khas rumah pedesaan setelah menempuh perjalanan yang kurang menyenangkan karena cuaca buruk dan terjadi kemacetan di perjalanan. Sekarang aku berada di Pare, Kediri untuk menghadiri kegiatan tahunan keluarga besarku. Mungkin bisa disebut dengan arisan atau sesuatu. Ya pada momen ini semua keluarga besarku dari segala penjuru Indonesia berkumpul di sini, rumah kecil sederhana milik nenek dari ibuku.

Bukannya aku membenci acara ini namun satu hal yang aku benci, mengapa setiap tahun aku turut dalam acara ini, selalu saja ada wajah baru yang muncul sehingga aku harus repot-repot menghapalkan nama mereka. Jujur saja aku merasa tidak terlalu penting untuk mengetahui siapa mereka toh kami juga tidak dekat dengan mereka, namun sekali aku mengenal mereka aku langsung mengingat nama-nama mereka tapi tidak terbersit sedikitpun di otakku untuk mendekati keluarga-keluarga jauhku ini.

Namun ada seseorang lelaki tua yang datang sendirian ke acara keluarga ini. Ya dia sepertinya baru datang tahun ini karena sepertinya aku tidak melihatnya di tahun-tahun sebelumnya. Bisa dibilang keluargaku tidak pernah absen mengikuti arisan keluarga ini, jadi aku pasti tidak akan kesulitan untuk membedakan mana wajah yang kukenal dan tidak.

Pria berkaos merah yang sudah nampak lusuh dengan jeans warna biru pudar yang kebesaran itu datang dan menyalami kami satu persatu. Dia datang menyalamiku lalu tersenyum. Aku hanya membalas seadanya, jabatan tangan sudah cukup untukku. Namun saat dia mulai berlalu dan duduk jauh dari kerumunan, ibu-ibu di dekatku seketika mulai bergosip tentang dia. Bukan maksudku untuk menguping obrolan mereka namun karena posisiku yang kebetulan dekat dengan mereka membuatku tidak mampu mengalihkan pendengaranku dari suara mereka.

Usut punya usut, dia adalah pamanku dan dia hidup sendirian di rumahnya. Rumahnya paling dekat dengan rumah nenekku ini namun dia tidak pernah datang hingga saat ini akhirnya dia muncul, entah kenapa, lelah sendiri mungkin?

Selain itu dia juga tidak memiliki pekerjaan yang pasti, hanya bekerja serabutan. Salah seorang wanita di dekatku ini berceletuk jika dulunya dia pernah disakiti oleh seorang wanita lalu dia mengalami trauma dan akhirnya menolak untuk mencari "sang pengganti" dan memutuskan untuk melajang seumur hidup. Ya itu pilihannya, bukannya setiap berhak atas kehidupan yang mereka pilih?

Pembicaraan mereka berakhir ketika nenekku membuat suara nyaring dengan memukulkan sebuah sendok ke gelas kaca di mejanya beberapa kali. Semua seketika hening dan akhirnya duduk bersama di sebuah kursi dekat meja yang amat sangat panjang. Meja ini sengaja dipesan untuk acara ini, nenekku sendiri yang memesannya pada tetangga yang kebetulan adalah seorang pengrajin kayu.

"Jadi, bagaimana kabar kalian semua? Aku harap semua baik-baik saja. Sebelum acara ini dimulai, saya ingin memberitahukan satu hal penting. Saya akan menjual beberapa hektar dari lahan teh peninggalan suamiku dan uang hasil penjualan itu akan kuberikan kepada siapapun yang mampu mencarikan seorang wanita untuk dijadikan kekasih sekaligus istri untuk Anton." Nenek menyerukan sebuah sayembara yang akhirnya membuat seisi ruangan gaduh dan tergiur pada uang yang akan didapatkan. Nenek memerintahkan Anton untuk berdiri.

Kulihat lelaki berbaju merah itu akhirnya berdiri dan tersenyum, senyum itu, terlihat dipaksakan dan sederhana. Lalu dia kembali duduk, ekspresinya datar. Ternyata namanya Anton, lelaki berbaju merah itu. Dari kerutan-kerutan di wajahnya, pria itu mungkin kini sudah berusia sekitar empat puluhan lebih. Sedikit sulit untuk mencarikan pasangan untuknya. Tampangnya juga biasa saja, tidak terlalu menarik namun juga tidak bisa dbilang jelek. Hidungnya mancung dan alisnya tebal lurus mengikuti garis tulang matanya. Kulitnya coklat terbakar matahari. Tapi siapa gadis yang mau dengan pria tua seperti dia, apalagi tidak memiliki pekerjaan yang jelas.

Mengapa aku jadi memikirkan untuk mencarikan jodoh untuknya? Toh aku juga hanya bocah SMA kelas sebelas yang masih ingusan, mana mungkin aku bisa mencarikannya seorang gadis yang bersedia menjadikan Anton sebagai suaminya. Untuk mencari pacar buatku sendiri saja susah, bagaimana dengan mencarikan pasangan untuk orang lain? Aku tertawa dalam hati kemudian.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku beberapa kali untuk mengembalikan akal sehatku dan melupakan tentang Anton.

Kericuhan yang terjadi juga lama-kelamaan memudar dan kembali hening. Nenekku kini hanya duduk sambil tersenyum, belum melanjutkan acara yang dimulainya beberapa saat lalu.

XXX

Aku duduk di teras rumah nenekku untuk beberapa saat lalu pria itu, ya, Anton mendatangiku lalu duduk di kursi yang berada tepat di sampingku. Aku menatapnya bingung, namun dia tersenyum. Kubalas senyumnya sebisaku lalu kembali membuang pandanganku dari wajahnya.

"Kau Dimas kan? Anak Reno?" Tanya Anton padaku.

"Iya, itu aku. Kau Anton kan?"

"Benar."

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Kau ingin bertanya mengenai pencarian jodoh untukku tadi?"

"Iya, aku dengar kau mengalami trauma karena pernah disakiti oleh wanita. Apa itu benar?"

Anton hanya tersenyum sambil memandang kosong ke depan. Namun seiring waktu, senyumnya malah berubah menjadi tawa, dimulai dengan tawa yang pelan namun makin lama makin membesar.

"Kau ingin tahu kan?"

"Ya, aku ingin tahu mengapa nenek sampai harus repot-repot membuat sebuah sayembara seperti itu."

"Baiklah, ikutlah denganku."

Anton bangkit dari kursinya lalu memakai sandalnya dan mulai berjalan. Begitu juga denganku, aku bangkit dan mengikutinya dari belakang. Dia berhenti di sebuah rumah kecil namun dengan halaman yang bisa dibilang cukup luas. Rumah itu kelihatan tua dan sedih. Catnya yang mengelupas dimana-mana, atap yang mungkin sudah tidak sanggup melindungi rumah ini dari panasnya matahari dan ganasnya hujan. Dia masuk ke dalam rumah, sedangkan aku hanya duduk di terasnya saja, tentu saja karena aku belum dipersilahkan masuk olehnya.

Tak lama kemudian dia kembali keluar dan menyuruhku untuk duduk di ruang tamu rumahnya yang sederhana dengan sebuah sofa hijau kulit yang mulai robek di sana-sini. Dia lalu duduk di sampingku dengan mengambil jarak mungkin hanya setengah meter di antara kami.

Mataku terpaku pada sebuah foto seorang pria muda yang dicetak besar-besar dan diberi pigora coklat yang dipoles indah, diletakkan pas di tengah-tengah ruang tamu. Kupandangi foto itu, aku menduga-duga siapa pria itu. Apa mungkin itu foto Anton selagi muda? Tapi wajahnya seratus persen berbeda. Aku yakin itu bukan Anton, terlebih lagi di wajah pria itu, ada satu tahi lalat kecil yang berada di dekat bibirnya dan Anton tidak memiliki tahi lalat itu.

"Itu siapa?" Tanyaku pada Anton sambil menunjuk foto itu.

"Dia mantan kekasihku."





Masa lalunya.Where stories live. Discover now