8. Kemana kamu

305 12 2
                                    

Aku masih terduduk pas di depan pintu, menangis dalam diam. Samar-samar aku melihat seseorang masuk ke kelas dan memunguti semua foto yang ada di papan. Aku tidak tahu siapa dia, mataku penuh dengan air mata. Aku, bingung harus berbuat apa. Hingga akhirnya orang yang memunguti foto itu menjulurkan tangannya kearahku, lalu membantuku berdiri. Dia memungut tasku lalu menarik lenganku menuju keluar kelas.

Awalnya aku bakal mengira dia Rama, ternyata bukan. Dia bukan Rama. Dia menarikku ke belakang sekolah lalu menyuruhku duduk dikursi yang berada di belakang gedung sekolah, pas membelakangi kelas. Ia merogoh tasnya sesaat, lalu menyodorkanku sebotol air mineral.

"Sudah, jangan menangis. Sudah." Ucapnya, suaranya tidak terdengar familiar, tapi tidak dengan wajahnya. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya, dari bet di seragamnya aku tahu kalau dia seniorku. Atau jangan-jangan, dia senior yang aku tabrak saat aku masih kelas 10 dulu? Tapi mengapa dia jadi baik dan menolongku? Aku juga tidak tahu. Seketika timbul perasaan curiga, menyeruak di pikiranku.

"Kamu si-siapa?" tanyaku memastikan dengan suara sesak. Dia tidak menjawabku, hanya tersenyum lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebungkus tissue, menarik selembar lalu mengusap airmata yang menetes di pipiku. Tidak, ini tidak benar, tidak seharusnya begini! Aku tidak ingin rumor bahwa aku gay dibuatnya lebih parah!

Aku menyambar tasku, berdiri, lalu melenggang meninggalkannya. Dia tidak mengikutiku, karena saat aku menoleh kebelakang tidak ada siapa-siapa.

Sekarang apa? Aku tidak mungkin ke kelas setelah semua insiden yang terjadi kan? Namun aku harus kemana? Lalu, dimana Rama? Aku memutuskan untuk meninggalkan sekolah lalu berjalan menuju alun-alun yang jaraknya lima belas menit jalan kaki dari sekolah.

————

Keesokan harinya aku bangun pagi masih dengan perasaan yang tidak tenang. Setelah sarapan aku menunggu Rama menjemputku. Tidak ada kabar darinya semenjak kemarin, tidak ada telepon darinya. Dia juga tidak menghampiriku kerumah. Saat aku telepon rumahnya, tidak ada yang mengangkat. Dalam hati aku hanya berharap tidak terjadi apa-apa padanya.

Pelan ku melahap rotiku.

"Ton, Rama mana? Sudah jam segini kok belum jemput? Nanti kamu telat. Ini uang, kamu naik angkot saja." Mama menyodorkan selembar uang seribuan yang sudah sedikit lecek.

"Iya ma." Aku mengangguk lalu pergi memakai sepatuku.

Sesampainya di Sekolah, aku berjalan cepat menuju kelas. Sekolah sudah ramai. Kudengar samar-samar siswa-siswa sedang membicarakanku, menatapku dengan tatapan yang aneh. Aku mencoba mengacuhkannya, hingga akhirnya aku sampai di kelas.

Bel berbunyi, guru datang. Aku keluarkan bukuku lalu mencoba mendengarkan ocehannya, meskipun dalam pikiranku sekarang hanya Rama yang tidak tahu kemana.

_ _ _

Seperti biasa aku tetap menunggu Rama di kelas sembari pulang sekolah. Kelas sudah sepi, sisa aku sendiri disini. Lima belas menit berlalu, aku masih belum melihat tanda-tanda Rama. Bahkan sekolah sudah amat sepi sekarang, hanya tersisa beberapa anak yang duduk di kantin mengerjakan tugas. Dalam hati aku bertanya kemana Rama.

Setengah jam lebih aku menunggunya tapi dia tak kunjung datang. Aku memutuskan untuk pulang saja lalu meneleponnya dari rumah. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin? Firasatku mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan kejadian kemarin. Tapi kalaupun iya, mengapa hanya Rama yang mendapat masalah sedangkan aku tidak? Aku geleng-gelengkan kepalaku, tidak ingin berpikir aneh-aneh. Akupun segera memberesi buku-buku ku lalu bergegas pergi meninggalkan sekolah menuju pintu gerbang dimana angkot biasa mangkal.

Xxx

"Anton, ayo makan nak." Suara ibu terdengar nyaring dari dapur, dengan setengah rasa malas aku memaksa kakiku untuk berjalan menuju dapur, masih belum ada kabar dari Rama. Tidak ada telepon, tidak ada lagi yang menjemputku setiap pagi. Hariku terasa hampa.

"Ada apa nak? Kenapa menekuk wajahmu seperti itu?" Ibu bertanya dengan nada heran. Aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Biasanya kalau ibu murung, kamu larang Ibu. Sekarang kamu sendiri yang suka murung." Ibu menyambung omongannya.

"Anton tidak kenapa-kenapa Bu, mungkin sedikit lelah. Pelajaran kelas 11 tidak semudah kelas 10." Tangkasku bohong. Dalam hati aku berpikir, andaikan Ibu tahu apa yang terjadi di sekolah belakangan ini, akankah Ibu bisa setenang ini? Akankah ibu memaksaku pergi dari rumah karena sudah jatuh cinta terhadap seseorang yang berjenis kelamin sama denganku?

Pikiranku melayang entah kemana, sesudah makan aku kembali ke kamarku dan diam menatap langit-langit kamarku. Tak lama setelah aku kembali ke kamar, ibu memanggilku lagi, bilang bahwa ada seseorang meneleponku. Aku bergegas lari menuju telepon, berharap bahwa itu Rama, namun saat aku dekatkan gagang telepon ke telinga, bukan suara familiar dari Rama yang kudengar, melainkan seseorang lain.

"Apa benar ini rumah Anton?" Tanya seseorang di seberang telepon.

"Iya, benar. Ini siapa?"

"Aku Adi, kakak kelasmu, aku tidak yakin apa kamu mengingatku atau tidak."

"Uhm, Adi? Maaf mas aku tidak terlalu ingat. Ada apa ya?"

"Aku hanya mau bilang bahwa saat kamu menabrakku setahun lalu, kamu menjatuhkan salah satu bukumu, namun aku belum sempat mengembalikannya. Terakhir saat aku ajak kamu ke belakang sekolah, belum sempat kukembalikan, kamu sudah lari entah kemana."

"Oh, maafkan aku mas, aku benar-benar tidak tahu apa yang kulakukan hari itu, yang pasti aku..."

"Sudah, tidak apa, aku tahu keadaanmu saat itu sedang tidak baik-baik saja. Kalau begitu, akan kukembalikan bukumu besok pagi, kebetulan rumahku searah dengan rumahmu, aku tahu alamat dan nomor teleponmu dari sampul bukumu, tenang saja, aku bukan penguntit."

"hahaha, iya mas, sampai jumpa, sekali lagi terima kasih."

"Kembali kasih." Telepon ditutup. Sungguh aku tak pernah menyangka bahwa dia seniat itu untuk meneleponku hanya untuk mengembalikan bukuku, yang pasti sudah tidak akan kugunakan karena itu buku kelas 10.

 Seketika terpikirkan olehku untuk mencoba menelepon Rama sekali lagi, siapa tahu kali ini akan tersambung, namun ternyata sama saja, tidak ada yang mengangkat telepon. Aku pasrah, lalu kembali mengurung diriku dalam kamar, dalam hati bertanya-tanya dimana Rama. Aku rindu dia.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 26, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Masa lalunya.Where stories live. Discover now