5- Adrain

342 38 9
                                    

(5) Adrain:

[ Media: Theodore Corner.]

Chapter 4: Bagaimana cara melupakan masa lalu dengan mudah?

-★ Black & Blonde ★-

Hanya ruangan ekstra-kulikuler musik di lantai satu yang membuatku tertarik setelah aku mengelilingi sekolah ini (dengan lirikan sana dan sini).

Aku berniat untuk datang lagi ke ruangan itu lagi saat istirahat kedua nanti, karena sekarang aku mendengar suara bel masuk berbunyi. Dengan langkah santai, aku berjalan menuju kelasku.

Saat memasuki kelas, aku melihat lirikan dan bisikan dari cewek-cewek yang aku yakin naksir padaku. Ada sorot sakit hati, sedih, jijik, tak percaya, dan— heh, apa cewek yang diujung itu tetap menatapku dengan mata berbinar? Atau hanya mataku yang salah membaca?

Aku menggelengkan kepalaku dan duduk di kursiku, lalu menjatuhkan kepalaku ke atas meja setelah aku melipat tanganku dan menaruhnya sebagai bantalan.

"MRS. THOMPSON TIDAK MASUK!" Seru seseorang yang entah siapa dengan suara riang, yang disahuti dengan sorakan gembira semua murid dikelas— minus aku.

"Siapa pula itu Mrs. Thompson?" tanyaku dalam gumaman sambil menutup mataku. Mungkin aku bisa menggunakan jam kosong ini untuk tidur. Daripada hanya berdiam diri dan membuatku mati saking bosannya.

"Dia itu guru yang sangat galak," ucapan seorang gadis di sampingku— siapa namanya? Brown sih, kalau tidak salah —membuatku membuka mata dan menatap gadis berambut ikal yang sedang membaca buku itu. Huh? "Mrs. Thompson sangat disiplin dan tidak menoleransi kesalahan sekecil apapun," tambah si gadis Brown itu saat (mungkin) sadar kalau aku tidak mengerti.

Aku hanya mengangguk dan kembali menutup mataku. Bukannya guru yang seperti itu justru bagus, ya? Pikirku sambil mencoba untuk beristirahat. Ah, ini jam kosong, kan? Apa aku bisa menggunakannya untuk mengunjungi ruang ekstra-kulikuler musik?

"Brown? Apa pelajaran setelah pelajaran Mrs. Thompson?" Tanyaku pada si gadis Brown disampingku yang masih saja membaca buku.

"Pelajaran Mrs. Thompson itu sampai istirahat kedua," jawab gadis itu bahkan tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang dibacanya.

Aku mengangguk dan berdiri untuk keluar dari kelas.

Setelah memastikan bahwa tak ada orang di lorong sekolah, aku berjalan menyusuri koridor dan melangkahkan kakiku menuju ke ruang ekstra-kulikuler musik. Menuju ke ruang ekstra-kulikuler musik tidak membutuhkan waktu yang lama. Aku hanya butuh sembilan menit untuk sampai di ruangan itu.

Aku mendorong pintu ruang ekstra-kulikuler musik hingga terbuka, lalu berjalan masuk ke dalamnya.

Menurutku, ekstra-kulikuler musik punya alat musik yang cukup lengkap. Soalnya, aku melihat piano, gitar, biola, keyboard, drum, dan alat musik lainnya di ruangan ini. Dan aku hanya bisa memainkan gitar serta piano. Sebenarnya, aku cukup tertarik dengan biola, tapi aku malas mempelajarinya. Karena Anne bilang berlatih biola itu agak sulit dan membuat pundak sakit. Aku percaya karena aku melihat Anne hampir seperti orang yang tulang tangannya patah.

Aku berjalan mendekati piano dan duduk di kursi yang ada di depannya, lalu membuka tutup piano tersebut. Piano ini sering dipakai. Karena piano ini tidak berdebu.

Kususuri tepian piano dengan telunjukku tanpa menekan tutsnya. Lalu memejamkan mata untuk mengingat nada-nadanya. Aku membuka mataku dan menekan tuts-tuts piano dengan jemariku sambil bersenandung dalam gumaman. Aku tidak pernah bernyanyi dengan suara nyaring.

"—Still trying to get to you. In hopes you're on the other side talking to me too..." aku masih menekan tuts piano sesuai nada dan hampir menyelesaikan lagu Bruno Mars - Talking to the Moon.

"...Or am I a fool who sits alone talking to the moon?"

Demi apapun, itu bukan suaraku. Suaraku tidak se-cewek itu. Sebelum aku sempat menoleh, aku mendengar seorang cewek berkata— sekaligus bertanya.

"Oh. Kupikir yang sedang bermain piano di ruang musik adalah anggota ekstra-kulikuler musik. Siapa namamu? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya," ucap cewek yang entah siapa itu padaku.

Aku menutup piano itu dan berdiri. "Yeah, kupikir selain anggota ekstra-kulikuler musik boleh masuk kemari," balasku datar tanpa menjawab pertanyaan cewek itu. Lalu berjalan keluar dari ruangan musik itu meski aku tau cewek itu masih ingin bertanya soal— mungkin —kenapa aku berada di ruangan itu.

Aku melirik jam yang melingkar di tangan kiriku, membuatku terkejut saat aku baru sadar kalau aku cukup lama di ruang musik tadi sampai tak menyadari bahwa waktu istirahat kedua tinggal satu jam pelajaran.

"Apa sekolah ini punya atap yang bisa dipakai untuk nongkrong atau sejenisnya?" Gumamku pada diri sendiri sambil menaiki tangga, siapa tau memang ada atap sekolah di sekolah ini. Lumayan untuk tidur sambil menunggu bunyi bel tanda istirahat kedua.

-★ Black & Blonde ★-

Bunyi handphone yang nyaring membuatku terjaga dari tidurku. Setelah menguap sekali, aku mengambil handphone milikku di saku celana dan mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon.

"Kak! Kamu harus dengar ini!" Itulah sapaan yang aku dapat saat meletakkan handphoneku ke telinga. Itu adalah suara cempreng milik Anne.

"Yeah, halo juga, Dik," jawabku dengan nada setengah kesal. "Kuharap kamu mengatakan sesuatu yang penting karena kamu mengganggu tidur siangku dan hampir membuat telingaku tidak berfungsi."

Aku mendengar suara tawa Anne dan ucapan 'maafkan aku' disela-sela tawanya. Lalu kudengar Anne berdeham dan berkata dengan nada serius yang sedikit ketakutan: "Kak, Julien akan datang kesini besok."

"Aku tak peduli," jawabku datar. "Dan kurasa aku harus pergi untuk makan siang. Perutku sudah berdemo," lanjutku sambil menekan tombol merah.

Sialan, pikirku dalam hati.

Aku segera mengantungi handphoneku dan turun dari atap sekolah. Aku tidak bohong soal akan ke kantin, karena perutku memang betul-betul lapar. Dan semoga saja menu di kantin tidak terlalu buruk. Karena jika ya, aku akan meminta Mum untuk membuatkanku bekal makan siang setiap hari. Aku tak peduli jika aku akan dipanggil anak mami atau sejenisnya.

Kantin sudah cukup ramai saat aku datang. Tapi, saat aku baru akan memasukinya, seorang cewek berambut hitam mencegatku, itu Anne. Adikku, ya.

"Ka Adrain, kaka harus dengar aku soal Julien," katanya buru-buru padaku. Aku hanya memutar bola mataku dengan bosan dan mengangguk, lalu menatapnya dan menyuruhnya melanjutkan. "Kaka tau Ellie, kan? Tadi dia meneleponku dan mengatakan dengan panjang lebar soal Julien yang ternyata berhenti sekolah di Jerman dan akan pindah kesini—"

Yaampun, aku sebenarnya malas mendengar Anne bercerita soal Julien. Anne bilang dia benci Julien dan ingin melupakan Julien setelah kami pindah kesini. Tapi dia malah kedengaran seperti senang mendengar berita ini.

Meski ada nada sedikit takut yang kudengar dari suara Anne saat bercerita.

"Hey ka? Hey, hey. Kau dengar ak—"

Ucapannya yang bernada jengkel karena aku tak mendengarkan, terhenti saat seorang cowok menepuk pundaknya. Membuat Anne berbalik dan mengangkat alisnya.

"Um, hai," ujar si cowok itu dengan gaya yang cukup keren, kalau saja suaranya tidak terdengar gugup di depan Anne. "Namaku Theodore Corner, tapi kamu bisa memanggilku Theo. Dan, siapa namamu?"

Alright, satu cowok lagi yang menyukai adikku. Aku menggelengkan kepalaku dan berjalan memasuki kantin. Mengabaikan Anne yang memanggilku dan kelihatan grogi karena cowok bernama Theo itu terus mendesaknya untuk menjabat tangannya dan memberitahu namanya.

-★ Black & Blonde ★-

Hope you like it. Thanks for reading. Maaf ya ini udah telat banget dari jadwal update /halah, macam punya jadwal aja/. Uhm, beneran deh, maaf ya buat keterlambatannya. Semoga masih ada yang mau nunggu, hehe.

Ohya, aku mau minta komen dari kalian juga dong T-T Sedih banget chapter lalu sama sekali nggak ada yang komen ): So, vomment..? /puppy eyes/

Black & Blonde [ New - BL ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang