Lima belas.

1.5K 96 5
                                    

Sorry for any typo(s)
Enjoy xx

8 November 2015,

Dalam seminggu, hari Sabtu adalah hari favorit kedua ku setelah hari Minggu.

Sabtu adalah hari berakhirnya penderitaan para pelajar dari segala kesibukan sekolah.

Sabtu adalah-oke, cukup basa basinya.

Setelah berpamitan pada ayahku yang duduk di kursi kemudi, pun aku turun dari mobil dan menutup pintu mobil dengan santai.

Aku melangkah penuh semangat memasuki wilayah sekolah ku, SMAN 1 Nusa Bakti. Kulihat para anggota OSIS sekbid bela negara sedang mempersiapkan segala sesuatu atribut untuk apel nanti.

Kulirik jam yang melingkar manis di pergelangan tanganku, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 07.00 yang artinya 15 menit lagi apel dimulai.

Kulihat Widya, salah seorang anggota sekbid bela negara mendekat kan mikrofon ke mulutnya dan mulai menyerukan peringatan kepada para seluruh siswa agar segera turun ke lapangan apel.

"Disampaikan kepada seluruh siswa siswi SMAN 1 Nusa Bakti agar segera ke lapangan apel sekarang juga, karena apel akan segera dimulai. Pelaksana apel pada pagi hari ini, dari kelas XI IPA 1, kepada pelaksana apel agar segera ke lapangan apel sekarang juga."

Suaranya mulai menggema ke seluruh penjuru sekolah. Walaupun begitu, para siswa masih belum rela meninggalkan kelas mereka.

***

"Apel selesai"
Suara protokol layaknya menjadi alarm bagi para peserta apel untuk segera beranjak dari barisan menuju kelas mereka masing masing.

Aku yang memiliki gerak refleks yang kurang cepat, berlari menuju Nisa yang sudah jauh meninggalkanku.

"Nisa tungguin" teriakku membuat Nisa berhenti.

Ia menatapku kesal. "Ya lo sih, pake melamun segala. Lo ngelamunin apa emang? Hm?" Alisnya terangkat sebelah.

"Gue ngelamunin makalah sejarah gue Nis. Makalah gue belum selesai dan hari ini hari terakhir buat ngumpulin." kataku sedikit frustasi dan pasrah. "Semoga dewi fortuna masih berpihak sama gue"

Nisa menyeringai. Bisa ditebak, kalimat yang ia katakan pasti mengandung unsur bully-an "Udah tenang aja. Pak Sapri baik kok. Dia kan sayang sama lo. Secara lo siswa kesayangannya."

Feeling memang tidak pernah salah.

Aku mendecak kesal dan balik menyerangnya. "Lo kayak yang bukan anak kesayangan Pak Sapri aja. Kan lo yang namanya gak pernah disebut kalo Pak Sapri lagi ngabsen. Itu artinya dia udah hapal sama lo Nis." Aku menghela napas pelan.

"Apa hubungannya sih Din? Lo juga kayak gitu kalo sama Pak Arif. Lo mah maling teriak maling" ia langsung berlari masuk ke kelas.

Aku yang memang ada di belakangnya, lalu mengikutinya hingga ke bangku kami.

Aku mengeluarkan buku tulis dan cetak sejarah dari tas ku, lalu menaikkannya ke atas meja.

Tak lama kemudian teman sekelasku yang berada di luar, berlomba lomba masuk dan duduk di bangku mereka masing masing.

Kau tau pertanda apa itu?
Ya. Pertanda ada guru datang.

Aku dikagetkan dengan sebuah kepala yang tiba tiba saja muncul di balik pintu.

"Belajar apa?" tanya Pak Ahmad dengan suara beratnya.

Saat sebagian besar kelas menahan tawanya, sebagian yang lain justru memberi tatapan heran pada mereka yang tertawa.

Unrequited Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang