1. Poor Me

82 8 0
                                    

Happy Reading!

Sorry for the typos:)

*****

Argh!

Untuk kesekian kalinya aku merintih karena merasakan sakit di sekujur badan. Belum lagi kakiku yang terasa sangat pegal karena harus berjalan selama setengah jam dengan high heels 10 centi sialan itu.

Dengan pelan, aku merebahkan badanku ke atas kasur dan langsung memejamkan mata sebentar. Hari ini benar-benar terasa meletihkan. Tapi di sisi lain aku juga merasa beruntung karena melayani beberapa tamu lebih banyak dari biasanya. Itu artinya pemasukan di kantungku juga bertambah.

Tapi...

Apa artinya aku punya uang banyak jika aku sendiri tidak punya harga diri lagi?

Terkadang pikiran itu datang menghinggapi perasaanku, hingga membuatku benci pada diriku sendiri. Tapi rasa benci itu tak pernah melebihi rasa benciku pada nyonya tua serakah yang memaksaku masuk dalam kehidupan brengsek seperti ini.

Dulu, Josephine Smith tidak begini. Jojo yang dulu adalah gadis cerdas, lugu, yang takut untuk berbohong dan disayang banyak orang. Tapi sayangnya, sosok Jojo yang itu, sudah mati bersamaan dengan hancurnya hidupku yang bahagia dengan kedua orang tuaku yang masih hidup.

Tepat dua tahun yang lalu, saat umurku masih delapan belas tahun, bencana memporak porandakan hidupku hingga hancur berantakan. Semuanya bermula dari meninggalnya ibuku yang memang mengidap penyakit kanker payudara.

Hanya berselang enam bulan dari kejadian itu, aku harus menghadapi kenyataan jika bisnis milik ayahku bangkrut. Tidak ada lagi asset yang tersisa karena semuanya digunakan untuk membayar hutang. Ku pikir, penderitaan ku selesai sampai disitu, tapi nyatanya, tidak. Karena frustasi, ayahku akhirnya mengalami depresi berat hingga dirinya memutuskan bunuh diri.

Dan aku, hanya hidup sendiri.

Tak ada satu pun sanak keluarga ku lainnya yang ingin menampungku. Semuanya, menutup pintu untuk kehadiranku di rumah mereka. Sejak saat itu aku membenci mereka karena mereka seperti kacang lupa kulit, sangat tidak tahu diri.

Namun, ada satu saudara jauhku yang bersedia menampungku. Dengan segala kelembutannya dia menyambutku. Dan aku merasa senang kala itu, karena menganggap Emily sangat lah baik. Tapi sayang, bayanganku tidak seindah itu. Wanita yang awalnya ku puja ini, jadi orang yang paling aku benci dibanding siapa pun di dunia ini, sekarang.

Dengan seenaknya, dia memaksaku untuk mengikuti jejaknya sebagai seorang wanita penghibur. Jangan berpikir aku tidak menolaknya, karena aku sudah melakukan itu berulang-ulang kali. Bahkan aku pun pernah kabur darinya. Tapi, pacarnya Brandon--yang sama busuknya itu, selalu menjegal jalanku dan menbawaku kembali ke rumahnya yang sudah ku anggap seperti neraka.

Jika kalian anggap aku adalah seorang pelacur, sayangnya bukan--atau belum lebih tepatnya. Saat ini aku masih sebatas wanita penghibur yang suka menemani pria-pria berdompet tebal tapi tak pernah melayani mereka. Namun, tetap saja aku merasa hina. Hampir setengah bagian tubuhku sudah kotor karena digerayangi tangan-tangan nakal mereka. Tapi tidak untuk mahkotaku yang paling ku jaga kesuciannya. Tidak akan pernah.

Sambil memikirkan nasib buruk yang masih saja menggentayangiku, aku pun masuk ke dalam kamar mandi dan mulai menikmati waktu sendiriku di bawah pancuran air. Salah satu kegiatan yang aku sukai karena selalu berhasil membuatku kabur sejenak dari dunia nyata dan dapat berkhayal tentang banyak hal. Kadang, aku sampai bisa lupa diri hingga berada di dalam sini hampir dua jam lamanya.

Aku jadi teringat, hal bodoh yang aku lakukan beberapa bulan lalu saat sudah merasa frustasi karena tak pernah bisa kabur dari cengkaraman Emily. Saat itu, tepat dengan posisi yang sama--berdiri di bawah shower, genangan air di bawah kakiku berubah merah saat tanganku mulai meneteskan darah karena hasil cuttingan ku sendiri.

Aku sempat tak sadarkan diri dan berharap nyawaku akan melayang saat itu juga. Aku lebih menginginkan untuk menyusul kedua orang tuaku dibanding harus berhadapan dengan Emily terus-terusan. Aku sudah lelah menjadi ladang uangnya setelah karirnya sebagai pelacur sudah tak semakmur dulu karena faktor usia.

Tapi naasnya, doa ku tak dijawab. Entah bagaimana alasannya, aku tersadar dengan rasa asing di sekelilingku. Ruangan berwarna putih, bau obat, dan segala macamnya membuat ku saat itu langsung tahu jika aku ada di rumah sakit.

Hanya dua hari aku dirawat, Emily memaksa dokter untuk bisa membawaku pulang. Dan begitu sampai di rumah, aku justru dipukuli hingga punggungku merah dan berdarah kecil. Ironis sekali bukan hidupku ini? Tapi jangan kasihani aku, karena aku sudah terlalu sering mengasihani diriku sendiri.

"Jojo! Dimana kau jalang kecil?"

Teriakan itu. Teriakan kencang dari wanita brengsek yang selalu membuat telinga ku terbakar. Mau apa dia pagi buta begini? Aku pikir dia sedang sibuk melayani nafsu laki-laki pecundang kesayangannya si Brandon itu.

"Jojo keluar kau sekarang! Keluar dari kamar mandi itu sekarang!"

Aku memutar bola mata sembari menghentakkan nafasku keras. Setelah mematikan keran shower ku, langsung ku raih handuk putih bermodel kimono yang segera ku balut pada tubuhku.

"Ada apa?" Tanyaku langsung padanya yang melempar tatapan mematikan padaku. Dia pun melangkah mendekati ku dan menarik tanganku kencang hingga aku meringis kesakitan. Astaga, mau apa sih wanita ular ini?

"Dimana kau simpan uangmu? Morries bilang padaku jika malam ini barnya sedang ramai pengunjung, berarti kau juga dapat banyak tamu bukan? Mana uangnya? Mana?"

Ah, suaranya yang makin terdengar meninggi itu, terasa menyakitkan telingaku. Sudah kuduga dia akan menanyakan hal ini. Bagaimana tidak? Dia itu sangat serakah dengan uang.

"Tidak ada. Lagi pula itu uangku bukan milikmu" dengan satu tanganku yang masih bebas dari cengkaramannya, sekuat tenaga aku coba untuk mendorongnya.

Dan hasilnya, dia terlihat begitu tidak suka dengan secuil keberanianku. "Jadi kau mulai berani ya? Kau pikir kau siapa hah? Kau hidup sebagai parasit di rumah ini, kau tahu?"

Apa dia bilang barusan? Aku parasit di hidupnya? Bukan kah terbalik? Jelas-jelas dia yang kini menjadi parasit karena bergantung hidup dari pendapatanku. Sementara dia enak-enakan saja di rumah dengan pacar bodoh kesayangannya.

"Jika kau memang menganggapku parasit, kenapa kau tidak mengusirku saja? Atau setidaknya biar kan aku pergi dari neraka ini! Justru bagus, itu memang yang aku inginkan sejak lama."

"Ah banyak omong!" Dan seketika pipiku terasa panas, karena tamparan keras darinya. Tapi, aku tak terkejut atau merasa sakit. Ini sudah biasa.

"Sekarang serahkan uangmu! Dimana kau menyimpannya jalang kecil hah?" Sekarang dia mulai merecoki seluruh kamarku. Tasku dibongkar seenaknya. Dengan sebisaku aku menarik tangannya agar tak menyentuh dompet ku yang tersimpan di dalam. Tapi kekuatannya sangat kencang hingga justru aku yang terlempar ke belakang.

Dan aku hanya bisa menarik nafas pasrah, saat dompetku sudah berada di tangannya, dan lembaran uang di dalamnya pun terkuras habis diambil semua olehnya.

"Nice job, Jojo. Thank you" ucap wanita ular itu saat meninggalkan kamarku dengan senyum miringnya yang begitu menjijikan.

Dan yang bisa ku lakukan saat ini hanyalah menangis. Meratapi nasib yang masih belum berpihak padaku.

Poor you, Jojo. Poor you.

*****

Tbc.

Please kindly leave vomments:)

All the love.
-a.m-

The Last SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang