From : victorysa.mirelle@g0mail.com
To : christiano__george@y7mail.co.id
Date : July 17, 2016, 10.35 PM
Subject : HiHai George. Apa kabarmu? Seminggu telah berlalu sejak senja itu, namun aku masih saja menyimpan beribu tanya di hati. Semoga kau tidak menganggapku gila--hah, kau pasti sudah terlalu sering menganggapku begitu mengingat di awal pertemuan kita pun... ah, lebih baik aku tak usah membahasnya, mengingat saat itu merupakan salah satu kejadian paling memalukan dalam hidupku. Hidupmu juga sih. Yah, kejadian itu pula yang membuat kita memiliki kisah ini.
***
"Ry, please dong. Kali ini aja lo bantuin gue."
Aku menghentikan langkahku, melirik tangannya yang menarik lengan kiriku dan berusaha sekeras mungkin untuk tidak menghembuskan napas keras atau memutar bola mata, mengingat lawan bicaraku adalah manusia paling sensitif di dunia yang memiliki jutaan penalaran atas satu tindakan atau kata yang keluar dari diri seseorang. Membuatku mempertanyakan mengapa aku mau-mau saja menerima dia sebagai sahabatku, padahal jelas-jelas kami berdua sangat bertolak belakang. Ia adalah cewek petite yang dengan lirikan matanya saja mampu menaklukkan hampir sebagian besar cowok semasa SMP, sedangkan aku adalah tiang listrik berjalan yang lebih banyak dijauhi cowok dan dijadikan tameng oleh cewek-cewek yang sering dikerjain cowok-cowok yang baru akil balig. Ia punya pembawaan yang cerewet, suka mengomentari ini-itu persis ibu-ibu, dan layaknya ibu-ibu sejati ia pun jago memasak bahkan punya suara sehalus sutra yang hanya dia keluarkan saat berhadapan dengan orang-orang yang menarik perhatiannya atau ketika ia benar-benar dalam status siaga 1. Berbanding terbalik denganku yang malas bersosialisasi bahkan berbasa-basi dengan orang, bukan karena aku dingin dan sebagainya, tetapi karena social awkward yang sudah lama menjadi momok kehidupanku. Kami berteman sejak MOS di SMP karena kami berdua menjadi bulan-bulanan kakak kelas yang takjub dengan 2 makhluk yang bagaikan langit dan bumi seperti kami bisa berada di satu kelas. Cukup aneh memang, namun setelah tiga tahun berteman dengannya aku sadar kami berdua saling melengkapi. Well, that's what friends are for, right?Meski begitu, sikapnya kadang membuatku ingin sekali menasihati diriku tiga tahun yang lalu itu agar tidak usah berurusan dengan orang sepertinya. Contohnya seperti saat ini. Semenjak terpilih menjadi ketua Pensi 2014 yang membuatnya sibuk serta berkeliaran kesana-kemari, kini ia datang tiba-tiba padaku, memohon-mohon agar aku dapat membantunya mengurus kelas yang juga harus ikut berpartisipasi dalam acara pensi itu. Yah, aku kasihan juga padanya yang harus mengemban tugas menjadi ketua di dua tempat yang berlainan, tapi mau bagaimana lagi? Jika ia sudah menerima, berarti ia merasa bisa bertanggungjawab kan? Melihatnya yang datang kepadaku tiba-tiba seperti ini membuatku yakin ia amat sangat kewalahan mengurus acara tersebut yang tinggal tiga bulan lagi. Sekalipun demikian, itu bukan alasan baginya untuk memanfaatkanku, sekalipun kita berteman.
"Fin, denger ya..." aku menatapnya, berusaha tidak memerdulikan tatapan mata memelas yang tengah ia lancarkan sedari tadi, "Gue bukannya nggak mau bantuin tapi gue males ikut-ikut kegiatan nggak jelas kayak itu. Mending gue nonton di rumah atau jalan-jalan ke taman bareng Shiro, anjing gue. Lagian, lo kan ketua kelasnya, jadi lo yang urus aja. Gue ini kan wakil seksi keamanan, jadi nggak masuk dalam jajaran elit," tandasku. Sedikit kejam memang, tapi mau bagaimana lagi, aku memang tengah malas mengikuti acara pensi yang rencananya akan diadakan di sekolah, apalagi jika inti acaranya hanya buat senang-senang. Selain itu, apa anak ini tidak bisa memilih tempat yang lebih baik untuk berbicara? Maksudku saat ini tengah jam istirahat dan kita berada di koridor utama.
Bibir Fina mengerucut, tanda ia begitu kecewa dengan penolakanku. "Lo kok segitunya sama sahabat lo sendiri? Gue nggak minta elo buat urus ini-itu, gue cuma minta elo buat bantuin gue ngurusin kelas kita, ngarahin deh kalo lo nggak suka. Lo tahu sendiri gue ketua panitia pensi, gue jadi sibuk ngurusin macem-macem dan kayaknya bakalan susah buat ngurusin kelas. Lo mau kelas kita berada di tangan Silvia, si wakil yang otaknya cuma berisi kutek? Atau Vivine, si sekre yang sekali dibentak aja langsung kejang-kejang? Kita nggak mungkin berharap sama Geo, si bendahara nggak niat itu kan? Lo tahu sendiri orangnya demen keluyuran dan sama sekali nggak ada niat buat sekolah apalagi mikirin kelas," ia mulai bercerocos dengan kecepatan super dan nada yang makin hari makin naik satu oktaf. Aku menatap sekeliling dengan panik, berharap tidak ada satupun siswa yang berkeliaran di koridor akan menjadikan kami tontonan menarik, namun terlambat. Hanya selang sepersekian detik dari cerocosan Fina, beberapa siswa dengan wajah tertarik melirik ke arah kami bahkan ada yang sampai mengernyitkan dahi. Barangkali mereka mempertanyakan mengapa seorang cewek mungil kayak Fina memiliki suara cempreng kayak Donald Duck. Atau mengapa ada cewek nerd kayak aku yang tidak langsung melempar buku-buku tulis yang merupakan kumpulan PR Fisika kelasku yang tengah kupeluk, yang omong-omong lumayan berat juga, ke kepala Fina agar ia sadar aku nggak budek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear George
Romance"Karena pada akhirnya kita yang akan berjuang melawan dunia yang keras ini. Entah kalah atau menang, yang terpenting kita telah berusaha." Namanya George. Lelaki paling narsis yang pernah diciptakan. Punya segudang kosa kata yang mampu menghancurkan...