Welcome to Hell, Enjoy!

41 0 0
                                    


"Cie yang mendadak femes," Fina menyenggolku sambil menyodorkan teh botol yang baru saja dibelinya. Aku meliriknya keki, namun bukannya memahami keadaan sobatnya ia tertawa kecil. "Jangan galak-galak gitu, gue kan nggak maksud apa-apa," ujarnya sambil nyengir. "Gila, nggak gue sangka cuman dalam sehari kehidupan lo berubah, Ry. Ckckck."

Gue apalagi, desisku dalam hati. Kami sedang berada di kantin, namun bagiku tempat ini laksana neraka. Kiri kanan aku bisa melihat begitu banyak sorot mata yang memandangku dengan tatapan mengejek, lalu pura-pura melihat ke arah lain saat aku tak sengaja melirik mereka. Itu tak hanya terjadi sekali dua kali, tapi sudah terjadi setiap menit sejak aku menginjakkan kaki di sekolah tadi pagi. Penyebabnya tentu saja karena makhluk rese nyebelin yang narsis itu. Gara-gara kejadian kemarin, aku yang awalnya dikenal sebagai cewek baik-baik, yang pendiam dan dingin ini berubah menjadi cewek centil kegatelan yang pingsan karena terlalu nervous menyapa cowok cakep. That's suck, you know?

Hah, manusia memang cenderung menerima begitu saja apa yang terlihat tanpa sekalipun berusaha menyelediki maksud di baliknya. Penuh prasangka dan terlalu banyak berimajinasi, apalagi makhluk-makhluk labil bau kencur seperti mereka--dan sayangnya aku juga.

"Balik yuk, gue bete," aku beranjak berdiri. Namun saat aku berbalik mataku menatap satu sosok yang memasuki pintu kantin dengan gaya sengaknya. Beberapa orang berdiri di samping dan belakangnya, bak barikade bodyguard yang menjaga artis yang turun di kumpulan rayat jelata.

Fina langsung mencolek lenganku. "Itu kan si Geo, sama kawan-kawannya yang berandalan itu."

Aku mengangguk samar. Trumps, nama geng mereka. Geng yang berisi kumpulan manusia yang se-tipe dengan dia yang rebel, doyan keluyuran, tapi ganteng, kaya dan pinter juga punya posisi yang tinggi di organisasi intra sekolah. Entah mukjizat apa yang membuat makhluk seperti mereka bisa eksis, maksudku cakep dan populer saja sudah cukup, tapi mereka cakep, populer, kaya dan pintar. Bless their genes. Mungkin karena hal itu, mereka menganggap diri mereka bagaikan makhluk paling sempurna yang pernah ada dan melihat orang lain bak kutu kecil yang layak dimusnahkan.

Menyadari aku yang berada disana--atau mungkin karena aura membunuh yang sedang kulancarkan ke arahnya, ia balas menatapku lalu menyunggingkan senyum miring. Senyum yang seolah berkata: you-need-to-thank-me-I-made-you-famous.
I really wanna kill him right now.

Aku memutar bola mataku, dan berakting muntah dengan gaya berlebihan. Fina yang melihat tingkahku hanya bisa memandang kami berdua dengan tatapan memelas, berharap tidak ada aksi barbar seperti lempar-lemparan kursi, meja, bahkan alat-alat makan yang ada di kantin. Yah, bukannya hal itu tak mungkin terjadi sih.

"Yuk, Fin," aku menarik--setengah menyeret--Fina pergi dari kantin dan melewati mereka dan dengan sengaja menyambar bahu cowok narsis nggak tahu malu itu sehingga membuatnya mundur lalu tertawa kecil. Namun belum jauh aku melangkah melewati mereka, aku mendengar gumaman,

"Wait a minute, is that Gory?" Pasti itu Jack Anthony, cowok blasteran Amerika-Spanyol-Indo dengan rambut blonde, mata hijau kebiruan, tinggi melebihi rata-rata serta penguasa 7 bahasa asing. Yup, cowok ini punya satu kekurangan yang cukup mengganggu--suaranya setinggi badannya. Banyak yang mengakui orang ini bisa jadi kembaran Fina, yang diam-diam kusetujui. Dia sekelas denganku pada awal kelas 1, tapi akhirnya ia dipindahkan di kelas Internasional. Bukan karena ia tidak mampu mengikuti pelajaran, tetapi karena banyaknya penggemar yang mengerubunginya sehingga membuat proses belajar mengajar terganggu.
Dan kupikir 2 bulan sepertinya waktu yang kurang untuk mengenal seseorang, karena ia lupa bahwa namaku Ory, bukannya Gory. Tapi sudahlah, aku juga tak terlalu memedulikannya--sampai kudengar sahutan seseorang,

"Her name is Dory, Jack."

"Dory?"

"Dory in Finding Nemo movie. That funny fish," ia tertawa kecil ketika menyebut kata funny. Jelas sekali dia mengejekku dan menganggapku mirip Dory di film tersebut. Arghh, aku benar-benar ingin mengulitinya.

Fina menepuk bahuku pelan. "Udah, nggak usah dipikirin," dan langsung menarikku meninggalkan mereka sebelum terjadi huru-hara yang lebih hebat. "Oh iya, sebentar ada rapat buat pensi," ujarnya ketika kami sampai di depan kelas. Mendengarnya aku langsung merasa bersalah.

"Sori ya, Fin," gumamku. Yah, bagaimana pun aku telah berjanji akan membantunya namun pada akhirnya, akulah yang malah menambah bebannya. Dia sudah sibuk dengan urusan pensi, ditambah lagi dengan urusan kelas sendiri. Hah, kalau saja makhluk itu tidak membuat masalah, pasti semua akan baik-baik saja.

Fina tersenyum menenangkan. "It's okay. Gue ngerti kok, bagaimanapun lo juga udah berusaha buat bantuin gue. Yah, walau hasilnya nggak sesuai harapan sih," ia tertawa kecil. "Untung aja teman-teman sekelas nggak ada yang curiga, dan lebih seru lagi, lo malah jadi femes gara-gara kejadian itu. Memang deh popularitas tuh anak nggak kebendung, hanya karena ngebopong lo ke UKS berita tentang lo yang pingsan di kelas pas nyapa dia udah kesebar aja di satu sekolah," Fina menepuk bahuku takzim. "Yang kuat ya, coy."

Aku hanya mendengus. "Kalo gue nggak kuat, gue udah bunuh diri kali--eh, idih amit-amit bunuh diri demi dia. Kayak nggak ada alasan yang lebih masuk akal aja," aku merinding geli mendengar kalimatku sendiri.

Tapi siapa yang menduga kefemesanku tidak hanya berhenti sampai disitu saja?
***

"Jadi, lo bisa kan, Ry? Ntar sama-sama Geo kok."

Apa? Tunggu, tunggu sebentar. Apa maksudnya ini? "Lo bercanda?" Yup, itu dia kata yang tepat yang ingin kukatakan--eh?

Pemilik suara ketus itu berdiri, menampilkan wajah dingin menjengkelkan, yang kalau sampe itu aku yang menjadi lawan bicaranya sudah pasti aku tidak akan segan-segan membalas memelototinya jika perlu. Dahinya berkerut, tatapan matanya menyipit menyiratkan ketidaksukaannya pada apa yang baru saja didengarnya. "Kenapa hanya gue sama dia yang bertanggungjawab? Terus lo pada bakal ngapain?"

"Bukan gitu Ge, tapi untuk urusan ini lo berdua lebih pas jadi penanggungjawabnya. Mana badan lu bedua keker gitu kan, pasti nggak bakal ada yang nolak deh," Silvia menampilkan senyum manis, yang omong-omong keliatan banget palsunya. Hah, dia pasti senang sekali bisa dengan seenaknya berleha-leha dan oh, mungkin bisa langsung mereservasi beberapa salon selagi kami pontang-panting. Aku mendelik pada Fina, yang kali ini hanya bisa meringis melihat kenekatan Silvia.

Mereka benar-benar ingin membunuhku sekarang. Mengapa harus aku dan dia? Apakah belum cukup cobaan yang terjadi kemarin? Aku nyaris menangis membayangkan apa yang akan terjadi jika aku dan orang itu benar-benar akan bekerja bersama ke depannya.

"Yaa, itung-itung memperkuat tali kasih diantara lu bedua. Eh--nggak deng, ini kisah yang bertepuk sebelah tangan ya?" Vino... aku janji akan mencincangmu dan membuang tubuhmu dimakan ikan-ikan koi di kolam sekolah jika kau masih banyak mulut seperti ini.

Aku meliriknya. Selamat tinggal kehidupan SMA-ku yang tenang, selamat datang neraka. Tolong doakan aku, karena kupikir aku tak akan bisa bertahan sampai besok.

Dear GeorgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang