awake

38 0 0
                                    

From : victorysa.mirelle@g0mail.com
To : christiano__george@y7mail.com
Date : July 24th, 2016 01.43 AM
Subject: Awake

Aku terbangun lagi, tapi tenang, kali ini aku tidak terbangun lantaran mimpi buruk. Malahan aku terbangun karena mimpiku terasa begitu indah, yang saking indahnya membuatku jatuh dari tempat tidur lantaran terlalu bersemangat. Kau tahu tidak apa mimpiku itu?

***
"Harap tenang! Jika ada yang ingin mengajukan ide harap acung tangan, jangan banyak bacot di tempat duduk, protes ini itu terus ntar pada kabur kalo urusan kerja!" Suara Fina menggelegar, menutupi keriuhan kelas. Saat ini kami sedang mengadakan rapat kelas untuk membicarakan kegiatan yang akan kami lakukan saat pensi. Memang rencananya aku yang akan melakukannya, tapi yah, sejak kejadian kemarin itu Fina berinisiatif melakukannya meskipun aku tetap membantunya secara diam-diam. Sedikit-banyak aku kasihan padanya, selain tanggung jawab di kelas yang harus ia jalankan, ia pun memiliki tanggung jawab sebagai ketua pensi. Pasti dia sibuk banget, tapi sikapnya yang bertanggungjawab--yang omong-omong hanya datang di waktu terjepit saja--membuatku nyaris menitikkan air mata. Campuran antara rasa bangga, geli juga kasihan.
"Udah pada tenang? Bagus! Kita lanjut. Jadi, kelas kita bakal bikin kafe buat pensi. Kelas kita bakal dibagi jadi 2 shift biar nggak ada yang nyuri-nyuri kesempatan buat berkeliaran nggak jelas juntrungannya. Untuk menunya gue udah bicarain sama Anne, yang punya toko bakery. Kita bakal ambil dana dari kas kelas dulu, setelahnya baru kita bikin pencarian dana--ya Sil?"

Silvia, wakil ketua kelas kami mengacungkan tangannya yang berhiaskan kutek hitam-emas menyala, yang membuatku mempertanyakan mengapa selama ini dia tidak pernah terjaring razia guru BP. "Apa kita nggak buka tempat nail art sekalian? Jadi nggak cuma kafe doang."

"Ihh cucok ciyn, eyke udah nggak sabar. Kenapa nggak sekalian buka salon aja ciyn?" seloroh Vino diikuti tawa seisi kelas.

"Duh, kalo emang nggak ada urusan mending nggak usah nyambung-nyambung deh," balas Silvia sambil membuka kipas kuning dengan aksen manik-manik di sekelilingnya. Aku nyaris menyemburkan tawa. Bagaimana mungkin Vino nggak ada urusan, karena dia--dan seluruh kelas--adalah pemeran utama dalam acara ini. Jadi, mau tidak mau keterlibatan seseorang benar-benar menentukan. "Lagian usul gue lumayan, bisa nambahin kas. Soalnya dana pasti bakal tekor deh," sambungnya dengan nada sengak. Aku tahu cewek ini dangkal, tapi tak kuduga dia sedangkal ini. Pertama, jika usulnya "lumayan" seperti pengakuannya, maka aku yakin seisi kelas akan menyetujuinya. Tapi coba lihat? Yang setuju hanya 5%, itu pun karena mereka se-geng sama dia. Lalu yang kedua, apa dia tidak tahu siapa yang berdiri di depan kelas saat ini?

Fina tersenyum tipis. "Usul yang menarik, nanti akan kita bicarakan lagi. Vin--" ia menoleh pada Vivine yang langsung terlonjak dan menatapnya takut-takut, "udah dicatet kan?"

Dengan kepala tertunduk Vivine menganggukkan kepala. "U-udah k-k-kok."

"Bagus! Next--soal dana..." This is it. "Lo semua nyadar nggak kalo otak lo semua udah dimanjain sama ke-instant-an jaman? Kalo kas nggak cukup, ya cari solusi. Door to door kek, jualan apa kek, bikin apa kek sampe kekumpul tuh dana. Dana tekor? Nggak bakal kalo semua kerjasama dan saling bantu. Gini aja, biar nggak tekor kayak yang dibilang Silvia, gue pikir kita perlu ngumpulin dana awal."

Sudah kuduga anak ini pasti akan menuju kesana. Dasar pemalas, dengan mengumpulkan dana awal sebenarnya kerjaannya dapat berkurang 40%, asalkan semuanya bener-bener ngumpulin sesuai target dan jumlah yang ditentukan. Tapi bagaimanapun pada dasarnya kami hanyalah anak sekolahan yang bahkan masih meminta uang saku dari orangtua kami, kecuali jika nominalnya tidak terlalu besar. Itu pun kalau niat mengumpulkan dana masih ada di dalam diri anak-anak yang kebanyakan pelit dan doyan banget kabur nggak jelas--sepertiku, kalau saja ketuanya bukan Fina.

"Nah, bagusnya dana awalnya berapa?" Tanya Fina, pertanyaan retoris sebenarnya karena kutahu ia pasti sudah memiliki ancang-ancang jumlah dana awal yang harus dikumpulkan, bahkan bisa jadi ia sudah punya sketsa di pikirannya mengenai ke arah mana semua dana itu akan dikucurkan dan untuk apa.

"Cepe!" Seru Vino, yang langsung dibalas, sampe mati pun nggak bakal kekumpul sinting, oleh Fina.

"Dua rebu!"

"Lima ribu!"

"Sepuluh rebu!"

Fina mengetuk-ngetuk meja dengan penghapus papan tulis karena situasi kelas yang semakin ribut. "Temen-temen, inget ya ini dana awal. Nah, karena pengeluaran kita rada besar, gue rasa seratus ribu per orang bisa kan?"

What? Oke, aku tahu sekolah ini salah satu sekolah elit dengan banyak siswa dari kalangan menengah atas. Tapi tak bisakah mereka mempertimbangkan siswa dari kalangan menengah ke bawah juga? Apalagi ini Fina, kupikir dia paling mengerti keadaanku.

"Banyak banget, Fin," komentar Julie, yang omong-omong papanya dokter dan mamanya guru. Sip, Julie saja memprotes, apalagi aku.

"Maka dari itu ada tenggat waktu dua minggu buat pengumpulan," Fina menjawab. "Kalo tiap hari dikumpulin dua puluh ribu aja, nggak kerasa seminggu udah kan? Dan nggak usah pada boong lo semua, duit jajan lo pada pasti lebih dari lima puluh ribu kan?" Ya, mungkin kecuali seseorang sih.

"Ge, disini peran lo besar," Fina menoleh pada cowok narsis nyebelin itu, yang omong-omong sedari tadi sepertinya malah sibuk mendengkur di bangku paling belakang. Oh gawd. "Ge!" Plak. Bersamaan dengan seruan Fina, melayang pula penghapus papan tulis tepat ke kepalanya. Membuatnya terbangun dengan wajah jengkel, mungkin tak senang ada yang mengganggu waktu tidurnya.

Ia mengernyitkan dahi sambil meraih penghapus tersebut. "Siapa yang--"

"Gue," Fina berseru dengan nada tinggi. "Lain kali kalo lagi rapat, perhatiin! Molor mulu lo kerjanya!" Yup, siapa lagi yang bisa dengan tenang menyemprot setiap orang tanpa pandang bulu ketika situasi tengah kusuk begini selain Fina? Aku nyaris memeluknya karena merasa ia ikut membalas dendam kesumatku pada manusia nyebelin itu.

"Apaan sih lo? Jelas gue merhatiin," balasnya tak terima. Hih, dasar nggak mau kalah, udah tahu salah juga.

"Oh ya? Kalo gitu lo setuju berarti sama usul kita buat ngadain dana awal, kan?"

"Jelas," sambungnya pongah.

"Dan elo yang bakal bertanggungjawab buat itu."

"Hah? Kenapa gue?" Ia tampak tak terima. Bodoh banget sih pertanyaannya. Jelaslah, dia kan bendahara kelas. Fina pun mengutarakan hal yang sama dengan yang ada di dalam pikiranku. Sudah kuduga, orang ini cuma besar mulut saja. "Gue tahu gue bendahara, tapi lo pikir dalam batas waktu dua minggu dana itu bakal kekumpul? Liat dong muka orang sekelas ini, pasti di dalam hati mereka pada menggerutu gegara duit mereka kekuras." Sial, kok dia tahu sih? Sekalipun aku lumayan setuju dengan perkataannya, aku harus tetap memasang wajah datar. Mana mau aku berada di kubunya, sekalipun apa yang dikatakannya benar.

"Kalo ngumpulin sekaligus jelas beratlah. Tapi kalo dicicil pasti lebih ringan."

"Oh jadi lo pikir gue mau berkeliaran kesana kemari malakin orang?" Set, kata-katanya sadis amat. Kalau tidak tahu tingkah lakunya, aku pasti sudah menganggap dia manusia paling berhati mulia yang pernah ada.

"Gue tahu lo pasti cuma males aja," sindir Silvia. "Menurut gue dia harus ada temennya Fin, biar bantuin dia gitu."

"Oh, oh, gue usul! Gimana kalo Ory aja?" What. The. Crap. Vinoooooo. "Gimana, Ry? Lo bisa kan? Ntar sama-sama Geo, kok."

Aku tahu selama ini aku tak pernah membenci orang sebegitu hebatnya, namun baru dua bulan di kelas 2 sudah ada dua orang yang membuatku bisa saja menari hula-hula apabila UFO menculik mereka dan menghilangkan jejak mereka dari muka bumi.

***
.....
Tentang UFO. Hahaha. Kau ingat kan dulu aku pernah berpikir bahwa orang sepertimu sebaiknya menghilang saja dari muka bumi, dan kuharap UFO bisa datang menculikmu secepat kilat. Kau bisa bayangkan betapa bencinya aku dulu padamu, hahaha.
Kalau sekarang... kau tahu jawabannya. Memikirkanmu menghilang saja bisa membuatku nyaris sesak napas oleh air mata.

Dear GeorgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang