Day 1.
Hell.
Ya, ya, sori untuk kalimat pembukaan yang kasar banget, aku hanya tak bisa menahan rasa geramku. Kalian tidak perlu menebak siapa pelakunya, karena kalian pasti sudah bisa menduganya. Yap, siapa lagi makhluk yang bisa membuat tensi darahku naik di pagi hari yang seharusnya indah ini selain...."Pagi banget ya datangnya, udah pikun sampe nggak tahu punya tugas?"
Sabar... sabar... "Iya, gue tahu kali. Lagian ini," aku melirik jam tanganku, "baru jam 6! Gue nggak telat, tahu!"
Ia ikut melirik jam tangannya sendiri, yang jelas banget branded, mahal, dan mewah. Ish, apaan sih aku merhatiin jam tangan ini orang? "Udah lewat dua menit. Lo nggak tahu istilah waktu adalah uang?"
"Gue tahu kok. Dan lo tahu nggak? Dengan membuang waktu buat debat nggak jelas kayak gini lo udah membuang-buang uang lebih banyak dari gue. Kenapa sih kita nggak mulai aja?" Aku langsung menyusup memasuki kelas yang omong-omong sudah mulai dipenuhi siswa-siswi. Kemarin kami memang sepakat untuk menagih dana awal di pagi hari sebelum bel masuk agar nggak ada waktu bagi mereka buat menilep dana itu untuk membeli sebungkus batagor, atau bahkan gorengan di kantin sekolah. Usul yang lumayan brilian ini dikeluarkan oleh dia. Tumben banget kan? Mungkin dia belajar dari pengalamannya yang suka banget kabur setiap kali ditagih sama hal-hal yang berbau duit. Heran, padahal gayanya selangit. Eish, kenapa aku malah mikirin dia coba? Dia nggak mau bayar kek, dia mau berkeliaran kek, urusanku apa coba?
Oh, kalian penasaran bagainana kami akhirnya bisa setuju untuk bekerja sama? Ceritanya panjang, kalian akan bosan mendengarnya."Selamat pagi teman-teman!" Aku menyapa sambil menampilkan senyum terbaikku. Usaha yang memerlukan latihan keras selama tiga jam semalam. Terang saja aku langsung menjadi pusat perhatian, membuatku nyaris menahan napas dan seketika nyaliku menciut. "Erm... itu... dana awal?"
Vino langsung menepuk dahinya. "Aduh, gue lupa, sori ya Ry," dan kembali fokus pada smartphone-nya.
Sabar."Eh iya ya.. gue lupa minta bokap nih."
Sabar.."Bisa besok nggak Ry? Pas-pasan nih."
Sabar..."Udah berapa yang ngumpulin? Gue sekalian aja Jumat ya, Ry."
Sabar...."Ry, gimana kalo lo bedua nagihnya minggu depan aja? Minggu ini biar kita nyicil masing-masing aja gitu. Lo pada nggak susah, kita juga nggak perlu kepikiran. Brilian kan?"
Brilian dengkulmu?!Saat itulah aku mendengar ada suara tawa tertahan, aku langsung mendelik ke arah seseorang. Sebab jelas sekali hanya dia yang berada di dekatku dan sempat-sempatnya tertawa-tawa di kala orang kesusahan. "Apa?!"
"Nggak, gue cuman nggak nyangka lo itu... rada bloon ya?" Fyi, ia mengucapkan kata bloon dengan nada mengejek yang kentara banget.
"Maksud lo?!" Nada suaraku naik satu oktaf, dan seketika suasana kelas menjadi hening. Crap. Semua wajah teman-teman sekelasku tampak memerhatikan kami, jelas sekali menunggu momen-momen menarik yang bisa mengisi waktu luang sebelum jam pelajaran dimulai.
"Wow, wow, easy tiger. Jangan marah-marah, ntar keriput loh nambah," ia menatapku dengan raut wajah prihatin. Si-ha-lan "Gini loh, Nona Victorysa Renata Mirelle," Heh? Dia hapal nama lengkapku? "Lo itu salah strategi. Kalo lo mau bikin mereka tertarik ngumpulin, ya jelas lo mesti bikin marketing lo bagus."
Aku nyaris melongo. Oh ralat. Aku benar-benar melongo sekarang. Pertama, makhluk ini tiba-tiba memanggil nama lengkapku--dengan embel-embel nona pula, membuatku merinding. Kedua, ia menjelaskan--kutekankan, menjelaskan--dengan nada datar, tanpa sekalipun mengucapkan kalimat-kalimat nyelekit minta ditabok. Sepertinya belum sampai lima menit lalu dia menghinaku deh, kenapa dia tiba-tiba berubah begini?
"Ngerti nggak?" Pertanyaannya jelas membuyarkan lamunanku."Hah? Ngerti apa?" Tanyaku, jelas sekali menampilkan raut wajah bloon.
"Ck, emang kalo udah bawaan susah diubah. Ngerti nggak sih penjelasan gue? Atau jangan-jangan lo lagi ngebayangin film India yang lo tonton semalem?" Ini kenapa jadi menjurus ke film India? Dan siapa pula yang membocorkan ke dia kalo aku suka film India? Tenang, Ory. Santai. Jangan tanggapi, nanti dia pikir itu bener lagi--padahal memang bener sih.
"Ehm... ngerti," jawabku, pelan. "Soal bikin strategi kan? Kalo gitu, lo bisa tunjukin gimana caranya? Jangan-jangan lo cuma omdo lagi," Bagus sekali. Aku harus membalas kalimatnya agar tidak terlihat mudah digencet. Padahal jujur saja hatiku sudah ketar-ketir karena orang ini menatapku tanpa jeda, ditambah seluruh kelas yang tampaknya masih memusatkan perhatian pada kami berdua.
Ia tersenyum miring. Senyum yang mirip pembunuh berantai pas dia udah nemuin korbannya, dan berbisik, Gotcha. "Wait and see." Sehabis berkata begitu ia mendekati tempat duduk Gita, si juara kelas sejati, dan Merry, cewek pendiem yang suka banget minta izin ke toilet tiap mata pelajaran. Jangan tanya padaku kenapa, karena aku jelas-jelas tak tahu. "Hai Git, Mer," ia menampilkan senyum tipis andalannya, dan... seorang Gita, yang mukanya judes setengah mati itu, tiba-tiba memerah. Merry? Ia sudah melambai dengan gaya slomo. "Sori banget nih ganggu, tapi lo bedua nggak mau ngumpulin dana awal? Gue udah sih, dan gue pikir lo berdua kan anak baik, jadi pasti mau dong ngedukung program kelas kita."
Dan tak sampai lima menit kemudian dia sudah mengantongi dana awal full tanpa menyicil dari Gita dan Merry. Kalau dia saja bisa secepat ini mengumpulkan dana awal, kenapa perlu aku coba? Saat matanya bertumbukan denganku, ia menaikkan setengah alisnya seolah memberi kode bahwa aku harus bersikap sepertinya.
For God's sake, do I really need to flirting with our classmates? I mean, seriously?***
Day 3."Kayaknya lo berdua makin bagus kerja samanya."
Aku menoleh pada Fina yang tengah menulis sesuatu di bukunya. Dua menit yang lalu bel istirahat telah berbunyi dan sebagian besar penghuni kelas sudah berhamburan keluar, memilih mengisi perut setelah empat jam dijejalkan dengan dua mata pelajaran yang cukup menguras otak, matematika dan fisika.
"Keliatannya aja gitu, Fin. Lo nggak tahu aja susahnya," dengusku."Gue tahu kok, dan gue berterima kasih lo bersedia buat nagih dana awal. Gue tahu lo paling males buat ketemu orang, apalagi dengan keadaan lo..." ia terdiam, agak salah tingkah karena menyadari raut wajahku yang berubah. "Eh, sori Ry."
Aku menggeleng. "Nggak papa, Fin. Justru gue bersyukur karena dengan ini setidaknya gue bisa, yah, melatih diri gue."
"Syukur deh kalo gitu. Gue sempet was-was pas elo mau, takut lo kenapa-napa gitu," ujarnya. "Tapi ternyata nggak. Eh, tapi gini ya Ry, gue penasaran aja. Kok lo bisa santai banget sama Ge sih? Bahkan bisa berantem-beranteman segala, di depan kelas pula."
"Itu... ehm..." Sebenarnya itu juga pertanyaan yang beberapa hari ini aku lontarkan di dalam hati. Kenapa aku bisa bersikap biasa saja, bahkan menampikan emosi yang meledak-ledak di depan dia? "Mungkin karena dia nyebelin, sampe alam bawah sadar gue lupa."
"Menurut gue sih alasannya lebih dari itu deh, Ry," Fina berujar, lalu tatapan matanya menatapku sambil menyunggingkan senyum misterius. "Lo yakin itu bukan karena lo kesengsem sama dia?" Bisiknya, dan membuat mataku melotot di batas maksimal.
"Gue? ....kesengsem sama dia?" Aku menunjuk diriku sendiri, membuat Fina mengangguk-angguk bersemangat. "Hell no!" Aku bergidik ngeri membayangkan kemungkinan itu. Tidak, tidak. Aku tidak mungkin kesengsem sama makhluk nyebelin garing narsis garing sotoy itu. Nggak. Mungkin. Maksudku, oh gosh, don't you see how much I hate him, Fin? "Otak lo pasti udah korslet Fin, karena kemungkinan itu nggak bakal terjadi."
"Who knows, Ry? Gimana kalo bukan lo, tapi dia yang lebih dulu jatuh cinta sama lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear George
Romance"Karena pada akhirnya kita yang akan berjuang melawan dunia yang keras ini. Entah kalah atau menang, yang terpenting kita telah berusaha." Namanya George. Lelaki paling narsis yang pernah diciptakan. Punya segudang kosa kata yang mampu menghancurkan...