1: Gara-gara Nilai

88 20 9
                                    

"Mei!" Panggil Ivan —teman sekelas Mei sekaligus ketua kelasnya—. Mei menengok ke arah Ivan dan menaikkan satu alisnya.

"Lo di panggil Bu Martha di ruang guru sekarang." Lanjut Ivan.

Hah, Bu Martha lagi, batin Mei. Bu Martha adalah wali kelas IPA 3 yang dimana kelas tersebut adalah kelas Mei. Mei memang agak kurang di bidang akademis, dan ini sudah kali kedua dia dipanggil ke ruang guru. Sudah pasti gara-gara nilai.

Mei mengangguk ke arah Ivan dan kemudian melirik teman-temannya; Brenda, Ben dan Milano.

"Udah sana samperin dulu," kata Brenda sambil mendorong Mei ke arah pintu kelas. Dengan malas Mei bangun dari tempat duduknya dan melangkahkan kaki menuju ruang guru yang letaknya di ujung lorong sekolah.

Setelah sampai di depan pintu ruang guru, Mei mengetok pintunya dan membuka kenop pintu. Ia pun berjalan menuju meja Bu Martha.

"Ibu manggil saya?" Tanya Mei saat sudah berada di depan meja bu Martha.

"Iya," kata Bu Martha sambil melepas kacamatanya. "Duduk, Mei." Kata Bu Martha mempersilahkan Mei untuk duduk. Mei pun mengangguk dan segera duduk.

Bu Martha menutup buku yang sedang dibaca olehnya dan kemudian menatap lurus ke arah Mei.

"Mei," kata Bu Martha membuka obrolan. "Dilihat dari nilai rapot semester satu kemarin, nilai fisika kamu sangat kurang, Mei," kata Bu Martha.

Tuh kan, apa ku bilang. Pasti masalah nilai. Batin Mei.

"Itu pun itu udah ibu bantu sebisa ibu. Tapi menurut ibu, kamu harus ikut tambahan." Kata Bu Martha.

Mei mengerutkan keningnya.

"Bu, saya ga suka ikut-ikut les gitu. Bukannya belajar, nanti saya malah ngobrol." Kata Mei jujur. Memang sedari dulu Mei sangat mem-blacklist kegiatan seperti les atau tambahan dalam hidupnya. Ia menganggap kegiatan itu sia-sia untuknya.

Bu Martha menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan itu yang ibu maksud." Katanya. Terus apa dong? Batin Mei.

"Kamu akan ikut private seminggu dua kali disekolah sampai semester ini selesai. Ibu sudah mengurusnya buat kamu." Kata Bu Martha.

Privat katanya? Ah yang bener aja. Gue ga mau.

"Bu, saya—"

"Tidak ada penolakan, Mei. Kamu tenang aja, bukan ibu atau guru lain yang mengajar. Mungkin kalau belajar sama yang seumuran denganmu, kamu bisa lebih paham." Jelas Bu Martha.

Mei mengerutkan keningnya, lagi. "Seumuran?" Tanya Mei. Bu Martha mengangguk.

"Maksud ibu, saya bakal privat sama murid sini juga?" Mei bertanya lagi, dan lagi-lagi Bu Martha mengangguk.

"Bu, saya janji bakal belajar lebih giat lagi, tapi tolong bu—"

"Mei, tadi 'kan ibu sudah bilang. Tidak ada penolakan." Kata Bu Martha tegas.

Hah, kalau sudah begini, gue ga bisa apa-apa. gue juga sedikit takut sama Bu Martha.

"Yaudah deh bu," kata Mei setelah mengambil nafas panjang. "Tapi saya yang tentuin ya bu belajarnya hari apa aja. Kan, saya yang mau belajar." Kata Mei lagi.

"Mei, biar pengajarmu yang menentukan. Besok kamu mulai privat ya, jangan pulang dulu. Nanti ibu kasih info lagi." Kata Bu Martha dengan sorot matanya yang tajam.

Ngeri. Batin Mei.

"Emang siapa sih bu, pengajarnya?" Tanya Mei penasaran.

"Besok juga kamu tau." Kata Bu Martha sambil memakai kacamatanya kembali.

MEITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang