An Encounter

24 1 0
                                    

Sayup sayup suara hujan membungkus gendang telingaku. Aku terbangun di atas lantai kereta yang dingin. Marco masih tertidur lelap di bangku kereta.

"Marco, bangun," aku mengguncangkan bahunya dengan kasar. Marco hanya mengguman tak jelas dan menutup mukanya dengan topi(curiannya).

"5 menit lagi," balasnya acuh tak acuh. Kami tertidur seperti orang gembel di kereta yang diduduki beberapa penumpang yang hendak pergi bekerja dan bersekolah sambil melihat ke arah kami dengan pandangan yang tak bisa kubaca. Jijik? Geli? Pandangan mata yang sering kami terima.

Aku mengangkat diriku yang semula tertidur seperti ikan asin untuk duduk di bangku layaknya seorang remaja yang normal.

"Para penumpang yang terhormat, stasiun selanjutnya, Dantay West." Suara mesin rekorder berbicara. Marco yang terlelap langsung terperanjat kaget, "Pemberhentian selanjutnya adalah tujuan kita. Siap-siap, Fan. Kita akan segera bertemu dengan seseorang yang spesial."

Orang spesial? Pacarnya?

"Bukan pacarku jika itu tebakanmu," ucap Marco dengan santai seolah-olah sedang membaca pikiranku. Aku mengulum senyum dan melihat keluar kaca. Bola keemasan dengan segala kekayaan warnanya perlahan-lahan merayap dari ufuk timur. Langit pagi yang berbaur dengan hijaunya alam membuat warna terlihat semakin kontraks. Sungguh indah.

"Para penumpang yang terhormat, stasiun selanjutnya, Count District." Suara mesin rekorder mulai berbicara lagi.

"Kamu siap?" Tanya Marco.

"Tak pernah sesiap ini,"balasku sambil berdiri di depan pintu kereta.
Saat pintu terbuka, mataku menyambut suasana yang sama sekali baru. Stasiun kereta di Endsville yang biasa dipenuhi orang yang berlalu lalang kini diganti dengan pemandangan yang kosong belontong. Marco dan aku turun dari kereta.

"Ini, teman, tempat kita memulai baru." Marco merenggangkan tubuhnya yang kaku - hasil beberapa jam tertidur dengan posisi kikuk.

Count District, pukul enam pagi. Ketika menginjakkan kaki di stasiun, aku melihat sekeliling. Dedaunan yang terjatuh dan kering, menandakan awal musim gugur. Angin semilir yang samar-samar terasa kering di wajah membuatku mengantuk. Lagi. Seorang kakek tua yang berpakaian seragam berwarna biru tua duduk di belakang pusat informasi sambil menelungkupkan kepala di atas meja seperti tidak tidur semalaman. Kami beranjak dari tempat kami berdiri dan menghampiri pusat informasi untuk menanyakan jalan menuju tempat yang Marco sebut-sebut.

Marco mengetuk jendela transparan di tempat pusat informasi,"Permisi. Kami mau pergi ke jalan Plumvillage. Dapatkah anda memberi tahu jalan menuju ke sana?" Kakek tua tersebut mengangkat wajahnya untuk menatap kami lekat-lekat. Seolah-olah kami makhluk asing.

"Apa??" Tanya kakek itu sambil meletakkan salah satu tangannya di belakang telinga, seperti tidak mendengar pertanyaan Marco.

"Kami mau pergi ke Plumvillage. Di mana itu?" Seruku dengan suara lantang.

Kakek yang berusia sekitar tujuh puluh tahun itu kini memasang alat pendengaran di telinganya. "Apa yang kau tanyakan, anak muda?" Aku bisa gila dibuat kakek ini. Cukup unek-uneknya. Badanku lengket dan bau keringat, capek sudah pasti, lapar apalagi. Namun tak bisa jika aku harus menahan kebiasaan untuk tidak menghirup bau yang membuatku merasa di surga - ganja.

"PLUMVILLE. KAMI MAU KE PLUMVILLE. TUNJUKKAN JALANNYA PADA KAMI, ROTAN TUA." Emosi dalam ubun-ubunku yang dari tadi mengepul, meluap begitu saja ketika kakek itu tertawa renyah dan menyerahkan dua bungkus roti.

"Makanlah ini. Kalian terlihat seperti benang kusut. Belok kiri dan berjalan hingga kalian melihat pertigaan, ambil jalan yang di sebelah kiri. Dua blok dari sana, Plumvillage." Setelah kakek itu menjelaskan, aku berterima kasih dan meminta maaf. Kurasa ini efek yang terjadi jika aku tidak menghirup wangi ganja. Tepat saat kami berbalik, dengan tidak sengaja Marco menabrak sosok gadis yang berseragam sekolah.

Mata mereka bertemu pandang dan kening gadis itu sedikit tertekuk, seperti mengingat sesuatu,"Aku pernah melihatmu," sahut suara mezzo sopran.[]

Dedicated to : Winna Efendi.

Broken Home(BH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang