Plumvillage

41 2 2
                                    

Insiden di stasiun tadi belum sempat meninggalkan ingatanku. Seorang gadis mungil dengan seragam sekolah musim dingin dan mantel yang tebal, syal merah yang melilit di sekitar lehernya memberi kesan berani pada bajunya yang menyiratkan warna monoton, di balik kacamata berbingkai hitam tebal itu tersembunyi kedua mata emarland yang berkilau. "Aku pernah melihatmu," sahut gadis dengan suara mezzo sopran memandangi Marco tanpa menunjukkan emosi apapun di balik tatapan hampa itu.

Marco tercengang beberapa saat, kemudian tertawa dan menepuk-nepuk pundak gadis yang terlihat sebaya dengannya. "Aku juga mengenal banyak orang." Gadis itu menatap Marco dengan tatapan dingin,"Apakah kau menjatuhkan kepalamu saat lahir, atau kau hanya bodoh?" Gadis itu kemudian berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

"Auch man, kata-kata gadis itu sangat menusuk." Sahut Marco dalam perjalanan kita menuju ke Plumvillage.

"Ya, sepertinya begitu," jawabku acuh tak acuh. Aku menggigit roti yang diberikan kakek tua tadi dan mengunyah perlahan sambil menelusuri Plumvillage. Marco menyiulkan lagu favoritnya sambil berjalan santai.

Plumvillage - desa yang bisa dikatakan sebagai desa terluas yang pernah aku tempati. Bangunan-bangunan yang cukup modern untuk sebuah desa, nuansa yang berbeda, rumput-rumput dan bunga-bunga liar menari-nari diterpa angin di samping jalan besar. Pohon-pohon musim gugur yang memiliki gradiasi warna jingga kecokelatan berjejer dengan rapi. Tumpukan daun di sana-sini membangkitkan suasana musim gugur. Seharusnya aku menikmati momen ini, namun mataku terasa sangat berat dan sayu - akibat menghisap rokok yang dicampur dengan tembakau sebelum kami menjalani misi-yang-menyebalkan. Langkahku gontai dan lesu, sungguh melelahkan. Namun, aku mencoba sekuat mungkin untuk berjalan seperti orang yang normal.

Langit Plumvillage sangat cerah, aku baru menyadari ketika kami berdua keluar dari stasiun kereta. Aku menatap ke atas dan menerawang langit yang dipenuhi awan-awan berbentuk kol, luas dan tak terbatas.

"Hei, Stefan," panggil Marco tiba-tiba.

"Ya?"

"Berjanjilah kau akan bertingkah baik di sana. Jangan membeli obat-obatan lagi. Kita ke sini untuk memulai hidup baru bukan? Menghapus masa lalu kita dengan Paman Gretch?" Langkahku terhenti dan memandang Marco. Kami melarikan diri jauh ke sini hanya untuk memulai baru. Aku harus berpikir yang rasional. "Hmm, baiklah. Aku rasa seminggu cukup untuk berubah jadi normal?" Marco menarik napas dan mengembuskannya dengan keras seolah-olah putus asa dengan pemilihan kata-kataku. "Oke. Seminggu." Marco menyetujui.

Kami berdua sudah hidup bersama Paman Gretch selama yang bisa kami ingat. Kira-kira waktu itu aku berumur 11 tahun, aku diberitahu bahwa orangtuaku meninggal akibat kecelakaan. Aku tidak seberapa ingat tentang masa kecilku - aku ini pelupa. Akhirnya, aku yang tidak mempunyai kerabat di Kansas, dikirim oleh pihak yang bersangkutan ke Endsville, tempat di mana Pamanku tinggal bersama istrinya yang merupakan pasangan kekasih yang bekerja sebagai penjual emas di salah satu tikungan seberang toko kopi Starbucks.

Pada awalnya, aku sangat senang karena Paman Gretch dan Bibi Grenda selalu memberikan apa saja yang kuminta. Kartu-kartu pokemon, koin untuk bermain di timezone sepuasnya, uang untuk membeli mainan untukku dan teman-temanku yang lain. Kukira mereka adalah orang yang baik. Namun, waktu berkata lain.

Setahun setelah kepindahanku ke Endsville, di akhir tahun pada ulangtahunku yang kedua belas tahun, sesudah menggelar pesta ulang tahunku di salah satu restoran termewah, Paman Gretch dan Bibi Grenda mengantarku pulang ke rumah mereka dan membawaku ke suatu tempat. Ruangan bawah tanah yang terhubung dengan rumah mereka.

"Ikuti kami," ucap Paman Gretch tegas sambil menarik pergelangan tanganku. Bibi Grenda berjalan tepat di belakangku seakan-akan takut aku akan kabur. "Kau menyakitiku, Paman Gretch!" Rengek Stefan kecil. Paman Gretch mengacuhkanku dan mengambil langkah yang lebih besar sembari berjalan lebih cepat.

Aku dibawa ke sebuah ruangan pengap yang dipenuhi bau-bau aneh. Bau tembakau dan lem yang kental, asap rokok yang tebal, pesing, membuat seluruh isi perutku mendesak untuk keluar. Ternyata itu adalah tempat di mana orang-orang yang selalu keluar masuk toko Paman Gretch datangi. Ruang bawah tanah yang mempunyai pintu keluar belakang rahasia yang terletak di ujung gang. Ini adalah sarang narkoba.

Paman Gretch menjelaskan bagaimana toko emasnya dapat bertahan selama ini karena menjadi bandar narkoba. Pengguna narkoba tidak hanya diberikan tempat yang tersembunyi untuk menikmati "waktu" mereka, berandalan-berandalan itu juga boleh keluar dari tempat rahasia yang sangat aman.

Akhirnya, aku diajari cara meracik dan membuat rokok. Siapa tahu, racikanku ternyata membuahkan hasil. Pengunjung, pembeli, serta pengedar semakin banyak. Bahkan seorang gadis - ya, Eve. Menawarkan diri untuk bekerja pada Paman Gretch sebagai pemuas nafsu untuk lelaki yang datang silih-berganti. Dan karena Eve juga, bisnis Paman Gretch semakin ramai.

Selain rokok yang kuracik, Paman Gretch sendiri membuat ekstasi, sabu-sabu, LSD, LSA, penghisap ganja, menanam dan merawat marijuana dan opium dengan baik. Semua dimulai dari 0.

Marco datang ke dalam "keluarga" kecil kami saat dia berusia 12 tahun, aku tidak pernah tau alasan dia pindah ke Endsville, atau dari mana dia berasal. Yang jelas, Marco dan aku sangat cocok bagaikan kunci yang dimasukkan ke lubang pintu dan langsung terbuka. Marco sendiri juga tidak pernah bercerita perihal itu. Di tahun SDnya, dia tidak membantu dalam bisnis ini sama sekali. Saat SMP, barulah dia menerjunkan diri ke dunia gelap ini. Harus kuakui, dia cukup berani mengambil keputusan sebagai pengedar narkoba. Tentu saja, aku selalu menemaninya.

Marco tidak mau mencoba ganja, sabu-sabu, ekstasi, atau lainnya. Satu-satunya candu bagi Marco hanya cokelat. Marco hanya pernah menghisap rokok sekali - hasilnya ia terbatuk-batuk sampai tidak berani mencoba apa-apa yang bersangkut paut dengan psikotropika lagi.

"Itu dia! Rumah beratap merah!" Seru Marco sambil menunjuk ke arah rumah di ujung jalan sebelah kiri. Rumah ini tampak familier. Bau sesuatu yang manis menyeruak dari dalam rumah sederhana itu sampai keluar.
Kami berjalan lebih cepat hingga tiba di depan pagar kayu putih yang lebih rendah daripada kami. Marco tanpa basa-basi mengulurkan tangan ke belakang pintu pagar dan membukanya.

"Kami datang!!" Teriak Marco sambil meletakkan salah satu tangannya di sudut bibirnya kemudian tersenyum lebar. Kami berjalan dan menaiki anak tangga dan tiba di depan pintu pemilik rumah terserbut. Gantungan sebuah tanda "welcome" yang terbuat dari kayu mahoni dan berhiaskan daun-daun kering dan beberapa buah chestnut yang menempel pada sisi-sisinya membuat gantungan itu tampak dibuat sendiri. Derapan langkah kaki seseorang yang sedang berlari makin lama makin terdengar jelas.

"Selamat datang," seorang wanita menyahut dengan nada tentram dan ramah bergegas keluar untuk membuka pintu. Rasanya aku mengenali suara ini. Atau ini cuma halusinasiku saja?[]

Note : persamaan nama tempat, tokoh, atau alur cerita hanya sebuah kebetulan belaka.

Broken Home(BH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang