Chapter 2

2.3K 234 64
                                    

Seungcheol POV

"Saya harus bagaimana dok ?"

"Saya tahu kondisi Anda Jeonghan-ah. Saya tahu ini semua sangat berat bagi Anda. Kehilangan orang yang dicintai bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Tapi cobalah untuk tenang dan jangan sampai stres berlebihan. Saya tahu bahwa beberapa hari ini Anda minum obat penenang. Anda tahu itu tidak baik untuk janin di kandunganmu bukan ?."

Betapa terkejutnya aku mendengar berita ini. Separuh nyawaku seperti hilang begitu saja dari ragaku saat itu juga. Aku masih mencoba untuk mendengar lebih banyak percakapan antara Jeonghan dan sang psikiater.

"Maafkan saya. Tapi sungguh ini sangat berat untuk saya dok. Saya sudah mencoba mencari cara lain untuk menghentikan tekanan yang saya alami. Saya berusaha dan selalu gagal. Setiap malam mimpi-mimpi itu terus datang menghantui. Obat peneneng menjadi satu-satunya cara untuk menghilangkan sejenak penat yang saya alami."

Satu-persatu keluhan yang Jeonghan alami ia ceritakan pada psikiater itu. Aku tau bahwa aku telah menghancurkan harapan dan mimpi indah yang telah ia bangun bersama Jisoo, tapi aku tak menyangka bahwa semuanya akan serumit ini. Kehamilan Jeonghan, stress dan tekanan yang ia alami, itu semua benar-benar mengejutkanku.

"Ya Jeonghan, saya mengerti. Tapi bagaimana dengan bayi dikandungan mu ?"

"..."

"Kalau sangat sulit bagimu untuk menghentikan penggunaan obat penenang, ingatlah bahwa janin itu adalah peninggalan Jisoo satu-satunya. Janin itu adalah harta berharga yang dititipkan Tuhan padamu untuk Anda jaga Jeonghan-ssi. Janin itu akan menjadi satu-satunya hal berharga yang menjadi kenangan mu dengan Jisoo."

"..." aku melihat Jeonghan mulai menangis mendengar perkataan psikiater itu. Air matanya yang berharga mulai turun dari mata indahnya. Tidakkah dia tahu, bahwa hatiku ikut teriris melihatnya ?

"Dokter benar. Seharusnya saya menjaga janin ini dengan sepenuh hati. Bodohnya saya tak menyadari hal ini. Ya Tuhan, maafkan Eomma ya nak," kata Jeonghan sambil mengelus perutnya yang masih rata.

"Bagus Jeonghan-ssi. itu yang berusaha saya sampaikan padamu. Tenang saja, kamu masih memiliki banyak orang disekitarmu yang siap mendukungmu. Disini saya juga siap mendengar apapun keluhan yang kamu rasakan. Saya akan bantu sebisanya. Dan cobalah untuk berhenti mengkonsumsi obat penenangmu mulai sekarang. Lawanlah ketakutan dan trauma pada dirimu sendiri."

"Baik dok."

"Datanglah kesini secara rutin dan hubungi saya kalau terjadi sesuatu padamu Jeonghan. Ingatlah masih ada Tuhan dan orang-orang yang sayang padamu. Jangan sampai bertindak ceroboh dan jaga janin mu dengan baik."

"Baik dok. Terima kasih atas bantuannya. Kalau begitu saya permisi."

Setelah berpamitan pada psikiater itu, jeonghan hendak keluar ruangan dan sebisa mungkin aku menyembunyikan diri agar Jeonghan tak melihatku. Aku memiliki keinginan untuk mengikuti Jeonghan lagi, tapi rasanya kakiku sangat sulit untuk digerakkan. Aku takut dengan mengikuti Jeonghan, akan ada lebih banyak kenyataan pahit yang ku ketahui. Aku takut akan kenyataan bahwa si pria cantik ini menderita karena perbuatanku. Aku sangat takut menghadapi kenyataan menyakitkan ini. Dan aku takut bahwa tidak ada yang bisa kulakukan untuk menebus semua dosa-dosaku.

Sepulang dari tempat psikiater aku mengendaraiku mobilku dan bermaksud untuk mendatangi Doyoon. Aku ingin berbagi beban yang kurasakan. Tapi entah kenapa aku justru mengendarai mobilku kembali ke apartemen. Mungkin ini adalah tanda bahwa aku harus beristirahat.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang dan merenungkan semuanya. Aku berpikir dan terus berpikir, namun jawaban tak kunjung datang. Pikiranku benar-benar penat dan rasanya kepalaku ingin pecah. Akupun merebahkan tubuhku di tempat tidur dan mencoba untuk mengistirahatkan tubuhku dengan memejamkan mata. Namun saat hal itu kulakukan, bayangan ekspresi terluka Jeonghan saat Jisoo tiada tiba-tiba hadir. Ekspresi hancur itu membuatku ketakutan. Apakah selama seminggu ini Jeonghan melalui tekanan mental sampai harus konsultasi ke psikiater. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan ?

DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang