Broken Home #2

3K 75 6
                                    

In season THE BATTLE (Part 2)

Beberapa hari kemudian , Vanesha sedang latihan basket demi memantapkan kemampuannya dalam basket. Hal itu dikarenakan ia mendapat posisi sebagai point guard. Selain itu, ia mendapat kepercayaan sebagai kapten tim. Selama lima tahun ia menggeluti bidang basket, ia belum pernah mendapat posisi sebagai kapten. Dan saat inilah ia pertama kali mendapatkan posisi itu.
Ketika asyik latihan, tiba-tiba Vanesha dipanggil ke ruang rektor. Tanpa pikir panjang, ia langsung bergegas pergi.
Ketika di ruang rektor, ternyata yang ingin bertemu Vanesha adalah bukan Rektor tetapi pemilik Universitas Zohar. Melihat orang itu, ia sangat kaget dan masih tidak percaya akan berhadapan dengan orang yang ia benci secepat itu.

“Jadi kamu, yang di percaya sebagai kapten di tim basket putri? Siapa namamu?!” tanya Pragma.
Dengan sangat tenang, Vanesha menjawab,” nama saya Vanesha Putri. Saya berasal dari Kediri.”

Pragma cukup kaget mendengarnya dan iapun sempat berfikir kalau orang yang ada dihadapannya adalah putrinya. Namun akhirnya ia menepis fikirannya tersebut.
“Saya harap kamu bisa membawakan piala basket yang telah lama kami rindukan selama 10 tahun ini. Kalau kamu nggak bisa, aku bisa aja mencabut beasiswa kamu. Dan kamu pastinya tau kan apa artinya?” yakin Pragma.
“Saya tau. Dan saya akan berusaha untuk yang terbaik. Kalah ataupun menang, itu bukan masalah yang penting sportif.” Jawabnya.

“Sebenarnya kamu sadar atau tidak? Sekarang kamu berhadapan sama siapa? Bisa dibilang sekarang ini kamu sedang menggali kuburan kamu sendiri. Saat kamu kalah, maka kamu akan langsung terjun ke lubang itu dan terkubur hidup-hidup.” Ancam Pragma.
Vanesha senyum dingin dan berkata, “mungkin anda benar. Apabila saya kalah, maka lubang itu, akan menelanku. Tetapi, kalau saya menang, maka lubang itulah yang akan mencincang anda.” Sangat tenang.
Pragma pun terpancing emosi.
“Berani banget kamu berkata seperti itu. Kamu fikir kamu siapa?! Memangnya orangtuamu tidak pernah mengajarimu sopan santun?!” katanya.
“Keliatannya anda tau banyak tentang saya. Hingga sedetail itu anda mengetahuinya. Sejak kecil saya memang tidak pernah diajari sopan santun oleh orang tua saya. Apalagi ayah saya.” dengan pandangan yang sangat tajam dengan maksud menyindir.
Pragma semakin terbakar emosi dan langsung menyuruhnya pergi. Tanpa pikir panjang, Vanesha langsung menganggukkan kepala dan pergi ke lapangan basket.

Di ruang Rektor, Pragma menggumam sendiri, “apa mungkin dia adalah Eca. Tapi mana mungkin? walaupun nama dan asalnya sama, nggak mungkin kalau dia itu adalah Eca. Eca kan sangat lemah. Sangat tidak mungkin dia berubah jadi sangat keras seperti itu.” Dia semakin bingung dan akhirnya menggebrak meja yang ada di hadapannya dengan berkata, “ini tidak bisa dibiarkan. Sekarang sudah ada mahasiswa yang berani menentangku?!” hingga nafasnya terengah-engah.

Setelah dari ruang rektor, Vanesha langsung kembali ke lapangan untuk melanjutkan latihannya. Tetapi, ia dikejutkan oleh keberadaan tim basket putra sedang latihan di lapangan itu. Padahal seharusnya tim basket putra latihan di lapangan yang lain.
“Bukankah tempat latihan kalian ada diluar?! Ngapain kalian disini?!” ucap Vanesha pada tim putra tak terkecuali personil D’STAR yang juga tergabung dalam tim basket itu.
“terserah aku dong mau latihan dimana. Kamu nggak punya hak untuk melarang aku memakai lapangan ini. Dan kamu harus ingat, aku adalah anak pemilik kampus ini. Jadi aku bisa aja membuat beasiswa kamu dicabut. Ngerti?!” kata Dendra selaku kapten tim basket putra.
“terserah ya,.. kamu mau ngomong apa, tapi yang pasti,, bawa anak buahmu itu pergi dari lapangan ini.” Tetap tenang.
“Okey. Gini aja. Gimana kalau kita battle satu lawan satu. Kebetulan kamu kan kapten tim cewek dan aku kapten tim cowok. Dan yang menanglah yang boleh menggunakan lapangan ini plus boleh nglakuin apa saja pada yang kalah. Siapa yang lebih dulu mendapatkan 10 angka, itulah yang menang. Setuju?!” tawar Dendra dengan penuh keyakinan akan menang.
Tanpa pikir panjang, Vanesha langsung menjawab, “Okey. Nggak masalah.” Dan langsung merebut bola yang dibawa Dendra dengan diteruskan shooting cantik. “satu kosong.” Katanya.
Dendra langsung emosi dan berusaha lay up tetapi, Vanesha berhasil menepisnya dan langsung bergantian lay up. Sehingga kedudukan sudah 9:6.
“kurang satu lagi nih! Kamu udah siap dianggap sebagai pecundang?!” kata Vanesha sambil menghalangi pergerakan Dendra dan saat Dendra lengah, Vanesha langsung merebutnya dengan memperagakan Dribble cantik dan shoot 3 point. Sehingga battle itu dimenangkan oleh Vanesha.
Melihat itu, tim basket putra sangat kecewa pada Dendra. Sedangkan tim putri sangat senang melihatnya.
“Sesuai perjanjian yang kamu buat tadi, yang menanglah yang boleh menempati lapangan ini plus boleh nglakuin  apa saja pada yang kalah. Dan aku pengen kamu membersihkan semua ruangan yang ada di kampus ini.”
Mendengar itu, semua orang langsung kaget. Namun, Vanesha langsung menarik kata-katanya, “eh jangan deh. Kayaknya terlalu berat deh buat kamu. Gini aja aku beri dispensasi buat kamu. Kamu Cuma harus membersihkan semua toilet yang ada di kampus ini tak terkecuali toilet cewek. Dan kamu nggak boleh nolak.” Jelas Vanesha.
Tiba-tiba Mario. Drummer D’STAR angkat bicara, “emangnya nggak ada yang lain apa?! Pastinya sebelum kami membersihkannya, kami udah babak belur duluan kali.” Dengan emosi.
“Tadi kan yang ngajakin battle tu si Dendra. Jadi, dia juga yang harus tanggung jawab dan bukan kalian.” Jawabnya sangat enteng dengan terus memandang sinis Dendra.
“jadi itu artinya, kami nggak perlu melakukan itu?!! Alhamdulillah...” seru Reno. Keybourdist D’STAR. Sambil membelai dadanya.
Sontak Dendra semakin naik darah.
“jangan harap kalian bisa lolos ya! Jadi itu yang namanya teman?! Nggak setia kawan .“ katanya.
“Teman sih teman. Tapi kali ini, sorry aja. Kami nggak ikut-ikutan ya...!” ucap David. Bassis D’STAR dan langsung pergi meninggalkan Dendra yang diikuti anak-anak Putra lainnya.
Mendengar itu, kemarahan Dendra semakin memuncak dan terus mengepalkan kedua tangannya.
Dengan ketenangannya, Vanesha berkata, “kenapa masih disini?! Tunggu apa lagi? Buruan sana!!” diteruskan tertawa kecil.
Dendra langsung pergi dari lapangan basket dengan wajahnya yang masih memerah.

3 jam sudah tim basket putri berlatih. Akhirnya mereka menyudahinya dan semua anak-anak putri sudah pulang kecuali Vanesha. Ia pulang yang paling akhir. Sambil membawa tas dan memakai headphone ia berjalan keluar dari lapangan basket. Dengan mendengarkan musik, ia terus melangkahkan kakinya. Hingga melewati markas D’STAR . di tempat itu, ia melihat tengah ada kemelut disana. Cepat-cepat ia mematikan musiknya. Tetapi tetap memakai headphone dan mendengarkan perbincangan mereka.
Didalam markas D’STAR....
“Tu anak lama-lama ngeselin banget sih. Dia udah berhasil mengubah kehidupan aku dari surga Firdaus menjadi neraka jahannam. Hehhhh.......” Dendra sangat kesal terhadap Vanesha.
“emangnya yang kamu maksud siapa?!” tanya Reno.
“Siapa lagi kalau bukan si Vanesha. Emangnya dia fikir aku akan diam aja?!  Lagian kenapa kalian tadi nggak membantu aku? Liat nih! Wajahku bonyok kayak gini.” Dendra emosi.
“salah siapa juga...? membuat masalah dengan cewek aneh itu. Jadi gini kan akibatnya.” Kata Mario.
“Walaupun aneh, tapi aku suka keberadaan dia disini.” Kata Dennis dengan sifat dinginnya, sambil menciptakan lagu menggunakan gitarnya.
Dendra sangat kaget mendengarnya.
“apa?! Kamu suka sama cewek itu?! Apa kamu udah gila?!” katanya.
Tanpa ragu, Dennis menjawab, “siapa bilang aku suka sama dia?! Aku Cuma suka dia ada disini. Itu aja. Kalau emang kalian mikirnya beda, ya terserah kalian.” Jelas Dennis dan beranjak dari tempat duduknya dengan terus membawa gitarnya.
“udahlah! Dennis emang kayak gitu. Dia nggak pernah pro dengan pemikiranmu. Tapi, yang harus kamu ingat, Dennis itu adalah pilar terpenting diband kita. Kalau pilar itu roboh, maka kita semua juga akan hancur. Selama ini kan, Cuma Dennis yang nyiptain lagu-lagu kita.” Kata Mario sambil memainkan stik drumnya.

Di luar markas, ternyata Vanesha tetap berdiri disamping pintu. Saat Dennis keluar ruangan, Vanesha langsung melepas headphonenya dan bertanya, “apa benar yang kamu katakan tadi?” dengan sangat tenang.
Dennis langsung membalikkan  badannya dan berhadapan sama Vanesha.
“sejak kapan kamu berdiri disitu?”
“jawab aja. Apa benar yang kamu katakan tadi pada Dendra. Bahwa kamu Cuma suka keberadaan aku disini?! Dan bukan diri aku?!” tanya Vanesha mulai serius.
“iya. Itu benar. Emangnya kenapa?!”
Mendengar itu, Vanesha sedikit kecewa. Tapi, dia berusaha untuk tetap tenang.
“baguslah kalau emang itu benar. Soalnya, aku nggak ingin cowok sebaik kamu menaruh hati pada cewek pendendam seperti aku.”
“bagaimana kamu yakin aku cowok baik-baik? Padahal kan, kita baru aja kenal.”
“hati kecil aku yang berkata seperti itu. Dan biasanya, hati kecil itu, nggak pernah salah. Makanya, sebesar apapun dendam yang telah tersimpan, aku masih punya hati nurani. Karena satu prinsip aku. Kepala boleh keras, tetapi tidak untuk hati.” Jelas Vanesha dan beranjak dari tempat itu.
Baru saja Vanesha 2x melangkahkan kakinya, Dennis bertanya,” kalau aku boleh tau, kamu dendam sama siapa?”
Vanesha berhenti dan menjawab, “sama kakak juga ayahku.”
Deg…… Dennis sangat kaget.

Setelah itu, ia langsung memakai headphonenya dan pergi tanpa menghiraukan Dennis lagi.
“aku nggak nyangka. Dia menyimpan dendam pada dua orang terpenting dalam hidupnya.” Gumam Dennis dengan menggelengkan kepala.

>>Part 3

Broken HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang