[8] Kenyataan

2.4K 280 66
                                    

.

.

.

.

Jongin mengernyit ketika sinar mentari menelusup di antara celah gordennya. Kedua kelopaknya mengerjap pelan sebelum terbuka secara utuh. Pemuda berkulit tan itu menggeliat di posisinya saat ini. Merenggangkan kedua lengannya seraya menggerakkan leher yang mulai terasa pegal akibat posisi tidurnya yang tidak benar. Jongin mengerang pelan. Mungkin lain kali dia akan memastikan dirinya berada di kasur untuk mengistirahatkan tubuh. Bukannya menyiksa diri dengan tidur sambil duduk.

Jongin menegakkan tubuhnya. Menghirup napas dalam-dalam sebelum kembali meraup seluruh kesadarannya. Dan jika boleh, Jongin berharap bahwa yang apa yang diketahuinya semalam hanya mimpi. Hanya bunga tidur yang lewat tanpa permisi dan pergi begitu saja. Lenyap. Sayangnya, tidak seperti itu. Karena saat ini Jongin menemukan bukti otentik bahwa yang diketahuinya semalam bukan sekedar mimpi. Itu nyata. Karena jurnal Soojung kini ada di meja belajarnya.

Perlahan Jongin mengusap halaman terakhir yang dirinya buka. Masih tersisa berlembar-lembar kertas, tetapi isinya hanya sebatas itu. Kedua netrannya menangkap tulisan yang pudar di beberapa titik. Entah dirinya atau si penulis yang membuatnya hingga seperti itu. Yah, mungkin saja itu akibat perbuatannya. Karena yang diingat Jongin, selepas membaca halaman iu dadanya terasa sesak. Dirinya hanya bisa mengeram tertahan, lalu kelelahan dan tertidur. Bisa saja saat itu air matanya menetes, bukan?

Tapi, yang jelas ada seseorang lagi yang bertanggungjawab atas pudarnya tulisan-tulisan itu. Si penulis yang amat Jongin rindukan. Jung Soojung.

Jongin mengerjap pelan. Tersadar dengan apa yang harus dia lakukan saat ini. Bukankah dia tidak ingin mempercayai apa yang dibacanya? Bukankah dia ingin bisa terus membenci Soojung yang tega mencampakkannya? Jika begitu, maka ada satu cara untuk menegaskan dirinya saat ini.

Dia harus bertemu dengan Jung Soojung. Dan Jongin tahu siapa yang bisa membantunya.

O0O

Jongin berjalan mengikuti langkah Sooji. Sesekali netranya diedarkan ke seluruh penjuru. Mengamati suasana lorong rumah sakit yang dilewatinya. Beberapa orang berpapasan dengannya. Dari petugas medis, dokter, pasien, keluarga pasien, tamu, semua ada. Dia lakukan hal itu untuk mengurangi rasa tegang. Jongin akui dia sedikit takut untuk menyaksikan sendiri bukti yang dicarinya. Entah takut karena apa. Karena takut tak bisa membenci Soojung lagi, atau tak sanggup jika melihat gadisnya akhirnya tergolek lemah?

Gadisnya? Kelihatannya Jongin harus meralat yang satu itu, karena Soojung bukan lagi kekasihnya.

"Sooji?"

Jongin menghentikan langkahnya. Pemuda itu mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak bermasalah. Dan nyatanya memang tidak, karena yang ada di hadapannya memang mereka. Seulgi dan Jinri, sahabat Soojung lainnya selain Sooji. Keduanya menatap Jongin terkejut. Itu semua dapat Jongin rasakan. Mereka juga tampak sedikit bertanya-tanya pada Sooji, membuat perdebatan kecil di antara ketiganya. Tetapi, itu bukan menjadi hal yang menarik perhatian Jongin. Perhatiannya justru tertuju pada satu kamar tertutup.

Jongin mengigit bibir tebalnya sambil menahan napas. Dia kembali merasakan sesak yang amat menyiksa. Dipandanginya pintu kamar itu lekat-lekat. Ingin sekali Jongin memutar kenopnya dan memeriksa siapa yang berada di dalam sana. Mungkinkah itu Soojung?

"Jongin?"

Jongin terperanjat ketika seseorang menepuk bahunya. Itu Sooji. Gadis manis itu mengulas senyum tipis seraya mengangguk ke arahnya. "Masuklah," gumamnya pelan.

SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang