Ketukan jari pada meja kayu di hadapanku mengingatkan akan sesuatu, bunyi detak jantungku yang seirama dengan ketukannya, dan senyum manismu yang kau tampilkan ketika duduk manis di hadapanku. Dulu, kalau aku sedang gugup berada di dekatmu, oh tidak aku selalu gugup berada di dekatmu sampai saat ini. Aku selalu mengetukkan jari-jariku di atas meja, lalu kamu dengan seluruh topik pembicaraan di otakmu itu, kamu membuatku tertawa untuk yang kesekian kalinya dalam satu hari.
Kini aku menatap kosong kursi di hadapanku, berganti dengan pandanganku ke arah dua meja di depan mejaku. Kamu, dengan senyum manismu dan suara tawamu yang selalu menimbulkan sengatan-sengatan kecil pada hatiku, kini aku hanya bisa memandanginya dari jauh.
Kapan terakhir kali kamu berjalan ke arahku hanya untuk sekedar tersenyum? Aku lupa pastinya, tapi aku selalu menolak kehadiranmu bahkan sebelum kamu berjalan mendekat.
Mungkin itu alasan mengapa kau pergi. Tidak ada lagi kehangatan antara kita, tidak ada lagi topik pembicaraan yang tercipta di antara keheningan yang menyesakkan. Padahal, aku hanya terlalu gugup untuk memandangimu dari dekat. Kadang, perasaan yang terlalu meluap di hati ini malah menjadi menyesakkan. Ah bicara apa aku ini, singkat saja, aku rindu dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nobody Said It Was Easy ✓
Poetry[Highest Rank #1 in Poetry] Jatuh sendirian itu sangat menakutkan tapi mengenangnya jauh lebih menyakitkan dan melupakannya bukanlah hal yang mudah Who said it was easy? No one. ps : hanya tulisan hati yang rapuh