Gadis berkulit pucat itu terus menatap bangunan putih besar dan kokoh. Entah keberapa kalinya ia kembali mengunjungi tempat tersebut. Dengan susah payah ia menggerakkan kursi rodanya memasuki bangunan besar yang berdiri dihadapannya. Indra penciumannya selalu lekat dengan aroma obat-obatan yang begitu menusuk. Ia benci berada di tampat ini, bau obat-obatan yang membuatnya sulit untuk bernapas, dan satu hal lagi yang ia benci adalah fakta yang tak bisa dihindari yang membawanya kesini.
Ia terus menggerakkan kursi rodanya menyusuri lorong-lorong rumah sakit ini. Maniknya menatap lurus kedepan hingga ia berhenti tepat di depan ruangan yang tidak asing lagi. Ia menatap dalam diam ruangan yang dihadapannya. Telinganya dapat mendengar dengan jelas bunyi alat pendeteksi detak jantung dari ruangan serba putih itu, matanya menatap sayu sosok yang terbaring tak berdaya dengan beberapa alat yang ...... entah ia juga tak tau apa nama alat-alat itu. Yang ia tau, alat-alat itulah yang selama ini menunjang kehidupan sosok di dalam sana. Disinilah ia berada, menatap sosok tersebut dari balik jendela kaca ini. Memorinya kembali memutar kejadian beberapa bulan yang lalu.
*****
Sama seperti hari-hari sebelumnya ia kembali datang mengunjungi seseorang di rumah sakit ini. Setiap harinya ia terus memanjatkan doa pada Tuhan agar ia dapt melihat sosok yang diharapkannya sembuh dan kembali tersenyum padanya.
Kini ia berdiri didepan ruangan tersebut, dan terus memperhatikan sosok yang tertidur diranjangnya.
Tiba-tiba, sosok bertubuh tinggi, berpostur tegap dengan jas putih tanpak dihadapannya. Ia mengulah sebuah senyuman.
"Dokter Jung, bagaimana keadaanya?" tanyanya.
Dokter bername tag Jung itu tersenyum singkat yang menimbulkan tanda tanya besar bagi gadis dihadapannya.
"Saya minta maaf. Keadaannya semakin hari semakin memburuk. Entah sampai kapan dia mampu bertahan, kemungkinan sembuhnya hanya dua persen. Saya tidak dapat menjamin apa ia bisa terus bertahan."
JDERRRRR.....
Ucapan dokter Jung, bagaikan racun yang siap membunuhnya saat ini, tubuhnya menengang, tak percaya pada apa yang diucapkan dokter Jung kepadanya.
"Saya harap kau bisa tabah."
Dokter Jung berlalu dan ia hanya mampu menahan perasaan pedih beserta isakan pilu yang keluar dari bibirnya, ia menangis, menangisi orang yang dicintainya.
YOU ARE READING
Hope in December (12nd Hope)
РазноеHi^^ Ini postingan pertama aku tapi aku hanya sebagai editor sih, pengarang cerita ini namanya Thiara Putri Sundari, dia teman sekampus aku dan cerita ini selesai tanggal 13 Desember 2014. So, Happy reading^^ thanks ***** Seoul, Desember 2013 Gadis...