The Dark
Mataku hanya bisa membulat sempurna menyaksikan Max berdiri di hadapanku dengan senyum menawannya. Dia menyentuh pipiku dengan tangan yang berlumur darah. Hatiku seakan tercabik dan jantungku seperti ditarik paksa keluar dari posisinya melihat bagaimana Max masih tersenyum padaku sambil menahan erangan kesakitan yang keluar dari bibirnya setelah beberapa peluru menembus dadanya.
Dia melindungiku.
Aku menangis, berteriak histeris yang terdengar memilukan saat mendekap tubuhnya─tubuh tunanganku. Air mataku mengalir, bercampur darahnya yang ada di wajahku.
Tuhan selamatkan dia, selamatkan dia...
Suara peletuk pistol tepat di atas kepalaku terdengar bagaikan lonceng kematian. Apa aku akan mati? Di sini?
Jika memang ini takdirku…
Aku memejamkan mata setelah melihat dua tubuh kedua orang tuaku yang berlumur darah di seberang kami, lalu meremas tangan Max yang sudah terkulai tak bernyawa. Hatiku membeku, mataku memanas dan tenggorokanku terasa sakit merasakan dinginnya cincin tunangan kami di jari panjangnya.
Aku akan menyusulmu Max, Mom, Dad...
Dorr
Suara letusan itu terdengar memekikkan telingaku, berulang-ulang kali dan aku tidak merasakan kesakitan. Apa Tuhan meringankan kesakitanku?
"Lucy apa kau baik-baik saja?"
Aku membuka mata dengan perlahan, tapi yang kulihat hanya sosok tubuh pria tinggi. Tangan kananya memegang pistol dan ketika aku ingin melihat wajahnya kegelapan menghantamku...
***
Aku tahu hidup dan mati seseorang sudah direncanakan Tuhan, tapi seseorang sepertiku tidak bisa menerima kepergian mereka semua dengan cepat. Bagaimana bisa mereka pergi meninggalkanku dengan cara teragis?
Aku memejamkan mata sejenak dan menarik napas panjang saat melihat deburan ombak yang memecah tebing karang Gap. Semua hal terlihat samar di mataku. Gelap, mencekam dan terasa mencekik. Gila memang hanya karena putus asa dan bisikan-bisikan halus yang merayuku kini aku berdiri di puncak tebing, memandang deburan ombak yang memecah karang di bawah sana.
Mungkin aku sudah tersesat terlalu jauh dan tidak bisa berpikir jernih saat memutuskan datang ke Kota Sydney untuk mengenang pertemuan pertamaku dengan Max. Aku tahu dengan berada di Negara ini luka beberapa minggu lalu semakin terbuka lebar, tapi rasanya… tidak ada yang lebih kuinginkan selain berdiri di sini.
Dulu aku dan Max selalu berpikir betapa bodohnya orang-orang yang mencoba bunuh diri di tempat ini hanya karena sebuah masalah yang sulit dipecahkan. Namun, apa yang kupikirkan kini adalah bergabung dengan orang-orang bodoh itu. Orang-orang yang mencoba mengakhiri hidup mereka di tebing karang Gap. Salah satu tempat saksi bisu kenangan menyenangkanku dengan Max ketika menikmati matahari terbenam.
Helai demi helai rambut coklat tua sepunggungku bergerak mengikuti angin yang menerjang kulitku hingga ke tulang. Aku mulai berpikir apa yang akan terjadi padaku jika aku melompat? Patah tulang, koma atau yang terburuk mati?
Mati... menghilang dari seluruh omong kosong tentang kehidupan yang layak atau lari dari kenyataan. Bisikan-bisikan halus itu kembali terdengar, merayuku untuk melangkah lebih dekat ke bibir tebing dan meyakinkan diriku jika kali ini tidak ada lagi yang bisa mencegah.
Aku menggerakan kakiku kembali, setengah menyeret karena rasa lelah yang kurasakan dan….
"Apa yang kau dapatkan ketika tubuhmu jatuh ke bawah sana?"
Pengganggu lain atau seseorang yang terus mengganggu diriku beberapa hari terakhir. Entahlah, hanya saja aku tidak mengerti kenapa dia selalu mengikutiku. Dan aku tidak ingin terlibat dengan ceramah seseorang yang tidak kukenal dengan baik. "Ketenangan."
"Dan meninggalkan kesakitan pada orang-orang yang mengenalmu."
Aku mengeram, berbalik dan menatap seorang pria yang berdiri beberapa meter dari hadapanku. Dia membentuk senyum tipis di sudut bibirnya yang terlihat benar-benar kurang ajar jika bersanding dengan Pangeran Charles sekalipun karena orang-orang lebih memilih menatapnya. Mata hitamnya selalu bisa menghujamku dan mengulitiku di tempat di saat kami pertama kali bertemu dan berbicara, seakan dia punya kekuatan untuk membuat orang-orang terintimidasi dan menjadi kecil di hadapannya.
"Berhenti menceramahiku! Sialan kau tidak tahu apa yang kuhadapi Marcus Darrel jadi pergi dari hadapanku!" suaraku melengking, memecah keheningan dan musik yang tercipta dari deburan ombak di bawah sana.
"Melompatlah dan biarkan pembunuh-pembunuh itu bersenang-senang di luar sana."
Aku mengumpat dalam hati dan dia berbalik begitu saja, meninggalkanku dengan tenggorokan tercekat karena mengingat pembunuhan ke dua orang tuaku serta tunanganku beberapa minggu lalu. Dan pembunuh-pembunuh brengsek itu bisa melalukan apapun di luar sana. "Berhenti di sana!"
Marcus menghentikan langkahnya. Dia berbalik, memandangku dengan alis terangkat. "Aku menerima tawaranmu, tapi kau harus membunuh semua orang yang terlibat dalam pembunuhan itu."
"Yach, kita akan menikah di sana besok saat matahari terbenam dan kau akan melihat satu persatu dari mereka menghembuskan napas terakhir di hadapanmu." suara Marcus terdengar datar dan menyimpan janji yang meyakinkan. Dan aku dengan suka rela menyebrang ke arahnya... pria yang datang saat pemakaman orang-orang yang kucintai dan berkata jika dirinya akan membantuku membalas dendam hanya jika aku mau menikah dengannya, bahkan ketika air mataku masih membasahi kedua pipiku. “Dan, tentu saja tidak di Negara ini.”
Kenapa aku harus menuruti permintaannya? Pergelutan kembali menyerang hati kecilku, tapi─
"Kemarilah," satu kata yang keluar dari bibir merahnya seakan menyihirku dan dengan gerakan lambat aku menghampirinya. "Eric, kita akan memulai dengan pria itu, Lucy."
Sepenuhnya aku terjebak dan tidak ingin berpikir hal lain lagi selain membalas dendam. Ya, mereka harus mati dengan cara teragis.
Aku memejamkan mata saat merasakan telapak tangannya menyentuh kulit pipiku yang terasa dingin. Eric... aku mengingat salah satu pembunuh itu memanggil temannya dengan nama Eric dan aku tidak peduli bagaimana dia tahu siapa yang terlibat dalam pembunuhan sialan itu. "Buka matamu, Lucy. Aku ingin melihat mata cantikmu saat menatapku."
Aku membuka mata begitu saja dan menemukan sepasang mata hitamnya menatap tepat ke iris mataku. Dan beberapa detik setelahnya aku bisa merasakan bibirnya berada di atas bibirku, mengecap dan menimbulkan sensasi aneh pada perutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dark
FanfictionMataku hanya bisa menatap nanar darah yang mengalir di lantai dan menunggu peletuk trakhir untukku. Tapi, seseorang muncul dan menarikku ke dalam hidupnya. Dia mengunciku, memberikan potongan-potongan hadiah yang terdengar menyenangkan ketika wajah...