"Aaah!." Suara itu terucap dengan keras saat pesawat yang kami tumpangi memasuki sebuah lubang berwarna biru. Suara mesin pesawat yang semakin menderu memanas, dan suara percepatan lubang searah jarum jam, membuat kedua tanganku tak tahan untuk menutup kedua telingaku yang sepertinya ingin berteriak kencang.
"Apa ituu?," suara itu terdengar kecil saat kedua telingaku kututup. Aku pun memutarkan kepalaku 120 derajat ke kiri, kulihat Steve yang berdiri terpaku dengan mengarahkan tangannya ke depan. Tangan kiri nya pun bolak balik berputar ke telinga kanan dan kiri yang bergantian ingin ditutupi.
Tidak ada yang menghiraukan, karena suara di dalam sini sangat mengganggu telinga kami yang berusaha mencari nafas. 'Zzzuunngg!,' mungkin seperti itulah suara pesawat kami saat melintasi sesuatu. Dan kali ini, pesawat kami seperti cheetah yang berlari mengejar mangsanya, semakin cepat.
"Bersiap-siaplah !!!," Hana menoleh ke belakang dengan wajah serius, kulihat dengan kedua mataku yang serasa tertiup angin kapas menyumpal kedua telinganya. 'Flush!,' pesawat kami keluar dari lubang itu, bukannya cahaya matahari dan awan putih yang tampak di depan, tetapi hujan, guntur, dan awan kumolonimbus yang siap menyerang dimana-mana.
Mataku reflek menutup ketika sebuah kilatan cahaya petir memanjang ke bawah tepat didepan pesawat. 'GLAARRR!,' dan sepertinya petir itu marah, karena kedatangan tamu seperti kami."Gila! Petir itu bahkan lebih hebat dari sebelumnya!," Frank berkata dengan kedua tangannya berusaha menutupi telinganya rapat-rapat.
"Aku rasa kita harus mencari tempat berlindung," kata Steve tiba-tiba kepadaku. "Aah, aku ingat pernah kesini," Alex bersuara. Hana langsung memutar kepalanya ke belakang "Apa ada kota disekitar sini?," "Hmm, seingatku disini ada satu kota, dan nama kota itu adalah..."
'BRAKKK,' "Aah!" aku reflek berteriak saat kepalaku membentur kursi di depan ku, itu terjadi karena pesawat kami menabrak sesuatu di depan. Aku hanya bisa linglung, pusing, kepalaku terasa diputar di atas angin tornado. Dengan kepala yang sudah berat, aku berusaha membuka mataku, aah, mereka semua pingsan sama sepertiku. Tetapi aku hampir pingsan. Kemudian mataku menutup dengan sendirinya.
"Ah!" jeritku lemas. Cahaya matahari membuatku begitu saat menusuk kedua mataku. Dan nyanyian burung-burung membangkitkan telingaku dari hibernasinya. Sedangkan air yang terus menetes dari ranting pohon yang tinggi membuat wajahku kebasahan. Aku segera mengangkat tubuhku yang mengalami kelembaman. 'Kruk' begitulah bunyi tulang belakang ku saat pingganggku kudorong ke depan. Aah, enak sekali.
Aku pun membangunkan teman-temanku semua setelah itu. Aku mendekati Frank "Jangan bangunkan aku jika kita berada di dalam kubah lagi," celoteh Frank dengan kepala menghadap bawah dan tangannya mengangkat ke atas sambil melambai lambai.
"Tidak, kita tidak disitu lagi," celetukku. "Oh baiklah, tantangan apa berikutnya" bukan Frank yang menjawab, melainkan Steve yang tiba-tiba bangun, bangkit, lalu berdiri. "Raincity!!!" tiba-tiba Alex membuka matanya dengan berkata seperti itu. "Ah!!" kata-kata Alex rupanya membangunkan Smith dan Hana yang kaget bersamaan. "Apa?" Steve berkata dengan nada penasaran dengan berjalan mendekati Alex.
"Aku belum sempat melanjutkan kata-kata ku tadi malam, Raincity!, hanya ada 1 kota di saat malam terjadi hujan yang sangat deras, yaitu Raincity!" jelas Alex. "Raincity?" kata Steve dengan wajah yang terheran heran. "Ikut aku keluar, seingatku disini ada papan untuk info kota!" Alex langsung keluar dan tangannya seperti mengisyaratkan kami untuk ikut dia.
Aku tidak tahu apa yang membuat kaki ku bergerak maju melangkah untuk keluar melihat apa yang terjadi, sepertinya otakku yang mengendalikan kakiku. "O ow, ini rupanya yang kita hajar tadi malam" suara Smith membuat telingaku aktif lagi saat baru keluar. Aku medekati mereka berlima yang sudah berdiri melingkar, mereka memperhatikan papan kota yang sudah ringsek yang berada di tengah mereka.
Kakiku lalu bergerak mendekati papan itu, mataku memperhatikan kalimat yang terukir di situ, otakku mengartikannya, lalu mulutku berbicara "Raincity" begitulah kalimat yang terukir pada baris paling atas, ditulis dengan ukuran yang besar seperti judul dalam sebuah cerita. "Malam, adalah tempat bagi air dari kumolonimbus untuk melakukan terjun bebas ke tanah di kota kami. Siang adalah tempat bagi air untuk berkumpul lagi diatas. Sekali datang kemari, mungkin kau akan kesulitan mencari jalan keluar," lanjutku.
Lalu di bagian paling bawah tertulis '20 KM lagi untuk mencapai kota ini ; Populasi: -250 jiwa.' "Apa maksudnya -250 jiwa?" Frank bertanya dengan salah satu alis nya terangkat melawan gravitasi. "Mungkin, jika tubuh kita sudah berada di sana, kita akan mengetahui nya" Hana berbicara dengan kedua tangannya disilangkan di perut nya. "Apakah tempat ini memang luas?" tanyaku "Apakah kau berpikir ini di kubah? Ini adalah dunia nyata yang luas" celoteh Alex.
"Baiklah, ambil tas ransel, isi dengan makanan dan bawa senjata, kita tidak akan tahu rintangan apa saja yang ada di depan" Steve menyuruh kita dengan logat seperti ketua. "Hmm, baik," aku dan teman-temanku kembali ke dalam untuk mengambil tas berisi makanan dan senjata. Tidak lupa aku mengabil buku album yang berisi foto foto ku dan kedua orang tua ku.
Aku mengingat lagi saat mengambilnya. Waktu itu aku membuka kamar untuk menyelamatkan Smith, tetapi sedetik sebelum itu aku mengambil buku album itu. Ukurannya kecil sehingga bisa masuk kekantong. "Mungkin ini bisa berguna" hatiku berkata pada otakku. Segera ku masukkan buku itu ke tas ku dan pergi keluar.
Diluar, Steve, Alex, dan Smith sudah bercakap-cakap, dan tertawa tawa ringan. Alex berkata padaku saat aku mendekatinya dan dia masih tertawa "Hei, pintar juga ia membuat lelucon, hahaha" Alex masih melanjutkan tertawanya hingga tampak giginya yang putih dan matanya menyipit saat tertawa.
"Menunggu kami?" kata Hana yang bersikap sok keren saat keluar diikuti Frank. "Aku tidak menunggumu, aku menunggu teman-temanku" jawabku dengan mengedipkan mataku kepada Hana. "Okee, karena kita semua sudah disini mari kita pergi menuju kota itu" kata Steve yang berjalan duluan ke depan.
Aku lalu berjalan, baru 4 langkah kakiku melaju, kepalaku sudah berputar kembali melihat ke belakang. Kulihat dengan mataku pesawat kami yang terbelah dua dan sudah sangat tak layak pakai. "Terimakasih telah membawa kami keluar dari kubah" kataku dalam hati, lalu aku tersenyum sendiri.
"Hei apa yang membuatmu tersenyum" kata Hana yang membuyarkanku. "Oh, kau membuatku kaget Hana. Tidak ada apa-apa" ujarku dengan memutar badan kembali ke jalan yang lurus. "Kau tahu, kau terlihat manis saat tersenyum" kata Hana padaku lalu ia berlari ke depan untuk memimpin kami. "Hmm, dasar" kataku pelan, lalu mulutku tersenyum lagi untuk kesekian kalinya.
CONTINUE TO PART 2...
LEAVE COMMENT + VOTE
KAMU SEDANG MEMBACA
Raincity
Science FictionAVAILABLE IN BAHASA INDONESIA Setelah aku, Smith, Frank, Steve, Hana berhasil keluar dari kubah yang membuat hidup kami terguncang kesana kemari tak karuan, kami mendapat teman baru bernama Alex. Kami menyelamatkannya saat dia akan dimakan oleh Cler...