Aku mengangkat kaki ku ke depan, lalu menurunkannya kembali, begitulah saat aku berpikir bahwa di depan ada harapan. Harapan untuk kehidupan, mencari jawaban dari pertanyaan, dan mengetahui siapa dalang dibalik drama yang membuat emosi ku naik turun tidak stabil. Selangkah demi selangkah kami hadapi.
Terkadang kaki yang berjalan membuat daerah sumber suara ku kering, seketika itu pula tanganku bekerja untuk mengambil sebuah botol yang berisi doa yang terkabul dari tenggorokan ku yang sedang mengalami musim kemarau sesaat. Sekejab, daerah untuk menyalurkan udara dan makanan di bawah kepalaku, menjadi segar dan siap menghadapi tantangan berikutnya.
Langkah kaki ku bergerak berirama dengan hidungku yang bolak balik melakukan pergantian gas antara O2 dan CO2. Dan yang mataku lihat hanyalah sebuah padang pasir yang luas sekali. Hanya terlihat sebuah papan kota yang sangat kecil jauh didepan, yang berarti perjalanan masih panjang. "Hei, apakah di tempat seperti ini ada tanda kehidupan?," Frank berkata. "Yah, seingatku didepan sana ada kota, dan kita sudah menabrak papan kota yang pertama, masih ada 3 lagi," jelas Alex. "Perjalanan ini masih panjang, bertahanlah" Steve menenangkan.
Panas matahari yang berada tepat di atas kepalaku, membuat otakku seperti akan meleleh. Dan kurasa, lapisan ozon tidak mampu untuk membendung radiasi panas dari bintang yang panas itu. Lalu, dukungan dari bumi membuat kaki kaki ku yang semalam kedinginan, sekarang berteriak kepanasan. "Aaah, kenapa disini panas sekalii," kata Frank yang tangannya membentuk topi di dahinya untuk melindungi wajahnya dari sengatan sinar matahari.
"Otakku yang tadi beku sekarang hampir meleleh," lanjut Alex dengan mengipaskan kedua tanggannya yang terlindungi oleh sarung tangan. "Sudah jangan banyak mengeluh, nanti kalian akan jadi seperti itu jika terus mengeluh" kataku sambil telunjukku reflek mengarah ke rangka manusia yang hampir tertimbun pasir tetapi tengkoraknya terlihat jelas. Kamipun memerintah kaki kami untuk berjalan lagi, kecuali Hana yang masih memandangi tengkorak itu. Tak lama kakinya berjalan mendekati benda yang biasanya ada di lab ipa di sekolahku dulu.
"Kenapa Hana?" reflek lidahku membuka saat pita suaraku bekerja, kemudian diikuti langkah kakiku yang bergerak cepat menuju dia. Kemudian semua kaki dari teman-temanku ikut ikutan untuk mendekati kami. Hana membungkukkan badannya lalu jongkok. Kemudian mengeluarkan tangannya, menyentuh pasir di depan tengkorak itu dengan tangannya, kulihat disitu ada kertas yang sangat kecil. Tak lama tangannya berfungsi sebagai sapu, membersihkan seluruh pasir di sekitar kertas kecil itu. Dan, ternyata bukan kertas kecil, tapi sebuah peta!
Otakku lalu memerintah kaki ku untuk menjongkok dan mengambil peta itu dengan alat gerak atasku. Lalu badanku mengalami perputaran sebesar 180 derajat ke kanan untuk membeberkan peta itu. Teman-temanku kemudian bergerak cepat untuk duduk mengelilingi peta dan mengamati dengan kedua bola mata mereka masing-masing. "Woow, sebuah tempat yang besar," tak kuhiraukan suara dari Steve itu, aku masih berkonsentrasi membaca kalimat di bagian atas di peta itu.
'Selamat datang di tempat bermain yang kedua, disini mungkin kalian akan kehilangan jiwa dalam diri kalian, kuberikan kalian panduan agar bisa bermain dan melanjutkan ke tempat berikutnya. Selesaikanlah, dan kalian boleh mengambil kedua orang yang melahirkan kalian. Selamat bermain, kuharap kalian tidak membuatku bosan dengan menunggu'
Spontan kedua tanganku meraih tulisan itu kemudian menyobeknya berkeping-keping, lalu kubanting ke tanah dengan suluruh kekuatanku, "Aah! Ayo segera melanjutkan perjalanan ini" kataku dengan sedikit kesal. "Okeey," kata Hana. Kemudian langkah kami kembali berlanjut dengan bantuan peta itu di genggaman Alex.
Kulihat Alex memegang peta lalu Smith di kanannya dengan melihat kompas yang berada di tangan kirinya. "Oke, kita hanya harus berjalan lurus," Alex berbicara seketika. Huft, sepertinya kaki kaki ku mulai lelah, dan berkata pada otakku 'Hentikan, kami butuh bensin!' dan otakku pun membalas 'Bawa aku ke tempat tujuan, dan aku akan mengabulkan keinginanmu itu.'
Panas ini semakin menjadi jadi, hingga tiba-tiba. 'Brukk!' Smith pingsan! Aku dan yang lain otomatis secepat kilat mendekati Smith. "Hei, Smith! Bangunlah!" ujar Steve dengan menggoyang-goyangkan badan Smith, sedangkan matanya tertutup. "Mungkin ia tak kuat dengan panas matahari," Frank mengeluarkan suara dan tangannya disilangkan di perutnya.
Kami yang masih bertanya tanya apa yang menyebabkan Smith pingsan rupanya membuat ia sadar dan membuka kedua matanya, tetapi hanya ada warna putih di kedua matanya. 'Fus!' ia seketika bangun. Gaya bangunnya hampir seperti saat aku dulu dibangunkan dengan disiram air oleh ibuku. "Ssssshhhhh!!" mulutnya membuka dan mendesis seperti ular yang akan menelan tikus.
"Wouw, kau kenapa Smith?" kataku padanya yang masih agak kebingungan. "Grrrrrrrrr" dia menggeram mirip dengan Clerk. "Oh, sepertinya ada yang tak beres" kata Alex yang kemudian melangkahkan kakinya mundur 2 langkah lalu bergerak mengitari Smith yang masih terduduk menggeram dengan bola matanya yang berwarna putih. Kami ikut memutari Smith.
"Graaaa!!," ia tiba-tiba bangkit dan menyerang lalu mencengkeram kaki Steve yang berdiri. Jantungku mulai berdegup kencang perihal memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hembusan nafas nya semakin cepat, diikuti dengan geramannya. "Aah, lepaskan kawan, hei!" Steve berkata dengan nafas yang naik turun tak teratur.
Kami mendekati Smith yang masih menggenggam kaki Steve. "Graa!" teriakan sesaat darinya saat ku mendekat, sontak membuat bulu kuduk kaki ku mengerut dan mundur beberapa langkah ke belakang. "Apa yang harus kita lakukan?," Hana bertanya kebingungan. "GRAAA!" Smith menyerang dan membuat Steve terjatuh ke belakang! "AAH, tolong!!" dia terus mendorong-dorong Smith agar melepaskan dirinya. Sontak kakiku berlari maju dan tanganku menarik kedua pundaknya dan membantingnya ke belakang.
"Hana, cepat keluarkan obat bius!," aku segera menyuruh Hana sedangkan kedua tanganku memegang pundak dibantu oleh Steve yang langsung bangkit dan memegang kakinya, Alex dan Frank menahan tubuhnya. "Ini dia!" Hana mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan 'Jleb.' Ia menusukkan suntik yang berisi bius itu ke lengan kiri Smith, sekejab matanya tertutup kembali. "Huft" keluh kami bersamaan.
CONTINUE TO PART 3...
COMMENT & VOTE :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Raincity
Science FictionAVAILABLE IN BAHASA INDONESIA Setelah aku, Smith, Frank, Steve, Hana berhasil keluar dari kubah yang membuat hidup kami terguncang kesana kemari tak karuan, kami mendapat teman baru bernama Alex. Kami menyelamatkannya saat dia akan dimakan oleh Cler...