'Fake Face'

24.3K 1.7K 75
                                    

"Hueeeee..."

"Hueeeeeeee...."

Alexei mengerjap. Tersadar dari tidurnya. Suara apa itu? Pikirnya heran.

Pria itu bangkit dari tempat tidur dan melihat Baby B yang terlelap di ranjang tidurnya.

Syukurlah masih tidur, tapi suara apa itu tadi...

Suara hujan disertai petir yang saling bersahut-sahutan memecah keheningan malam. Membuat tubuh Alexei mendadak bergidik.

Pria itu mengusap tengkuknya. "Malam yang mengerikan" gumamnya.

Alexei mengambil kimononya dan berjalan keluar kamar untuk mengambil minum.

Baru saja dua langkah namun secara tiba-tiba lampu padam. "Oh sial, kenapa tiba-tiba mati lampu!"

Dengan situasi yang minim penerangan Alexei berjalan secara perlahan menuju dapur untuk mencari lampu senter.

DUARRR

Suara petir yang menggelegar secara tiba-tiba membuat Alexei nyaris terlonjak. Ia menghela napas kasar sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Mengagetkan saja, batinnya.

Sampai ditempat yang dituju Alexei meraba meja besar yang ada dihadapannya sambil membuka kotaknya satu persatu.

"Hueeeee..."

Alexei seketika membeku.

"Hueeehueeee..."

Kali ini pendengarannya pasti tidak salah. Suara itu... suara tangisan yang begitu memilukan itu terdengar sangat dekat.

DUARRRR

Alexei mempercepat gerakan tangannya hingga akhirnya ia menemukan benda yang dicarinya.

Terburu-buru Alexei menyalakan lampu senter itu dan melihat ke segala penjuru.

Hasilnya nihil. Tidak ada apapun. Setidaknya begitu yang ia pikir hingga secara tiba-tiba tangisan itu kembali terdengar, tepat dibawah kakinya.

"Hueeeeeeee"

Alexei menurunkan cahaya dari lampu senter ke bawah meja dan...

"ARGHHHHHH!!"

***

Andrei menyesap lagi rokoknya lalu mengepulkan asapnya ke udara.

"Kau gila, kenapa kau serahkan anak itu ke Alexei?!" Teriak seorang wanita.

Perhatian seisi cafe langsung teralih kepada mereka.

Andrei bergegas membungkam mulut wanita berambut pirang itu.

"Bisakah kau pelankan suaramu, hampir semua orang disini mengenal wajahku!" Bisik Andrei.

Wanita itu menaikkan bahunya. "Ralat, bukan wajahmu melainkan wajah kakakmu" ujar wanita itu sinis.

Andrei melepaskan tangannya. Wajahnya berubah muram. "Yeah, kau benar... betapa sialnya aku karena memiliki wajah yang sama dengannya"

"Kurasa malah sebaliknya, kau justru beruntung kan"

"The hell, Joey!" Balas Andrei.

"Heii, aku benarkan" wanita bernama Joey itu meraih lengan Andrei. "Berkat wajahmu yang tampak sangat mirip dengan kakakmu, kau berhasil menipu banyak wanita agar bersedia tidur denganmu"

"Ck, jangan menghinaku Joey. Meski aku adalah anak kedua namun aku tetap memiliki kekuasaan yang tidak kalah dari kakakku" tangkis Andrei kesal.

Joey menyipitkan matanya seraya menatap Andrei. "Yeah, dan kau juga jangan pernah lupa dosa terbesarmu Andrei!"

Andrei terdiam.

"Entah anak itu adalah anakmu atau anak Alexei, yang jelas kau telah melakukan penipuan dengan menyamar sebagai Alexei agar wanita itu bersedia tidur denganmu" desis Joey, tak terbantahkan.

***

"Astaga, Emily apa yang kau lakukan disana!!" Alexei mengelus dadanya berkali-kali.

Bagaimana tidak, gadis itu kini tengah memeluk kakinya sambil menangis tersedu-sedu, ditambah dengan rambutnya yang kusut dan maskara yang menghitam disekitar matanya.

"Huuu, ka-kakiku sakitt" rintih Emily.

Untuk yang kesekian kalinya Alexei menghela napas. Ia berjongkok untuk melihat kaki gadis itu.

"Kakimu bengkak bodoh! apa kamu bisa berjalan?" Tanya Alexei.

Emily menggeleng.

"Lantas bagaimana kamu bisa sampai disini??"

"A-aku tadi ngesot kesininya hiks"

Alexei ternganga sejenak. Apa itu ngesot? Pikirnya heran.

Memutuskan untuk tidak membahas tentang apa sejatinya makna dari kata ngesot, Alexei dengan begitu gagah langsung meraih tubuh gadis itu dan mengangkatnya.

"Bisa kau pegang senternya" pinta Alexei.

Emily terpana sejenak, kemudian mengangguk pelan.

Debaran jantung Emily tak berhenti mereda bahkan sampai Alexei mendudukkannya di sofa.

"Tunggu disini" kata pria itu lagi.

Emily mengangguk. Ia terus tertunduk hingga Alexei kembali dengan membawa sebotol cream obat.

"Apa tadi ketika pulang kamu tidak segera mengoleskan obat?" Tanya Alexei seraya mengoleskan cream itu di kaki Emily.

Tidak ada jawaban apapun yang keluar dari bibir Emily.

Melihat sikap Alexei yang secara tiba-tiba begitu perhatian padanya membuat Emily terkesima.

Andai Alexei tahu, kalau ia menangis sampai seperti ini adalah karena dirinya. Andai Alexei juga tahu, kalau didalam hati Emily, sosok Alexei mulai mendiami hatinya. Mungkin detik itu juga Alexei akan langsung mengusirnya.

Alexei mendongak saat merasakan sesuatu menetes di wajahnya.

"Kenapa kau masih saja menangis Emily? Apakah sesakit itu?" Tanya Alexei cemas. Terlebih ia merasa amat bersalah karena telah meninggalkan gadis itu begitu saja di mal.

"Sakit" jawab Emily tegas. "Sakit sekali sampai begitu sesak rasanya."

Entah atas dorongan apa. Tangan Alexei secara tiba-tiba menyentuh wajah Emily. Dan dengan teramat lembut, ia menyeka air mata Emily dengan ibu jarinya.

"Jangan menangis" bisik pria itu.

Emily terpana. Tidak, ia tidak bisa lagi terus menduga-duga. Kali ini, ia harus memastikan segalanya selagi ada kesempatan. Saat ini juga, dalam hitungan ke tiga.

Tiga!

Alexei seketika terbelalak. Tubuhnya jatuh terlentang ketika Emily secara tiba-tiba melompat ke arahnya dan mencium bibirnya dengan penuh...

Gairah?!!

***

Mohon maaf lama updatenya. Selamat membaca ya :)

Baby BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang