Kursi Roda

29.8K 323 3
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka berdasarkan imajinasi Author. Alur ceritanya akan maju-mundur sesuai dengan pikiran Author. Mohon bantuannya untuk komentar dan memberikan sarannyaa yaa.

-----
Laut Adhyaksa Dirgantara POV

Sinar mentari menyusup ke dalam ruangan melalui celah-celah gorden panjang yang tersibak sebagian. Secercah cahaya hinggap di atas kelopak mata membuatku terjaga dari lelapku. Aku memicingkan mata terkena silaunya lalu segera aku bangkitkan tubuh dalam keadaan setengah duduk, masih di atas tempat tidur king size yang telah aku tiduri selama satu tahun terakhir ini.

Bola mataku beraksi melihat sekeliling, mencari sesuatu dan terhenti pada sebuah kursi roda. Ya, sudah satu tahun terakhir aku hanya bisa bersandar di atasnya. 'Dia' yang selalu menemaniku kemana pun aku pergi. Dia yang selalu setia memapahku setelah kecelakaan yang terjadi satu tahun lalu.

Ah, sudahlah aku tidak ingin lagi membahasnya. Luka pada kaki dan hatiku saja belum sembuh total, aku tidak ingin membuatnya kembali bernanah. Aku bangkit kemudian menjangkau kursi roda di sisi tempat tidur.

Entah mengapa aku ingin sekali merasakan sinar matahari pagi ini. Aku gerakkan dua roda yang berputar menuju ke arah jendela. Aku sibakkan gorden panjang berwarna biru tua yang sudah tampak berdebu.

Uh, perlu dibersihkan sepertinya, keluhku.

Belum sempat melihat ke arah luar jendela, aku dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Ketukan pintu yang setahun terakhir ini sering membuat jantungku mencelos. Oh, Laut kini kau menjadi pengecut.

Ketukan pintu hanya berangsur tiga kali lalu munculah sosok perempuan paruh baya dalam setelan baju yang kusut disertai apron.

Dia adalah salah satu wanita favoritku. Wanita yang telah menjagaku sejak lahir hingga kini usiaku menginjak 27 tahun. Dia adalah Bi Isa yang setia dengan keluarga Dirgantara selama 30 tahun.

"Den, ayo makan. Ini Bibi bikinin bubur ayam sama susu putih," ujar Bi Isa sambil meletakkan nampan berisi satu mangkok bubur ayam tanpa kecap dan sambal serta segelas susu putih di atas meja dekat pintu.

Aku hanya sedikit menyunggingkan senyum. "Makasih ya, Bi..."

Bi Isa membalas senyumku datar. Sekejap pandangan matanya seperti melihatku penuh iba. Sudah setahun terakhir, wanita berusia 53 tahun ini sangat mengkhawatirkan keadaanku yang jarang berbicara sejak kecelakaan naas itu.

Ah, lagi-lagi aku mengingatnya. Bisakah aku melupakan semuanya?

Bi Isa kemudian memundurkan diri dan menutup kembali pintu putih yang mengurungku selama hampir setahun. Ups, bukan pintu dan ruangan berdinding putih dengan dua lukisan abstrak pada sisi kanan dan kirinya yang mengurungku. Tapi akulah yang mengurung diri di dalamnya.

Hmm.. Daripada kenangan pahit itu kembali terkuak lebih baik aku alihkan. Aku pun segera bergegas mengayunkan roda dengan lihainya menuju meja tempat Bi Isa meletakkan sarapanku. Aku ambil segelas susu putih lalu beralih ke arah jendela besar di ujung kamar.

Sambil ku seruput segelas susu hangat itu, aku membuka jendela dengan sekali hentakan. Tampak seorang bapak tua sedang menyirami pakarangan yang ditumbuhi rumput hijau yang panjangnya tak lebih dari 3 cm. Dia adalah Pak Ron yang sudah 10 tahun menjadi kaki-tangan papa.

Kamarku berada di lantai dua yang dibangun di atas tanah seluas 700 meter persegi ini. Sementara posisinya tepat di atas garasi mobil sehingga aku bisa melihat area pekarangan dan sekitarnya. Aku pun masih bisa melihat Pak Ron dengan jelas saat sedang mengarahkan selang air ke arah koleksi tanaman kaktus milik ibu.

Aku mulai tersenyum dan merasakan sejuknya udara pagi ini. Aku melirik smartphone hitam di pangkuanku. Masih terlalu pagi. Waktu menunjukkan angka 06.15. Terasa berjalan lambat seolah enggan beranjak naik karena hari ini adalah Minggu.

Dari luar pagar putih yang tinggi menjulang aku dapat melihat dengan jelas pasangan muda yang tampak menikmati alunan angin pagi ini sambil mendorong stroller berisikan buah hati tercinta mereka. Mereka tampak bercengkerama sambil tertawa.

Ada pula sepasang kekasih yang sedang bergandengan tangan dalam balutan setelan pakaian olahraga dan sepatu kembar mereka.

Sudah lama aku tidak melihat pemandangan seperti ini.

Terasa sedikit sakit di dalam namun tak ku gubris. Aku ingin menikmati pagi ini dengan senyuman.

Kata pepatah senyum itu bisa memberikan ketenangan dan kebahagiaan. Setidaknya aku ingin merasakan sedikit bahagia pagi ini dengan melihat orang-orang di sekelilingku.

Senyumanku ini tampaknya tidak bertahan lama bahkan seperti tak aku rasakan karena langsung memudar menyisakan peri yang tak terkira. Hatiku terkoyak saat melihat makhluk ciptaan Tuhan yang paling 'sempurna' versiku berdiri di depan gerbang rumahku.

Rambutnya yang panjang dibiarkan bebas terurai. Matanya begitu kemayu memancarkan aura pesona yang bisa menghunuskan panah langsung ke hati para pria di sekitarnya. Dia, Mentari Nirwana, pemilik lesung pipit tercantik yang selalu aku puja.

Mataku seolah tidak bisa berkedip memandang sosok berbaju putih itu dari kejauhan. Hatiku seketika berderu hebat. Kenangan pahit yang tak ingin aku ingat seolah menggumpal menjadi badai dahsyat yang menyerangku tanpa meminta izin lebih dulu.

Aku memejamkan mataku sesaat berusaha menetralkan perasaanku. Aku tak bisa lagi melihatnya. Aku ayunkan kursi roda untuk berjalan mundur secara perlahan menjauh dari daun jendela.

Masih dalam keadaan mata terpejam. Kenangan buruk itu, kenangan itu, kenangan itu kini memenuhi kepalaku...

"Oh Mentari..." lirihku pelan.

-------

Masih belum jelas yaa ceritanya? Maaf ya author memang lebih suka bercerita dengan deskripsi. Mohon komentarnyaa agar author bisa lebih baik lagi dalam menuliskannya.

Terima kasih sudah membaca..

Wanita SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang