Zebra: Kocok Kocok Kocok!!

1K 60 20
                                    


"Kocok! Kocok! Kocok! Kocok aja!"

"Cepetan, ih! Tinggal kocok!"

Shake ~

Shake ~

Shake That Brass ~

Na na na na na na na na na na na na naaahh ~

Shake That Brass ~

Eonni, attention please! ~

Ah, out of topic.

Tenang, tenang. Jangan berpikiran negatif dulu.

"Kenapa nggak sendiri aja, sih?"

"YAUDAH, sekarang kalian maunya apa?"

"Kocok!"

"Milih sendiri!"

Kejadian tadi adalah salah satu kejadian rutin yang biasa terjadi di 9H ketika menentukan posisi tempat duduk. Nah, kalo masalah "kocok", anak 9H memang gitu, suka memakai diksi yang terlalu ambigu nganu. Terlebih, penggunaan intonasinya juga mendukung. Dan orang-orang macam Rama dan Raden, selalu mengucapkan "kocok" dengan senyum ambigu dan tangan menggenggam yang digerakkan ke atas dan bawah. Up & Down. Kayak lagunya EXID itu loh.

If you know what I mean.

Sebenarnya, udah ada kesepakatan tempat duduk dan pasangannya itu bebas. Namun, masih banyak yang sering protes. Termasuk, guru-guru, gua dan Penguin.

Gua dan Penguin sering protes karena cowok-cowok kaum pintar tiap hari duduk di barisan paling depan, tepat menghadap papan tulis. Alesannya sih gegara matanya minus-lah, apalah. Tapi mereka nggak mau pakai kacamata, alesannya cuma sederhana. Mereka malu, takut keliatan culun dan nggak ganteng lagi. Padahal mereka nggak ganteng menurut gue. Nah kalo gini kan yang minus malah otak gua. Otak rada-rada, papan tulis gak keliatan. Kurang merana apa otak gua?

Sebenarnya, 9H cukup kompak. Terbukti dalam pelajaran PPKn waktu itu, Bu Wanti—guru PPKn memberikan tugas untuk mengerjakan buku paket. Tentu saja, yang mengerjakan cuman satu dan yang menyalin ramai-ramai. Saat penilaian, hampir satu kelas mendapat seratus. Tetapi, karena Rama sang nomer absen pertama mengatakan '96' saat ditanya, maka sekelas jadi ikut-ikutan mengatakan bahwa mereka mendapat 96:

"Nomor 4?" tanya Bu Wanti sambil mengabsen.

Azar, si nomor 4 menjawab,"96, Bu."

"Nomor 15?"

"96 juga, Bu." Jawab Meru, ikut-ikutan Rama dan Azar.

Begitu seterusnya, sampai si Zebra sang nomor absen 36.

Untungnya, tidak seorangpun yang berniat menjawab dengan membalik angka tersebut.

Bayangkan, hampir satu kelas mendapat 96. Gua dan Penguin berpikir, apakah Bu Wanti tidak curiga bahwa nilai 96 ini cuman mengada-ada?

Tapi, 9H memang kelas yang ajaib.

Selain tragedi nilai-kembar, ada juga 'Aliansi Dubur 9H' ini yang diprakarsai oleh Arif. Arif dan kegilaannya tentang dubur. Dia menggaet Penguin sebagai wakil, Rahma sebagai Sekjen, dan Shafa sebagai Seksi Kesehatan Dubur. Walaupun jabatan mereka berbeda-beda, nama panggilan mereka sama. Mereka memanggil nama satu sama lain dengan nama: dubur. Misalnya, jika mereka memerlukan sesuatu ataupun sesuanu.

"Bur, Bur!", panggil Penguin kepada Arif.

"Apaan, Bur?" Jawab Arif.

"Nyontek PR Math dong!"

Ini Kisah Kami dan, yah... Kelas KamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang