#5

42 3 0
                                    

"Apa yang kau lihat?"

"Tidak ada. Apa pedulimu?"

"Apakah kau melihat ku, Sialan?"

"Kau kegeeran. Aku tidak peduli denganmu. Pergilah, kau tidak cocok disini." Rizal mengambil tasnya, mengeluarkan Al-Quran.

Brengsek... Kalau disini bukanlah Mushala, sudah kutampar muka datarnya itu.

***

Jarum jam menunjukkan pukul 16 WIB. Aku mengambil wudhu, dan shalat Ashar sebentar. Kak Intan menghampiriku sembari menawarkan kantong kresek hitam.

Maksudnya?

"A-apa ini?" kataku dalam hati. Aku melihatnya tersenyum.

Aku menerimanya, dan melihat kedalamnya.

"Go-gorengan? Ini untuk Tasya, Kak?"

"Ya.Kenapa? maaf kalo hanya ini yang bisa kami berikan."

"Bu-bukan gitu kok, Kak. Tasya cuma terkejut." Apa ini benaran organisasi? Kenapa ketua keputriannya pergi keluar, membelikan gorengan untuk kami?

"Hahaha... Kamu pasti berpikir, kenapa ada organisasi yang menawarkan makanan ke anggotanya? Dan juga kenapa harus ketua keputriannya yang pergi ketempat kami?"

Kenapa dia tahu?

"Sekarang, Tasya pasti berpikir, kenapa kakak tahu isi pikiran Tasya bukan? Tapi jangan takut, kakak bukanlah esper atau sejenisnya. Silahkan dinikmati. Oh iya, yang lain kemana?"

"Maksud kakak Julia dan gengnya? Yah, ketika kakak pergi, mereka juga pergi." Kata Devi sembari melahap risoles dalam sekali lahap.

"Hahaha... Jangan makan dalam sekali hap. Lihat, batuk batuk bukan? Hahaha... Nih, air. Minumlah perlahan. Mungkin mereka itu sedang ada kegiatan atau mereka belum terbiasa di Rohis ini. Oh iya, kenapa kalian masih disini? Kakak kira kalian sudah pulang tadi."

"Malas kak... lagian, nanggung tadi. Kalau pulang kan, baru tiba langsung Adzan. Malas Tasya jadinya. Mening nunggu disini."

"Bukankah kau malas untuk pulang? Ibu yg kau BANGGAKAN itu sudah menunggumu sambil memegang sesuatu. Kau pasti tahu maksudku" terdengar suara dari balik tirai. Aku terkejut, kenapa cowok itu tahu masalahku? Yang tahu masalahku hanyalah orang orang Kampar, dan aku sudah pinndah dari sana. Tapi, darimana dia tahu?

Aku tahu kalau dia mirip dengan orang itu, tetapi apakah dia itu memang benar benar orang itu? Ku dengar dia sudah mati ketika baru memecahkan kasus yang melibatkanku itu.

"Siapa kau?" aku membalasnya dari balik tirai.

"Aku Rizal." Sialan... suer deh, rasanya dia itu mau kubunuh saat ini.

"Bukan itu yang kutanya, Sialan... Kenapa kau tahu?"

" Bodoh amat." Setelah itu, tidak terdengar suaranya sama sekali. Aku membuka tirai, dan ternyata dia sudah pulang.

Untunglaah.... Tapi aku sudah terlanjur kepo, sih... Siaal

"Masalah apa, Tasy?" Devi melihatku dengan penuh tanda tanya.

"Kau tidak perlu membahasnya kalau kau tidak ingin." Kak Intan memalingkan wajahnya kearah gorengan dan mengambil tahu isi beserta pasangannya, saus.

"Yah... Kapan kapan akan kuberitahu. Oh iya, saya pulang lah lagi kak..." Aku pamit, dan pergi mengmabil motorku yang diparkir dibelakang labor fisika.

***

Rumah...

Walaupun sudah pindah, tetapi tetap saja. Mengingat ibuku, mengingat almarhum ayahku, rasanya seperti aku ingin mati saat ini juga. Aku selalu berfikir ketika masuk kedalam rumah ini. Kenapa aku dilahirkan? Kenapa aku dilahirkan dikeluarga busuk ini? Ayah brengsek, ibu brengsek... Keluarga memuakkan.

Aku pernah kabur dari rumah dulu, sebelum masuk ke SMA. Namun, baru satu hari aku kabur, polisi sudah menemukanku dan membawaku ke ibuku.

Sebagai hukumannya, besoknya sudah ada memar memar di seluruh tubuhku. Aku tidak bisa mempublikasikannya disini. Mungkin tidak untuk saat ini.

Saat ini, yang berdiri didepanku, menatapku dengan tatapan jahatnya, dan memegang sebuah pemukul dari rotan ditangan kirinya.

"Darimana?" Suaranya yang parau terdengar jelas memenuhi ruang keluarga.

"Apa yang kau lihat?" Aku membalas tatapannya.

Lalu rotan itupun melayang kearah dada kiriku.

"Aku tanya, darimana kau?"

"U-urgh... Tidak ada hubungannya denganmu." Dia lalu melayangkan rotannya ke arah dada kananku. Aku menangkapnya dan menahannya.

"Berani sekali kau, dasar anak kurang ajar..."

"Kenapa? Kau sudah tidak kuat lagi? Kenapa kau tidak mati saja, ibu? Atau, ibu brengsek?" aku menyentak rotannya dan tangannya terlepas dari rotan itu.

"Sekarang, rotan itu sudah berada ditanganku? Kau mau apa? Apa yang akan aku lakukan ya?" Sekarang, aku yang menatapnya dengan tatapan psikopatnya. Ya, aku memang bisa atau ekspresiku itu mirip dengan psikopat. Jadi, hanya membesarkan mataku dan mengecilkan pupilku, sudah membuat orang ketakutan melihatku.

"Terserah, apa yang mau kau lakukan. Apa kau mau, melakukan hal yang sama seperti ayahmu itu? Apa kau mau membunuhku juga? Tahun lalu, kau berhasil terbebas dari tuduhanku berkat anak brengsek itu. Sekarang, dia sudah tidak ada. Aku sudah membunuhnya, jadi jika kau membunuhku, tidak ada yang akan menyelamatkanmu. Kau akan tahu, bagaimana rasanya digunjing orang. Kau akan tahu, bagaimana rasanya di gosipin orang. Kau akan tahu, bagaimana rasanya diberi julukan oleh orang."

"Kau banyak bacot, sialan. Diamlah, aku sudah muak melihatmu itu. Sekarang, aku akan pergi dari rumah ini. Terserah, kau mau bunuh diri dan membuatnya seperti aku pelakunya atau bukan. Intinya, aku tidak akan melihat wajah brengsek mu itu untuk selamanya." Aku melepaskan rotan itu, dan pergi kearah kamarku.

Tiba tiba, rotan itu memukul atas kepalaku dengan keras. Aku terjatuh, dan melihat ibuku berdiri didepan pintu sambil melihatku.

Pukulan kedua meluncur di jari tangan kiriku.

"Aaaarggh... Sialan kau... Arghh... Sialan..." Rasanya sakit sekali. Aku mencoba berdiri dan memegang kepalaku.

"Da-darah..."

***

Maaf... Pemublikasinya sedikit terlambat dikarenakan tidak adanya kuota

Mohon saran dan kritiknya. 

Dan jangan lupa, Votenya Ok!

Novelis Punya CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang