Dari kantin, Prilly benar-benar pergi menuju kelasnya. Duduk di tempat biasanya, tepat di tengah kelas. Kepalanya berkeliling memperhatikan teman-temannya yang sebagian besar sudah datang. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang menaruh perhatian padanya.
Diingatnya kembali, punya teman dekat kah dia?Rasa-rasanya tidak ada. Prilly hanya berinteraksi sewajarnya dengan teman sekelasnya, membicarakan hal yang berhubungan dengan mata pelajaran saja.
Kegiatan rutinnya adalah berangkat sekolah bersama Ali, sarapan di kantin bersama Ali, mengikuti pelajaran (untung Ali beda kelas), jam istirahat dia habiskan di kelas membaca novel kalaupun pergi ke kantin pasti dengan Ali, pulang sekolah sudah pasti dengan Ali.
Ali Ali Ali Ali dan Ali, semuanya dengan Ali.
Prilly mengerucutkan bibirnya, bertumpang dagu pada tangan yang menumpu pada meja. Selama ini Ali terlalu membatasi aktivitasnya, ah bukan membatasi tapi menguasainya. Hidup yang dijalani Prilly seperti dikendalikan oleh Ali. Dia tidak bisa melakukan apapun sesuai kemauannya.
Prilly melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, masih limabelas menit lagi bel berbunyi. Dilihatnya kembali teman-temannya yang semakin asik menggosip ria.
Dia mendengus kecil, antara sebal tidak ada yang mengajaknya bicara dan juga sebal mendengar teman-temannya ini membicarakan gosip artis yang sedang dikabarkan segera bercerai.
Drrt Drrt
Prilly merogoh benda pipih di sakunya yang bergetar. Dia hanya bisa berdecak melihat isi chat line yang baru saja masuk. Beranjak dari kursi, berjalan keluar kelas dengan muka memberengut.
"Ada apa?" tanya Prilly langsung. Dia benar-benar jengah dengan kelakuan Ali yang tidak membiarkannya satu jam saja bebas.
Ali dengan cuek berjalan melewati Prilly dan duduk di kursi taman depan kelas Prilly. Mau tak mau, tanpa disuruh tanpa diminta, Prilly ikut duduk di samping Ali.
Beberapa menit duduk Ali belum buka suara, Prilly juga sedang malas bicara. Prilly asik sendiri dengan pemikiran-pemikiran yang membuatnya semakin sebal dengan Ali.
Semakin lama hubungan ini semakin dingin, tidak sehangat dulu. Ali lebih banyak mengatur hidupnya. Menentukan jam berapa prilly harus tidur dan harus bangun. Menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dimakan Prilly. Memaksanya mengikuti apa yang diinginkan Ali. Mengintilinya ke manapun Prilly pergi.
Prilly bosan, capek, dan ingin menyerah pada hubungan ini. Dia ingin menjalani hidupnya sesuai dengan apa yang dia inginkan, bukan yang Ali inginkan.
"Li." Ali menoleh memusatkan perhatian pada Prilly dan itu membuatnya gugup.
"Kenapa?"
"Nanti aku pulang sendiri aja ya?" tanyanya takut-takut.
Kening Ali berkerut samar. "Emang mau ke mana?"
"Nggak ke mana-mana, langsung pulang."
"Mau pulang sama siapa?" tanya Ali belum puas.
"Sendiri."
Kerutan di kening Ali semakin kentara. "Nggak, kamu pulang sama aku!" Tegas dan tak terbantahkan.
Namun, kali ini Prilly tidak ingin menurut begitu saja, dia ingin bebas. "Aku capek nungguin kamu." Ya, setiap hari, sepulang sekolah, Prilly harus menunggu Ali yang ikut rapat osis harian.
"Tigapuluh menit kamu nungguin aku sama dengan tigapuluh menit kamu nungguin bus, bahkan bisa lebih dari itu." Debat dengan Ali tidak akan pernah menang, meskipun dia ini tidak banyak bicara tapi kalau sudah urusan debat mendebat Ali juaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Real Boyfriend (5/5)
Fanfiction"Kamu apa-apaan Prill?" Ali sedikit terkejut dengan sikap Prilly, meskipun Ali tahu selama ini Prilly tidak nyaman dengan sikapnya, tapi tidak menyangka Prilly akan seperti ini. "Aku capek kamu atur-atur terus, aku mau bebas, aku mau jalanin apa ya...