"Enak? Rasanya sakit?" Ali bertanya sarkastik. Dia berdiri berkacak ponggang di depan Prilly dengan pakaian serba putih.
"Begini ini akibatnya kalau kamu ngelawan aku, sok-sok'an mau bebas, nggak mau diatur, mau ngelakuin apa yang kamu pengen bukan yang aku pengen, begini ini hasilnya! Rasakan saja! Nikmati!
"Hah sudahlah, aku nggak mau peduli lagi. Kamu lanjutin aja ngelakuin apa yang kamu lakuin, aku nggak peduli!" ucapnya kasar, dia berbalik, berjalan menjauhi tempat di mana Prilly berada.
Prilly langsung panik, berlari mengejar Ali, berlari dan terus berlari, Ali semakin jauh membuatnya semakin mempercepat langkah kakinya tapi justru Ali semakin jauh tak terlihat di dalam ruang gelap. Entah bagaimana prosesnya, saat kedua kakinya tak bisa berkompromi untuk melangkah bergatian, Prilly tersandung dan ....
. . . . . PYAAARR. . . . .
Prilly tergagap, matanya terbuka nyalang menatap langit-langit putih yang tak bergambar.
Mbok Min tergopoh-gopoh menghampiri ranjang Prilly. "Ah, Nduk. Kamu sudah sadar? Kamu kaget ya Nduk, maaf, Mbok Min nggak sengaja jatuhin gelas," Prilly tidak bereaksi, "ada yang sakit Nduk? Pusing? Perutnya sakit? atau mual?"
"Aku di mana?" tanyanya serak, tenggorokannya kering.
Mengerti Prilly butuh minum, Mbok Min berbalik badan mencari air mineral di tas berisi perlengkapan Prilly yang sengaja dia bawa dari rumah di sofa yang ada di pojok ruangan. Sambil merogoh-rogoh tasnya Mbok Min menjawab, "Di rumah sakit Nduk, kamu tadi pingsan di sekolah. Jadi dibawa ke sini ... duh mana sih botolnya!"
Prilly memperhatikan seluruh ruangan, sorot matanya mencari-cari sesuatu, atau ... seseorang.
Menelan ludahnya kelu Prilly membatin, "Cuma mimpi."
"Duh ini pecahan gelasnya ke mana-mana." Prilly kembali mengalihkan perhatiannya pada Mbok Min yang sedang geleng-geleng memperhatikan lantai di mana beling-beling bertebaran. Di tangannya sudah ada botol air mineral milik Prilly.
"Siapa yang bawa aku ke sini Mbok?"
"Hah?" Mbok Min menatap Prilly dua detik, kemudian bola mata kecoklatan khas orang jawa itu bergerak gelisah, "temen, temen kamu nduk. Ya temen sekolah kamu."
Prilly berusaha bangkit, duduk bersandar di kepala ranjang. "Siapa?"
"Mbok nggak tau, ini kamu minum dulu, Mbok mau manggil dokter sama sekalian pinjam sapu." Kelihatan sekali Mbok Min sedang menghindar, dan Prilly tidak bodoh untuk mengetahui itu.
"Mbok Min, kenapa? Siapa yang bawa aku ke sini? Kenapa Mbok jadi gugup gitu?" Botol minumnya hanya dia pegang di atas pangkuannya, "Ali ya?"
"Hah?" Mbok Min terkesiap.
"Yang bawa aku ke sini Ali?" Prilly mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas.
Mbok Min menggeleng cepat, aneh, tapi cukup mampu membuat Prilly menghela napas kecewa.
"Kenapa nduk? Kok murung gitu?" tanya Mbok Min sembari duduk di sisi ranjang Prilly, melupakan niatannya memanggil dokter.
Prilly tersenyum miris. "Tadi aku mimpi Mbok, mimpi Ali ngomel-ngomel sama aku, marah-marah sama aku karena aku nggak nurut sama dia, aku mimpiin Ali yang selalu maksa-maksa, ngatur-ngatur, ngelarang-ngelarang, aku ... mimpiin Ali yang perhatian, peduli sama aku, tapi Ali pergi Mbok, Ali pergi," *dan aku takut kehilangan dia* lanjutnya dalam hati, setetes air mata mengalir lembut di pipi pucat Prilly.
"Nduk. Mas Ali itu kayak gitu buat kebaikan kamu," -Prilly mengangguk membenarkan- "Mas Ali itu laki-laki yang baik, laki-laki yang perhatian dan peduli banget sama kamu Nduk. Mbok bisa lihat kalau Mas Ali itu sayang banget sama kamu nduk," ujar Mbok Min lembut, dengan senyum hangat bagai seorang ibu kandung ke anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Real Boyfriend (5/5)
Fanfiction"Kamu apa-apaan Prill?" Ali sedikit terkejut dengan sikap Prilly, meskipun Ali tahu selama ini Prilly tidak nyaman dengan sikapnya, tapi tidak menyangka Prilly akan seperti ini. "Aku capek kamu atur-atur terus, aku mau bebas, aku mau jalanin apa ya...