Bagian Kedua : Jingga

2.2K 252 9
                                    


"Seperti dugaanku, kau ada di sini."

Kaleng soda dilemparkan asal, melengkung dengan bebas dalam gerak parabola, lalu menyentuh pinggiran tong sampah sebelum masuk sepenuhnya. Bunyinya seperti 'tang' yang nyaring dan diikuti oleh hening di detik kemudian.

Jeon Jungkook, dalam balutan jersey sekolah dan si bundar karet oranye di satu tangan, mengangkat sebelah alis setelah itu terkekeh ringan.

"Tidak bertanya kenapa aku bisa menemukanmu, Kim?" afirmasi dalam nada suaranya tidak mengejek, hanya sekadar bertanya dalam bentuk pernyataan. Ia melirik Taehyung sejenak, lantas berjalan ke tengah lapang di mana pemuda berambut cokelat itu berdiri.

Sore itu, lapangan basket dekat taman kota sepi.

Dan Jeon Jungkook tahu bahwa kesepian yang dirasakan Kim Taehyung bisa lebih dari itu.

"Bodoh kalau aku menjawab," sahut Taehyung akhirnya, mencibir jengah. "Dunia kiamat kalau kau sampai tidak bisa menemukanku di ujung bumi sekali pun, Jeon."

"Wow, hiperbolis sekali."

"Lucu."

Jungkook mengedikkan bahu. "Tidak juga," bola basket dilemparnya cepat, dan Taehyung menangkapnya dengan gesit pula. "Yang membuatku penasaran, kenapa aku harus mencarimu?"

"Menurutmu ..." Taehyung berbalik, lalu melempar bola ke arah ring, "... apa itu penting?" awalnya menyentuh sisi, berputar dalam irama konstan, dan masuk.

Satu poin didapatkan.

"Sigmund Freud pernah bilang ..."

Bola mata Taehyung berotasi malas; mulai lagi deh, batinnya ngilu.

"... sifat dasar manusia terbagi menjadi tiga kategori," kakinya belari kecil mendekati tiang ring hanya untuk mengambil bola yang menggelinding. Yang dua detik selanjutnya, bola itu kembali dilemparkan ke arah Taehyung.

"Satu, yaitu id."

Taehyung berhasil menangkapnya, lalu melamparnya sekuat mungkin menuju ring.

Bang!

Tidak masuk.

"Dua ..." Jungkook membungkuk, bola basket kembali diambilnya. "Orang-orang biasanya menyebut ego."

Masih sama. Lempar, dan Taehyung menangkapnya. Menyentuh ring hingga masuk atau meleset, setelah itu menggelinding di bawah kaki Jungkook dan pemuda tinggi itu seolah tidak lelah terus membungkuk, mengambilnya, melemparnya, lalu mengulanginya setiap waktu.

"Dan tiga," kali ini, Taehyung yang besuara. Suaranya seperti tercekat, rahangnya juga ikut mengeras dan gigi bergemeletuk kesal. Bahkan bola basket dilemparkan begitu kuatnya sampai membentur papan ring dengan keras. "Orang gila teori sepertimu mana mungkin tidak tahu kalau itu adalah superego!"

Jungkook bergeming. Nada suara Taehyung mulai meninggi.

"Percuma saja kau mengoceh tidak jelas, Jeon! Itu tidak akan membantu."

"Dari apa?" tanya Jungkook, angkuh. "Dari kau yang baru saja ditolak cintanya dan merasa patah hati?"

Kedua tangan Taehyung terkepal. "Kau—"

"Aku berterori seperti ini juga bukan karena tidak ada alasan," ia mengabaikan bola yang sudah pergi entah ke mana, masih dalam keadaan menggelinding. Seakan tahu Taehyung tidak akan lari dengan mudah, Jungkook mendekatinya.

Taehyung mendengus, sinis. "Lalu apa? Mau pamer?"

Begitu langkah berhenti tepat di depan pemuda Kim itu, Jungkook menghela napas pendek. Di saat seperti ini, jelas Taehyung tidak ingin mendongak hanya untuk menatapnya.

"Well, bukan maksudnya pamer. Aku hanya ingin mengingatkan," katanya pelan, sepelan ia mengangkat kedua tangan dan menarik tubuh Taehyung agar mendekat. "Ada saat di mana manusia harus mengeluarkan ego yang mereka miliki. Bahkan dalam keadaan tertekan sekali pun."

Tidak ada bantahan yang terdengar. Atau balasan sarkastik. Sebaliknya, Taehyung diam saja ketika Jungkook mulai melingkarkan lengan di sekeliling pinggang dan bahunya. Mendekapnya dengan lembut.

"Jadi ..."

Jungkook mendongak, memandang pada cakrawala tak terbatas di atasnya. Pada semburat jingga dan lembayung yang menyatu. Melukisnya dalam benak selama yang ia bisa sambil memberikan tepukan menengangkan di punggung Taehyung. Pada sore itu, di tengah lapangan basket, hanya mereka berdua tanpa ada keributan.

"... menangislah, Tae. Menangis saja."

"Bodoh," bisik Taehyung parau, membenamkan wajahnya di dada Jungkook lebih dalam, "Ibuku bilang laki-laki tidak boleh menangis. Memangnya kau pikir aku apa? Anak berumur lima tahun?"

"Makanya kubilang, buang dulu egomu itu jauh-jauh. Hanya sebentar."

Ada getar di sana. Bahu yang berguncang samar, lalu cepat, cepat, dan isakan yang mulai terdengar.

Jungkook memejamkan mata, menutup sejenak jingga yang ditatapnya. Fokus untuk memberikan tepukan ringan agar Taehyung tidak terlalu merasa sendiri. Ia bisa mendengar gerutuan seperti 'ini memalukan' atau 'benar-benar bodoh, aku bukan wanita' dan sebagainya yang tidak terlalu jelas.

Tanpa sadar, Jungkook mengulas senyum, tipis memang. Dan ia tidak protes ketika baju bagian depannya basah karena air mata.

Tidak apa-apa, pikirnya. Selama Taehyung hanya menangis di hadapannya, Jungkook sama sekali tidak keberatan.

(Bola oranye itu sudah lama membentur tong sampah, membisu ketika warna jingga pada langit mulai memudar karena malam. Dan terlupakan di sana).

.

.

.

jingga, selesai. 

.

.

A/N : nantikan warna selanjutnya ya~ 

L'arc en Ciel (KookV Fancition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang