Rumah Baru

574 13 0
                                    

Rumahku istanaku.....

Kurang lebih satu bulan, pak Usman akhirnya datang juga menjumpai anak dan istrinya di Tonasa.
Pak Usman bermaksud memanggil istri dan anak-anaknya untuk pulang ke Lembang. Namun, bu Fatimah menolak.

" Tidak... saya tidak mau. Kalau memang kamu mau tinggal bersama kita. Kamu yang tinggal disini bukan aku yang ikut sama kamu ke Lembang." tolak bu Fatimah mentah-mentah.

Sejenak keadaan menjadi hening. Lalu pak Usman akhirnya setuju dengan usul bu Fatimah. Kini keluarganya bersatu kembali. Namun, berbeda dengan Zaffran. Ia kecewa atas keputusan ibunya. Zaffran mengira bahwa ia akan terbebas dari kekerasan sang ayah. Namun nyatanya ayahnya kembali. Itu artinya ia harus berhati-hati jangan sampai sang ayah marah.

" Pa lebih baik kita bikin rumah sendiri. Biar kecil tapi rumah sendiri," ujar bu Fatimah. Saat mereka lagi berdua di meja makan sambil minum kopi.

" Bikin rumah..?? Tapi kita tidak punya ongkos. Bukan hanya itu lahan juga kita tidak punya.." jawabnya dengan ekspresi bimbang.

" Tabunganku ada sedikit pa.. mungkin bisa membeli alat untuk berteduh," bu Fatimah memberi semangat kepada suaminya.

" Biar ada... lahannya dimana..??" bentak pak Usman dengan tekanan tinggi. Rupanya ia cepat emosional. Bu Fatimah memilih lebih baik diam daripada menyahut. Takut suaminya tambah emosi dan melakukan kekerasan kepadanya. Setelah beberapa menit suasana hening, pak Usman beranjak pergi meninggalkan bu Fatimah di meja makan sendirian. Kini ia termenung sambil memikirkan hal yang akan ia lakukan. Tidak akan mungkin baginya mempunyai rumah secepatnya. Uang yang dimilikinya hanya 200 ribu. Itupun sudah disisipkan untuk membeli keperluan Zaffran dan Nurul.
Dalam kesendiriannya ia meratapi nasibnya. Andaikan ia bisa melakukan aktivitas agar mendapatkan uang. Maka ia rela berbuat apa saja. Tapi alhasil tidak ada kerjaan yang ia dapatkan di desanya. Akhirnya ia berencana untuk mencari uang di kota. Itupun kalau di izinkan suaminya dan orang tuanya. Kini ia semakin bimbang.

*****
Di waktu yang sama, tempat berbeda. Pak Usman sedang duduk di sebuah dahan kayu yang sudah tua. Ia merenung dan mengingat-ingat akan perkataan istrinya. Menurutnya, apa yang di usulkan bu Fatimah adalah untuk kebaikan keluarganya. Di saat itu pun seseorang menghampirinya.

" Heeii..." orang itu menepuk pundaknya. Pak Usman berbalik memandangi orang yang mengganggu aktivitasnya.

" Kenapa...??" tanya orang itu sembari duduk disampingnya.

" Aku lagi pusing," ujarnya kesal.

Orang itu malah tertawa," Hahahaha... daripada pusing, lebih baik pergi kerja. Mau tidak..??" ajak orang itu. Pak Usman yang tadi bermuka suram, kini bangkit dengan ceriah menyambut ajakan temannya itu.

" Dimana..??" tanyanya penasaran tingkat tinggi.
" Hahahaha..." gelawak tawa dari temannya itu membuatnya tambah kesal. Namun, pak Usman harus menahan emosi yang bergejolak didalam batinnya. Sembari berpura-pura tak ada masalah sd an tersenyum sumringah.

" Ada di Makassar..."

" Sama kamu..?"

" Iya. Kita bareng, bagaimana..?"

" Saya setuju.." seru pak Usman bangga. Ia menyetujui lowongan itu tanpa sepengetahuan sang istri. Tapi jangan salah. Kali ini pak Usman akan mengajak anak istrinya ikut bersamanya. Ia akan bekerja di kota Makassar sebagai tukang bangunan. Sedangkan istrinya, ibu Fatimah akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Beruntung sekali bagi sepasang suami istri ini. Beliau di izinkan membawa anak-anaknya yang tergolong masih kecil.
Di sini Zaffran mulai mengenal lingkungan luar dan mulai mempunyai mimpi dan keinginan tersendiri. Namun, ia harus pendam terlebih dahulu. Karena ia masih kecil dan belum bisa bertindak sendiri. Sedangkan Nurul. Ia masih rewel. Mungkin karena tidak tahan cuaca panas, dimana banyak nyamuk. Walaupun kondisinya seperti itu, Nurul harus belajar menyesuaikan lingkungan seperti Zaffran yang sudah mulai betah.

Satu bulan berlalu. Pak Usman menerima gaji dari boss sebesar 200 ribu. Sedangkan bu Fatimah hanya menerima 150 ribu. Uang yang mereka dapatkan, ia simpan untuk membangun rumah sendiri. Seperti niatnya sebelum berangkat dahulu. Bukannya mereka tidak berbelanja apapun. Tapi mereka hanya membeli sesuatu yang sangat di perlukan saja dan sisahnya di sisihkan.

Suatu hari. Nurul mulai resah. Tampaknya ia ingin bertemu dengan kakek neneknya.

" Ma.. Nulul mau lumah nenek..! mama bawa Nulul situ..!!!" sambil menangis dan menunjuk ke arah jalan raya

Bu Fatimah hanya mengusap kening Nurul," sabar yah sayang. Liat papa lagi kerja tuh... ( menunjuk pak Usman ). Kita belum bisa pulang.."

Masih dengan isak tangisnya Nurul terus merengek minta diantar kerumah neneknya," mama bawa Nulul lumah nenek balu ulang aagii..."

Keadaan semakin parah karena Nurul panas tinggi. Setiap hari ia merengek minta pulang.
Pak Usman dan bu Fatimah tidak tenang bekerja dengan kondisi Nurul yang sangat memprihatinkan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pulang ke desanya. Dengan uang yang ia dapatkan selama kurang lebih dua bulan bekerja. Mereka membeli sebuah tenda kecil dan menyimpannya di rumah tetangga. Bu Fatimah takut akan ayahnya marah jika mengetahui niatnya. Saat Nurul bertemu sang nenek, Alhamdulillah panasnya menurun secara perlahan-lahan.

Suatu saat mereka sedang makan malam bersama. Bu Fatimah memberanikan diri untuk angkat bicara. " Bu... Pa... kami berniat untuk bikin rumah sendiri. Itupun kalau di izinkan," tuturnya dengan nada rendah dan lebih sopan.

" Kami tidak bisa menahan kalian, jika itu kebahagiaanmu. Apalagi kalian sudah punya anak. Itu terserah kalian." Sejenak suasana jadi hening. " Sawah yang ada di samping rumah pak Hasman bapak kasih ke kamu. Kamu bisa bikin rumah disana kalau kamu mau..." tambahnya.

Sungguh tak disangka-sangka. Seorang bapak yang tegas akhirnya memberi izin untuk pisah rumah. Dan satu lagi, di beri lahan untuk membangun rumah..! Itu suatu berita yang sangat membahagiakan bagi keluarga bu Fatimah.

" Makasih pa.. bu.." sahut bu Fatimah bahagia. Selanjutnya di lanjut makan sambil ngobrol seputar rencana yang pak Usman dan Bu Fatimah utarakan.

Dua hari kemudian. Keluarga Nurul sudah mempunyai rumah sendiri. Walapun hanya beratapkan tenda kecil berwarna biru dengan tiang bambu kecil dan beralaskan tanah. Tempat tidur hanya dialasi beberapa helai karung dan sarung. Namun dengan kondisi seperti ini, pak Usman dan Bu Fatimah tak pernah putus asa dan selalu mencari nafkah dan uang untuk memperbaiki rumahnya.

Nurul dan Zaffran tak kalah bahagia memiliki rumah sendiri. Ia bisa bermain berdua dengan adiknya tanpa gangguan orang lain.
Zaffran juga sering di amanahkan orang tuanya untuk menjaga Nurul saat mereka pergi mencari uang. Zaffran menurut dan mengajak Nurul bermain di sekitar pondok rumahnya..

****

Perjuangan hidup sang AKHWATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang