Bab Tiga

2.7K 57 3
                                    

Tempat yang mereka pilih untuk berbicara adalah sebuah cafe yang terkenal dengan minuman kopinya. Mikha memesan Green Tea hangat untuk diminumnya, sedangkan Nami memesan Ice Cappucino dengan sepotong Muffin coklat.

Mereka duduk di dekat jendela di mana dari sana mereka dapat menyaksikan mobil dan motor lalu lalang. Mereka memilih tempat itu sebenarnya karena satu alasan sederhana, yaitu karena hanya tempat itu yang belum terisi.

Cafe itu terlihat cukup ramai. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya membasahi Jakarta pagi ini yang membuat cuaca semakin dingin dan tiap orang jadi ingin untuk meminum kopi atau teh hangat.

Tepat di belakang mereka duduk, ada suara sepasang suami istri yang sedang meributkan masalah cat rumah mereka. Sang istri terdengar jelas mendominasi pembicaraan itu, sedangkan sang suami hanya bisa memberi komentar sedikit. Masalah warna cat, masalah merek cat, sampai masalah harga cat dibahas oleh mereka.

Sementara itu di depan mereka, ada seorang pria yang menikmati kopinya sambil membaca sebuah surat kabar hari ini. Di hadapan pria itu ada seorang pria lain yang menghisap rokoknya dalam-dalam sambil memainkan pulpennya yang berwarna ungu.

“Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu?”

“Tiga tahun lebih.”

“Selama itu kah?”

“Tentu saja,” Nami menyedot minuman dinginnya. “Aku kan tinggal tiga tahun di Jepang. Seperti yang kamu tahu bukan, ayahku memintaku untuk membantunya di sana.”

“Jadi kamu sudah bekerja sekarang?”

“Tidak juga sih. Aku cuma membantu ayah di sana sekaligus kuliah di sana. Dan sekarang ayahku ingin aku mengelola perusahaannya di sini.”

“Kitagawa Company?”

Nami tersenyum lebar. Menggeleng-gelengkan kepala.

“Iya itu. Aku tidak tahu, Mik. Aku belum mau serius bekerja dulu. Aku masih ingin berpetualang dulu mengelilingi dunia, baru setelah puas aku mungkin akan berpikir untuk bekerja.”

“Ya ampun Nami. Kamu belum berubah?”

“Oh ya? Masih cantik kan?”

Mikha mengangguk setuju. Nami hanya membalasnya dengan senyuman.

“Oke. Sekarang ada apa kiranya, Nami Kitagawa mengunjungi aku?”

“Aku ingin membuat suatu pengakuan.”

“Nami...Nami....” Mikha tersenyum. “Masih belum menyerah ya?”

“Bukan masalah itu. Walau masalah itu aku belum menyerah. Ini masalah yang berbeda. Sangat berbeda.”

“Berbeda bagaimana?”

Nami dengan takut-takut mencoba untuk mengatakannya.

“Aku telah membobol emailmu.”

Mikha yang sedang minum tiba-tiba tersedak. Ia mengambil tisu dan membersihkan cairan yang tumpah dari mulutnya itu. Ia melihat Nami dengan pandangan serius sekaligus terlihat polos.

“Kenapa kamu lakukan itu?”

“Aku....”

“Aku tidak mengerti kenapa dari dulu sampai sekarang kamu belum bisa berubah. Masih saja seperti dulu.” Mikha sedikit melantangkan suaranya. Mikha tidak marah, tapi jelas ia tidak suka dengan cara Nami itu, “aku masih tidak mengerti caramu itu. Kenapa? Kenapa kamu masih melakukan cara-cara seenak kamu?”

“Kamu marah ya Mik?”

“Aku tidak marah Mi. Aku cuma...Ah...Entahlah.”

Mikha membanting badannya ke sofa. Mikha menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menunduk kecewa.

untitled...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang