Bab Enam

2.3K 49 2
                                    

Perjalanan mereka tidak berjalan semulus yang mereka kira.

Mikha mengalami gangguan pada perutnya sehingga sepanjang perjalanan ia merasa mual. Terlebih karena cuaca yang tiba-tiba saja menjadi buruk dan memaksa Mikha mengalami sedikit guncangan kecil pada perutnya. Namun Mikha selalu mencoba menghilangkan rasa mualnya dengan tertidur atau mendengarkan musik. Tapi ia tampak kesulitan untuk melakukan itu semua, karena Nami selalu saja berbicara dan mengajaknya untuk mengobrol, mengobrol dan terus mengobrol sehingga Mikha terpaksa terjaga.

Nami bisa dibilang juga tidak menikmati perjalanannya yang jauh ini. Ia banyak sekali bercerita namun pendengar ceritanya tidak terlalu menyimaknya. Nami sebenarnya mengerti keadaan Mikha saat itu, hanya saja ia terlanjur bosan untuk menjadi pendiam. Nami juga dikecewakan dengan makanan yang disajikan di pesawat, sebagian makanan terlalu asin atau sebagian terasa terlalu hambar untuk dinikmati mulutnya.

Mungkin satu-satunya orang yang menikmati perjalanan angkasa ini adalah Ruben, pemuda yang selalu terlihat ceria memang tidak terlihat sama sekali bosan atau pun kecewa dengan segala ketidaknyamanan yang ia terima.

Selain memang ia sudah terbiasa berpergian dengan pesawat, Ruben tampak bersemangat dikarenakan Leni, teman yang sudah lama tidak ia temui itu dapat duduk dan mengobrol bersamanya saat ini.

Hampir satu hari perjalanan Mikha, Nami dan Ruben menuju Isreal. Mereka turun di Mesir terlebih dahulu, di mana mereka berpisah dengan rombongan tur. Mereka pun melanjutkan perjalanan segera dengan mengunakan bis dan kini dalam hitungan jam, mereka sudah berada di lobby utama sebuah hotel yang bernama Tulip Inn Sea of Galilea Hotel, di mana hotel merupakan hotel terdekat di danau Galilea.

Hotel ini merupakan hotel favorit para wisatawan, hal ini dikarenakan hotel ini merupakan hotel terdekat dari danau Galilea dan juga merupakan hotel terbaik untuk menawarkan best view langsung ke pantai. Namun, tentu saja hotel ini merupakan salah satu hotel yang cukup mahal di daerah itu.

Mereka berada di sebuah lobby hotel yang cukup sejuk dengan AC di setiap sudutnya, sofa-sofa berwarna hitam berjejer rapi di sebelah kanan pintu masuk. Lantainya jelas terbuat dari kayu dengan kualitas tinggi dan pencahayaan dalam ruangan itu yang pas sekali, tidak terlalu terang atau pun agak gelap.

 Di hadapan mereka ada sebuah meja berbentuk setengah lingkaran yang sudutnya mengarah ke hadapan mereka dengan sebuah akuarium besar di sebelah kiri berisi ikan hias yang cukup populer di sana dan sebuah lukisan abstrak berada di sebelah kanan.

Di belakang meja itu ada dua orang wanita berpakaian rapi, berwarna hitam dan menawarkan senyum yang lebar buat mereka, bahkan semakin lebar saat Nami mulai mendekati tempat itu.

“Good Night,” sapa salah satu wanita dengan logat Inggris yang aneh.

Nami hanya mengangguk lalu berkata dalam bahasa Inggris.

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Kami akan menginap.”

“Sudah ada reservasi sebelumnya?”

“Reservasi atas nama Nami Kitagawa.”

“Mohon di tunggu sebentar,” wanita itu melihat layar komputer di hadapannya, lalu mengimput pencarian data. Tak lama wanita itu memandang kembali ke Nami dengan senyuman yang menawan.

“Kamar VIP no.23.”

Tiba-tiba seorang seorang pria dengan pakaian yang sama dengan wanita-wanita yang ada, menghampiri mereka juga dengan penuh senyuman.

“Paul. Tolong antarkan mereka ke kamar mereka!”

Wanita itu menyerahkan sebuah kartu kepada Paul.

untitled...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang