Chapter 3 - Stop

572 63 5
                                    

Stormy

Harry Styles, Harry. Hanya dia yang terus ada di pikiranku saat ini, apakah salah memikirkan seseorang yang tanpa kita sadari, orang itulah yang bisa membuat kita tersakiti melebihi orang lain?

Aku ingat semuanya, bagaimana orang yang kucintai mati tepat dihadapanku, seharusnya aku senang karena semua monster dan hal aneh yang terjadi di kehidupanku itu tiadaーtapi tidak. Malah memburuk, lebih buruk dari semua monster itu.

Namun tiba-tiba aku terbangun dikasurku, seolah semua hal itu hanyalah mimpi. Aku tidak sedang melawan monster itu, aku tidak pernah bergabung di suatu organisasi aneh, aku tidak pernah mengenal Harry Styles, aku tidak pernah tau bagaimana rasanya tersakiti oleh seorang lelaki.

Aku terbangun, semuanya kembali normal, bahkan sesuatu yang seharusnya tidak kumiliki lagi, sekarang kembali lagi kepadaku, orang tuaku. Tentu itu membuatku sangat senang, walaupun pada saat itu aku tidak tau kalau mereka pernah tiada.

Menjalani kehidupan biasa, hal yang pertama kali muncul dikepalaku saat itu adalah kuliah. Hal yang ada diotakku ialah, aku hanyalah seorang wanita yang sedang memfokuskan dirinya untuk kuliah, menyebarkan kebahagiaan dan membantu orang-orang. Hanya itu, laki-laki? meh. Well, i've dated some boy and yes we've kissed, but i didn't get the 'butterfly effect or fire in your stomach when you kiss someone that you love.'

Speechless. Aku tidak tau harus mengatakan apa. Disebelahku adalah Harry, yang sejak kami memasuki mobil, tangannya menggenggam tanganku dengan eratー seolah aku akan pergi selamanya. Aku tidak menatapnya sepanjang jalan, sebagaimana aku sering melirik kearahnya dulu ataupun saat dia menjadi bosku, dan sebelum aku ingat semua kejadian 'itu'.

Aku tidak merasakan apapun, amarah, sedih, ataupun kesal. Aku tidak merasakan itu semua.

Ketika kita berada di titik paling bawah, makanan atau minuman yang kita rasakan terasa hambar. Saat kita melihat sesuatu yang berwarnaー namun anehnya kita tidak merasa itu berwarna. Saat kita tidak bisa menangis lagi.

Emotionless.

Ya, aku berada diposisi itu sekarang.

Aku mendengar suara pintu mobil terbuka, dan kini lampu mobil kami menyala. "Storm― Tania. Ayo turun, sudah sampai." Oh kami sudah sampai, yay. Aku tidak sabar untuk berkenalan dengan orang-orang. Ha.

'Stupid me and my sarcasm.' Gumamku sambil memutarkan mataku. Dan barusan Harry memanggilku apa? Tania? bukan Stormy? Oh tidak, aku tidak akan berkomentar atau kesal tentang hal sekecil itu. Namun orang yang pertama kali menyebutku dengan sebutan 'Stormy' adalah dia, sebelum aku menyuruh orang lain menyebutku dengan itu. Just saying.

Lampu taman menyilaukan mataku, namun itu tidak menghalangiku untuk memaksa mataku melihat pemandangan ditempat ini. Beberapa lampu hias menerangi taman tepat disebelah kananku, dengan diiringi suara air mancur, aku menghembuskan nafasku.

Sunyi, sejuk dan terasa pahit. Kesejukan ini mengingatkanku saat aku dan Harry biasa menghabiskan waktu saat malam hari. Dulu.

"Stormy." Sontak aku terkejut karena suara beratnya. Aku menoleh dan melihat Harry dengan wajah lesunya.

Bajunya kusut, dua kancing terbuka dan dasinya tidak terpasang dengan benar. Aku tersenyum tipis, dulu aku sangat tidak suka melihat dia berantakan seperti itu. Biasanya aku merapihkan pakaiannya sambil memakaikan dasinya saat ada acara penting atau di SEOS.

Harry mengulurkan tangannya, aku menaiki satu alisku. Butuh beberapa detik untuk mengerti maksudnyaー oh, dia ingin menggenggam tanganku? konyol.

Dia melirik ketanganku dan kembali ke wajahku. Aku hanya melihat tangannya yang daritadi menungguku dan menghiraukannya.

Death Arcana [ Harry Styles ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang