Chapter 1

293 50 55
                                    

Kembali aku rasakan rasa sakit itu.
Aku tak suka melihatnya.
Malaikat tanpa sayapku sedang rapuh di hadapanku.
Bahkan, ia masih tegar di balik air matanya.

Devina POV

"Ck!" aku mendecak frustasi mengingat kejadian semalam. Pria itu selalu bertindak semaunya. Kali ini apa lagi kesalahan -yang hanya ada dalam pikirannya­ yang ia tuduhkan kepada mama? Memangnya dia siapa? Bahkan dia tidak pantas menyandang peran sebagai seorang kepala keluarga. Pikiranku kalut, yang bisa kurikulum lakukan hanya duduk malas-malasan dan menatap jengah ke luar jendela.

PRANGG!!

Lamunanku buyar ketika mendengar suara benda yang dilempar ke lantai. Tubuhku berjingkat dan mempertajam indera pendengaranku was-was. Kaca? Benar saja, kepalaku sukses melongok ke arah pintu yang berada tepat di belakangku dan ku dapati pecahan-pecahan piring yang berserakan. Sungguh ini mengerikan, mamaku, bersimpuh di hadapannya. Ku harap mataku tidak meloncat keluar saat menyaksikan tragedi ini.

"Kau ini bisa urus suami tidak?! Begini saja kau tidak bisa! Cepat bersihkan kekacauan ini!"

Ia meneriaki mamaku dengan suara yang luar biasa keras. Sakit.. Oh tidak jangan menangis mama.. Tatapan bengis pria itu dapat ku rasakan ketika dia berjalan melewatiku. Aku merasa sakit ditatap seperti itu, bagaimana pun juga, di balik tatapan jahat itu ada tatapan seorang ayah kepada anaknya. Entah apa yang mengubahnya menjadi seperti sekarang. Mataku beralih kepada Mama, dia memalingkan wajahnya dan mengusap ujung matanya yang sedikit berair. Aku tahu dia terluka, amat sangat terluka.

"Ah, kamu sudah bangun Dev. Cepat sarapan, dan tolong bangunkan adikmu."

Mama menghindari tatapanku, berusaha menyembunyikan isakannya dan melanjutkan aktivitasnya. Sebisa mungkin aku bersikap normal meskipun aku merasa buruk pagi ini. Apa katanya tadi? Sarapan? Demi Tuhan aku tidak selera memasukkan apapun ke dalam mulutku, berjalan keluar rumah dan meninggalkan mama di dapur, dan tentu saja melupakan titah Mama untuk membangunkan Deri. Ku pikir, Deri sudah cukup besar untuk bangun sendiri.

Udara dingin berhembus menyapaku, sebenarnya kondisi ini tidak baik untuk tubuhku. Dingin yang begitu menusuk dan udara yang ku hirup melubangi tenggorokan sama sekali tidak ku perdulikan. Ini tidak akan bertahan lama, tubuhku akan sadar dan segera menolak. Dan dalam hitungan detik pandanganku kabur membuat mataku refleks menutup rapat, bagian belakang kepalaku berdenyut, nyeri.. Lama ku nikmati setiap rasa sakit yang menyerang kepalaku. Sekilas mataku menangkap sebuah bangku kosong tak jauh dariku, segera saja aku menggerakkan kakiku dan mendaratkan bokongku di besi kokoh itu. Aku merapatkan kardiganku dan mengusap pelan kedua sisi lengan. Bersandar dan menatap lurus ke arah langit yang masih redup.

Rasa sakit itu mulai reda dengan sendirinya. Aku menutup mataku dan menghirup perlahan kedamaian semu pagi ini. Mencoba memutar kembali rekaman semasa hidupku. Ingatanku berjalan cepat, aku tidak ingin mengingatnya terlalu dalam, yang ku lakukan hanya untuk memastikan kalau aku pernah tertawa dan bahagia. Tanpa ku sadari cairan bening keluar dari mataku. Dadaku begitu sesak saat aku membuka mata dan menyadari tidak lagi berada di masa itu.

Author POV

Mata hitam Evan sudah sejak lama mengawasi Devina. Gadis cantik yang sudah lama menerobos masuk ke dalam hatinya tanpa permisi. Anggap saja Evan pengecut karena tidak berani menyatakan cinta. Evan tidak pernah tau apa yang telah dialami oleh Devina. Gadis itu begitu tertutup, tapi tidak lemah. Devina terlalu kuat untuk menitikkan air mata barang satu tetes. Namun kali ini ada yang berbeda, tak pernah sekali pun Evan melihat kesedihan itu, sorot matanya begitu sendu dan terlihat sangat kacau. Bahkan rintikan hujan kali ini tidak dapat menenangkan Devina yang notabene pecinta hujan. Kaki Evan tidak tahan untuk hanya berdiam diri, ia segera membunuh jarak antara dia dan gadis itu. Kini Devina sudah berada di depannya. Evan tampak berpikir, mencari-cari kata apa yang tepat untuk menanyakan apa yang terjadi pada gadis di hadapannya ini. Gue tadi mau nanya apa, deh? Batin Evan.

MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang