Hari ini Devina masuk sekolah dengan terpaksa. Awalnya, berkali-kali Devina berkutat dengan pikirannya memastikan penampilannya di cermin. Berkali-kali pula ia keluar-masuk kamarnya hanya untuk menanyakan perihal penampilannya kepada Deri dan Mamanya. Ia masih ragu dengan luka di sudut bibirnya dapat tertutup sempurna dengan polesan make up yang ia gunakan. Akhirnya, Devina merombak gaya rambutnya yang biasa dikuncir kuda menjadi tergerai sempurna.
"JANGAN KELAMAAN DANDAN NAPA!"
"IYAIYA SABAR DIKIT NAPASIH?!"
***
Banyak pasang mata yang mengagumi kecantikan Devina saat ia berjalan di koridor. Sama halnya seperti Randy, tubuhnya seketika terkunci ketika sepasang matanya menangkap sosok Devina di ujung koridor. Tidak ada yang tahu apa arti tatapan itu selain Tuhan dan Randy sendiri. Menyesal? Kagum? Entahlah. Angin membelai wajah cantik Devina. Ia sungguh bak putri kerajaan yang berjalan menyambut mahkotanya.
"Hai, Dev!"
"Pagi, Devina!"
"Kak Devina cantik banget, sih!"
"Hello, gorgeus!"
Sapaan-sapaan itu sudah sangat akrab di telinga Devina dan ia akan selalu membalasnya dengan senyuman dan sesekali mengangguk sopan. Setidaknya, mood Devina sedikit tertolong pagi ini.
Di ujung lorong, senyuman lebar dan rentangan tangan sedang menantikan kedatangan Devina. Alin. Sejurus kemudian Devina sudah berhambur ke pelukan Alin.
"Devinaa! I miss you, so bad! Lo kenapa sih kemaren tiba-tiba lari gitu tega banget ninggalin gue?" pekik Alin.
"Miss you too, honey! Harus banget ya gue cerita?" balas Devina seraya melepas pelukan teletubies mereka.
"Iyalah, Devina Audrey!" balas Alin sambil berkacak pinggang dan mengerucutkan bibirnya.
"Ntar aja ya, masih pagi nih." Devina mengerling dan sorot jahil muncul di manik matanya dan segera berjalan meninggalkan Alin.
"What?! Gak bisa gitu- ehh DEVINAA IIH!!"
Yang diteriaki hanya cekikikan dan segera berlari menuju kantin.
Sambil lalu Devina melewati ruang kelasnya dan hanya melihatnya sekilas. Ia sama sekali tidak tertarik dengan kegaduhan yang sedang terjadi di dalam kelas. Tujuannya hanyalah kantin dan ingin segera memanjakan perut dengan coklat hangat kesukaannya.
Selesai memesan dan mendapat tempat duduk yang tentu saja bebas ia pilih, tanpa sengaja matanya bertemu dengan mata hitam Evan. Entah hanya perasaannya atau bukan, Evan merasa ada yang berbeda dengan Devina. Rambut tergerai. Polesan make-up yang diaplikasikan se-natural mungkin memang membuat Devina yang cantik menjadi semakin cantik. Tapi penglihatan Evan tidak mungkin salah, make-up itu seperti menyabotase tampilan luka di sudut bibirnya. Sebaliknya, Devina merasa percaya diri karna skill-nya memoles make-up tidak bisa diragukan lagi.
***
PLAK!
Sejenak suara itu mengusik indera pendengaran Evan. Menuntutnya untuk keluar dari mobil dan bermaksud mencari tahu. Dengan langkah ragu Evan berjalan mendekati rumah Devina. Takut-takut kalau hal buruk sedang terjadi. Penjahat tidak mengenal waktu bukan? Batin Evan.
"Pa! Stop pa jangan sakitin mama!"
PLAK!
Evan meringis mendengar suara tamparan itu. Bukan, tidak ada penjahat di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle
Teen FictionA story from Devina. She doesn't love her life. But, Evan love her.