Ia berbaring menatap langit-langit kamarnya. Sungguh, memikirkan gadis itu membuatnya hampir gila. Atau sudah gila? Lagi-lagi ia mengusap wajahnya dengan frustasi, kali ini ia duduk di pinggir ranjangnya dan mencoba berpikir jernih. Sebuah ide brilian muncul, Evan segera melesat berganti pakaian, sepatu, menyalakan mobil dan mengeluarkannya dari sarang. Pijakan pada pedalnya beserta keahlian menyetirnya sangat mantap menuju suatu tempat.
***
Secangkir coklat panas sedang menunggu dijamah olehnya. Uap mengepul menabrak hidung mancungnya. Menghirup aroma coklat yang memabukkan. Pikirannya menerawang, pernyataan singkat dari Om Brian masih terngiang jelas.
"Hidup harus terus berjalan. Apapun keadaannya, apapun kesulitannya, jangan menyalahkan takdir, percayalah bahwa Tuhan sangat mencintai umatNya."
Perlahan bibirnya melengkung ke atas. Kini ia paham maksud perkataan Dokter Brian semalam. Hidupnya harus tetap berjalan. Biarlah ombak mendera, angin menerjang, ataupun bumi berguncang, tak ada yang bisa menerka kehendak Sang Pencipta. Biarlah tetap menjadi rahasia semesta, bahwa kebahagiaan akan dating dan indah pada waktunya.
Sekali lagi, Devina bukanlah gadis lemah meski ia baru berumur tujuh belas tahun. Tersisa waktu satu semester lagi untuk menuntaskan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas.
"I'm a happy person." bisik Devina sambil menatap pantulan dirinya di jendela kamarnya. Seulas senyum tertoreh di bibir manisnya. Kini jiwanya bangkit kembali, matanya berbinar penuh tekad.
Cklek!
Suara gagang pintu yang langsung dibuka tanpa ketukan sedikit mengejutkannya, Devina menoleh berbarengan dengan Mamanya yang muncul dari balik pintu.
"Dev, kamu mau keluar kok gak bilang Mama? Itu di bawah temen kamu udah nungguin."
"Temen? Siapa Ma?" Devina bingung, teman mana yang datang ke rumahnya? Bahkan Devina belum memberitahu siapapun tentang kepindahan rumahnya termasuk sahabat dekatnya -Alin.
"Cowok. Siapa itu tadi namanya.. Evan? Iya Evan! Anak temen Mama, ternyata kenal sama kamu juga. Udah cepet ganti baju jangan lupa ya Mama dibawain oleh-oleh pulang jalannya." Mamanya nyengir lebar sebelum menutup rapat daun pintu.
Mau apa tuh cowok ke sini?
Mamanya pulih begitu cepat sepulang dari rumah sakit. Bahkan menjadi lebih menyebalkan dari sebelumnya kalau itu urusan cowok yang berkunjung ke rumah mereka. Devina hanya mendengus sebal dengan permintaan Mamanya yang tidak pernah sembuh itu, atau tidak bisa disembuhkan? Setiap Devina pergi keluar ia akan meminta dibawakan oleh-oleh, meskipun Devina tidak pernah menolak sih. Belum sampai Devina beranjak pintunya kembali dibuka secara tiba-tiba.
"Cie udah move on beneran, nih? Gercep amat sih, kenapa lo? Jangan bilang dia pelarian lo ya? Waah ati-ati kena karma tuh, Kak."
"Ih! Ngurusin idup orang aja sih lu! Nih ya dengerin, gue udah move on se move-on move-onnya, dan asal lo tau aja, cowok yang lo kata pelarian gue itu Cuma dalem mimpi lo doang."
Devina membalas ucapan Deri tak kalah sinisnya. Entah kapan kakak beradik itu akan akur barang satu hari. Yang dicelotehi hanya diam tanpa ekspresi yang sebetulnya menahan tawa, kakaknya ini sangat mudah naik darah apabila digoda secara terang-terangan seperti sekarang.
"Yaudah, kalo lo sakit hati gara-gara dia jangan sungkan buat minta jasa kuping gue ya."
Oh God!
Setelah sibuk mencaci Deri dalam hati, Devina berpikir ulang tentang ajakan keluar Evan yang tanpa diundang itu, sejauh ingatan Devina ia memang belum pernah sekali pun keluar dari kandang-nya. Meskipun belum kenal jauh, tapi jika Mamanya sendiri yang mengijinkan ia pikir tidak masalah. Gue butuh udara segar. Batin Devina. Setelah bersiap, Devina bergegas menuruni tangga dan menghampiri Evan dan Deri yang sedang bercengkrama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle
Teen FictionA story from Devina. She doesn't love her life. But, Evan love her.