Unforced Feeling

102 10 4
                                        

"Kepada siapa kita jatuh cinta, hati yang berhak memilih. - Rara

Perempuan-perempuan seringnya punya kebiasaan; mendengarkan cerita perempuan lain yang patah hati, meyakinkan perempuan itu kalau semua akan baik-baik saja, memberi nasihat manis bak seorang petuah; tapi sendirinya tenggelam dalam masalah.

Andin, sepupuku yang sebentar lagi melepas seragam putih-abu-abunya tadi meneleponku dengan suara sesenggukan. Aku langsung tahu kalau dia sedang ada masalah dengan Ge, sahabatnya sekaligus orang yang dia cinta.

Tanpa diperintah aku langsung pergi ke rumahnya, menenangkan gadis patah hati itu sampai ia benar-benar kembali tersenyum. Butuh waktu memang untuk Andin menata hati, tapi jika dia bisa tersenyum sedetik saja, aku sudah lumayan lega.

Sepulang dari rumah Andin, aku langsung pulang ke tempat kos dan mendapati ada sebuah tas karton berwarna kuning cerah tergantung di kenop pintu. Ketika kulihat isinya, ada beberapa bungkus cokelat Milka kesukaanku dalam berbagai rasa. Secarik kartu ucapan terselip di antaranya.

Mamaku baru pulang dari Thailand. Katanya, cokelat ini semua untukmu.

Kumasukkan kembali kartu ucapan itu ke dalam tas karton sambil membuka pintu kamar kos, meletakkan benda itu di atas meja, lalu melempar diri ke tempat tidur. Kemudian aku mengambil ponsel dari saku celanaku dan dengan cepat mengetik sebuah pesan singkat.

Thank you, salam buat tante Imel.

Semenit berlalu, datang sebuah panggilan masuk, tapi aku buru-buru mematikan ponsel sebab aku sedang tidak berminat memikirkan masalah ini. Kepalaku pusing.

🍫

"Ini mau difermentasi, Ra?" Anna menujuk cokelat-cokelat dari tante Imel yang masih anteng dalam wadahnya. "Terus, yang ini mau dianggurin sampe berubah jadi batu?" Kali ini dia menunjuk boneka beruang seukuran anak umur sembilan tahun di sudut kamar kosku. "Ini juga mau dibiarin sampe abis dimakan rayap?" Jarinya beralih menunjuk novel di ujung meja yang masih tersampul plastik.

Ya, semua itu barang-barang pemberian Brian yang tidak bisa kutolak. Tapi hatiku pun tidak sepenuhnya menerima. Jadi kuanggurkan saja semua barang-barang pemberiannya.

"Rara, kamu buta atau bego atau apa, sih? Udah jelas kalau Brian itu suka sama kamu."

Tanpa perlu jadi peramal, Anna mendeklarasikan perasaan Brian tentangku. Dan itu semua benar adanya. Brian sendiri sudah beberapa kali memintaku jadi pacarnya, tapi aku menolak.

"Aku udah tahu, An. Dia juga udah pernah nembak aku."

"Terus?"

"Aku tolak."

"Alasannya?"

Aku menghela napas. Di kamar super sempit dengan kepala penat, rasanya aku ingin sekali berteriak kencang untuk melupakan masalah ini sebentar saja. Tapi aku tidak bisa, kalaupun aku bisa hal itu pasti tidak akan membuat masalahku hilang begitu saja.

"Alasannya... Daru."

Anna melotot. Buru-buru menghamburkan diri bersamaku di atas tempat tidur. "Sadar, Ra, sadar!" Anna yang bertubuh mungil mengguncang-guncang bahuku dengan hebohnya. "Andaru itu playboy cap kadal! Kamu nggak boleh suka sama dia!"

"Anna... Tahu dari mana kalau Daru itu playboy? Dan di jidatnya nggak ada cap stempel bergambar kadal, kok."

Anna menatapku gemas. Mungkin dia sudah mengumpatiku dalam hati sekarang. Ya, aku memang pantas dikatai bodoh, tolol, atau apapun terserah lah. Daru yang hampir tiap setengah semester berganti pacar dua kali, tetap tidak meraih predikat playboy di mataku. Kurang bodoh apa? Tapi aku tidak peduli.

"Ra, di depan mata kamu sekarang udah ada cowok sebaik Brian tapi kamu masih menggantungkan perasaanmu ke Daru?"

Aku mengangguk. "Kita nggak bisa milih kepada siapa kita jatuh cinta, An. Hati yang berhak. Dan hati nggak bisa didikte."

🍫

Sepulangnya Anna dari tempat kosku, aku langsung menghubungi Brian untuk mengajaknya bertemu dan aku akan membicarakan masalah yang akhir-akhir ini menyesaki kepala. Di kios mie favoritku ini lah aku duduk menunggu Brian dengan kostum reguler; kaos dan celana jin. Brian datang dengan penampilan lebih rapi.

"Kita pindah ke kafe, yuk?" Aku menggeleng. Cowok itu melihat meja di depanku hanya tersaji dua gelas es teh. "Kamu nggak pesan makan?"

"Aku cuma sebentar, mau ngomong sesuatu ke kamu." Brian menarik kursi lalu duduk dengan wajahnya yang ragu. "Soal permintaan kamu yang waktu itu..."

"Kamu mau jadi pacarku, Ra?" Brian menyela, buru-buru aku menggelengkan kepala dan kudapati raut mukanya langsung berubah. Dia kecewa.

"Maaf, aku nggak bisa." Tangan Brian perlahan terkepal di atas meja, kekecewaannya begitu tampak sampai aku tidak berani menatapnya. Tapi kalimatku belum selesai. Aku harus memberinya sebuah alasan supaya Brian berhenti mengejarku. "Aku suka sama orang lain."

Ia menggebrak meja, membuatku tersentak dan beberapa pasang mata di meja lain menoleh ke arah kami. "Jadi gosip kamu ngejar-ngejar Daru itu benar?" Suaranya meninggi. Aku hanya sempat membuka mulut sebelum ia berkata dengan nada tinggi lagi. "Kenapa kamu lebih memilih dia daripada aku, Ra? Dia itu cowok brengsek!"

"Aku nggak pernah ngejar-ngejar Daru. Aku memang sayang sama dia tapi aku nggak seperti cewek-cewek itu yang ngekorin kemana pun Daru pergi. Aku nggak sama seperti mereka!"

Brian terkejut mendengar perkataanku. Mungkin ia tidak menyangka aku bisa bicara sekasar ini. Aku mengambil dompet, lalu meletakkan uang dua puluh ribuan di atas meja untuk dua gelas minuman yang belum disentuh sama sekali.
Sambil bangkit dari kursi, aku berkata pada Brian.
"Kamu ingin tahu apa alasannya?" Jariku menunjuk sebuah organ yang sedang berdetak kencang di dalam. "Hati ini dengan sendirinya memilih Daru, Brian. Dan itu semua terjadi tanpa paksaan." Aku pun pergi.

🍫

Selang beberapa bulan setelah itu, pertemanan kami tidak pernah sama lagi. Brian sudah berhenti mengirimiku barang-barang setelah aku mengembalikan barang-barang pemberiannya lewat pos. Sekarang, kamar kosku terasa sedikit lebih leluasa.

Di kampus, Brian tidak pernah lagi menyapaku. Ketika kami tanpa sengaja berpapasan, dia selalu membuang muka, berpura-pura sedang mengobrol dengan seseorang, menghindariku.

Aku sadar, aku pantas diabaikan. Sebab jika ini sebuah dongeng, aku lah pemeran jahatnya. Tentu saja hal itu terjadi dalam versi Brian.

Sedangkan dalam versiku, kunobatkan diriku sendiri sebagai ibu peri. Tak akan kubiarkan Brian semakin sakit hati jika saat itu aku benar-benar menjalin hubungan dengannya. Bisa bayangkan betapa jahatnya aku ketika bibirku mengatakan cinta pada Brian, tapi hatiku dihuni sesosok Andaru?

Biarlah Brian menjadi pangeran dalam dongeng lain, bersama putri lain dan juga akhir bahagianya, yang tidak ia dapatkan bersamaku.
Dan biarlah perasaanku bersemi dengan sendirinya. Tanpa paksaan dari siapapun. Seperti Daru yang tak pernah memaksa hatiku, seperti aku yang tak pernah memaksa Daru untuk menengok ke arahku.

🍫

To:
My matcha princess Riri Dwi Andini
riri.d.andini (on IG)

Note:
Cerita ini tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan pribadi siapapu. Semua murni fiktif buatan author.
Terima kasih sudah bersedia membaca.
Kalau ada yang kurang berkenan,
just let me know :))

Faye-rytalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang