Part 7

4.5K 192 5
                                    

Malam ini entah kenapa hati ku tergerak untuk membicarakan hal yang selama ini tidak pernah terfikirkan oleh ku sebelumnya. Aku segera turun dari kamar untuk makan malam bersama papa dan mama. Beberapa saat aku hanya diam memikirkan keputusan yang sudah ku ambil saat ini.

" Tumben diem aja Mey?" Tanya mama ditengah-tengah kegiatan makan kami. Papa juga melirik kearahku, bahkan tatapan papa saat ini bagiku seperti sedang mempertanyakan keseriusanku.

" Pa, Ma. Mulai besok Mey mau bantuin Papa dirumah sakit deh. Mey mau coba ngerawat pasien-pasien disana!"

Sontak papa ku sedikit tersedak, mendengar hal yang tidak pernah terfikir akan keluar dari mulut ku sendiri.

" Kamu serius?" Tanya Papa memperjelas keputusanku.

" Iya Pa. Apa gunanya Mey sekolah keperawatan kalo cuma nganggur? Lagian kan papa udah nyekolahin Mey mahal-mahal!"

Papa dan mamaku saling menatap satu sama lain. Aku paham mereka masih sedikit bingung dengan perubahan sikap ku. Orang yang tidak terlalu peduli dengan orang lain, orang yang selalu menghabiskan uang demi dunia fashion yang diinginkan, dan orang yang tidak pernah mau berurusan lagi dengan jarum suntik kini malah ingin bekerja dan merawat pasien dirumah sakit.

" Ok, papa setuju. Tapi papa mau tanya satu hal, apa keputusan kamu ini karena Dokter Alvin?" Papaku bertanya penuh selidik, membuat wajahku nampak tersipu.

" Emmm.... mungkin!" Jawabku dengan ragu-ragu, namun itu cukup untuk membuat papa dan mamaku tertawa.

" Wah, kalo gitu besok malam kita harus undang Dokter Alvin makan malam nih Pa. Baru kali ini lho ada cowok yang bisa bikin Mey berubah sedrastis ini!" Seru Mama dengan hebohnya.

" Ih, apaan sih Mama. Nggak sepenuhnya karena dia juga. Aku kayak gitu karena ngerasa harus ngelakuin hal yang bermanfaat aja. Dan itu juga karena papa, aku nggak nyangka kalo papa sedermawan itu bantuin anak-anak yang ada diyayasan milik keluarganya Dokter Alvin!"

" Oh, jadi kamu udah kesana? Kita harus bersyukur diberi kesehatan dan rezeki yang berlebih Mey. Dan kita juga harus memberi pada orang-orang yang lebih membutuhkan dari pada kita!" Tambah papa lagi.

Aku beranjak dari kursi ku, mendekat kearah papa dan memeluknya dari belakang. Ada kebanggaan tersendiri mempunyai papa sebaik papaku ini.

***

Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobilku yang terparkir dihalaman rumah sakit. Hari ini adalah awal untuk profesi baruku.

Papa sudah terlihat berdiri menungguku didepan pintu masuk rumah sakit. Papa tampak tersenyum menatapku yang berjalan kearahnya.

" Akhirnya suster Mey datang juga!" Goda papa atas kehadiranku.

" Pa, apaan sih. Aku ngerasa aneh dipanggil begitu," bisik ku pada papa yang sudah berjalan masuk menuju ruangannya bersama ku.

Didepan ruangan papa kini terlihat beberapa orang pegawai rumah sakit itu berdiri rapi. Mulai dari staf, beberapa perawat, dan juga dokter terlihat disana. Namun pandanganku hanya tertuju pada 1 orang yang memakai jas putih berdiri disudut kiri tempat itu.

" Baik. Saya berterima kasih untuk kalian yang ada disini. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa mulai hari ini putri saya Meylinda akan ikut membantu dirumah sakit ini. Mohon bimbingannya kepada semuanya untuk membantu suster Mey dengan pekerjaan barunya!"

Semua orang yang ada disana langsung memberikan ucapan selamat datang padaku ketika mendengar pengumuman singkat dari papa. Setiap orang bergiliran menjabat tanganku sebelum kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Kini orang terakhir yang memberiku ucapan selamat adalah dokter Alvin, orang yang sejak tadi terus ku perhatikan dan selalu memberikan senyumnya kearahku.

" Selamat bergabung dirumah sakit ini!" Ucap Dokter Alvin sambil menjabat tanganku.

" Ma...makasih," Jawabku sedikit grogi.

Papa nampak tersenyum melihat kedekatanku dengan Dokter Alvin, mungkin karena itu papa memberikan usulan yang sejujurnya membuatku kaget.

" Wah. Sepertinya kalian sudah semakin akrab. Bagaimana kalau kamu membantu Dokter Alvin sementara ini?" Ucap papa membuat mataku terbelalak kearahnya

" Boleh. Saya senang bisa dibantu oleh suster Mey disini," balas Dokter Alvin membuatku hanya bisa tersenyum kecut kearah mereka berdua.

Kini papa meninggalkanku masuk keruangannya karena sedang menerima tamu, sedangkan aku dan Dokter Alvin sudah beranjak pergi memeriksa pasien pertama ku hari ini yang sebenarnya masih membuat ku gugup.

Seperti sebelumnya, dokter Alvin menerima rekap medis yang diberikan dokter jaga dibangsal perawatan pasien. Namun kini Dokter Alvin hanya meminta suster Mey, yaitu aku yang menemaninya.

"Apa yang harus aku lakukan saat ini? Bagaimana kalau nanti Dokter Alvin memintaku untuk memberikan suntikan ke pasien itu." Batin ku sudah mulai gelisah.

Tidak lama kami berdua sudah memasuki ruangan pasien kelas 1. Pasien pertama untukku sudah terlihat membaik, untuk itu Dokter Alvin hanya memberikan resep obat-obatan padanya. Rasa lega sudah menyelimuti hati ku karena sudah ada 3 pasien yang diperiksa namun semuanya sudah terlihat membaik, bahkan 1 orang sudah diijinkan Dokter Alvin pulang hari ini.

Namun kini tiba saat nya pada pasien ke empat. Cukup lama Dokter Alvin memeriksa keadaannya dan akupun ikut mencatat semua keterangan yang diberikan Dokter Alvin padaku kedalam catatan medis pasien ini. Kini Dokter Alvin memintaku mengambilkan obat dan alat suntik baru yang ada dinakkas samping ranjang pasien tersebut. Sontak aku hanya bisa menelan ludah ketika berjalan mendekati dan ingin mengambil alat suntik itu.

Aku mencoba menguatkan diriku saat ini, tidak ingin terlihat konyol dihari pertama ku bekerja apalagi didepan Dokter Alvin saat ini. Aku memegang jarum suntik itu dengan tangan sedikit gemetar. Memberikan obat pada jarum suntik itu sesuai arahan Dokter Alvin padaku. Melihat ujung runcing jarum suntik itu terasa sudah menusuk-nusuk sekujur tubuhku.

Dokter Alvin memintaku untuk memberikan suntikan pada pasien itu, kini rasa takutku terasa sudah sampai diubun-ubun. Aku pernah memberikan suntikan pada pelatihan keperawatan sewaktu ku sekolah dulu, dan terakhir membuat lengan temanku bengkak dan biru karena aku harus mencoba berkali-kali.

Kini hanya tinggal menusukkan jarum suntik itu ke pasien dihadapanku. Tanganku sangat gemetar, bahkan alat suntik itu bisa saja jatuh dari tanganku saat ini. Beberapa saat sebelum ujung jarum itu menyentuh tubuh pasien aku pun tercekat. Rasa takut itu lebih besar dari semangatku.

" Kenapa sus?" Tanya Dokter Alvin yang sejak tadi memperhatikanku.

"Ma...maaf. A...aku nggak bisa!" Jawabku terbata.

Pasien itu menatapku dengan tatapan bingung. Bahkan menurutku tatapan itu lebih terasa mengejek ketidak mampuan ku saat ini. Dokter Alvin segera mengambil alih tugas itu dan tidak lama sudah menyelesaikan tugas yang seharusnya menjadi kewajibanku. Setelah memberikan suntikan Dokter Alvin keluar dari ruangan itu yang langsung ku ikuti dari belakang.

Rasa maluku kini mungkin terlihat jelas diwajahku yang sejak meninggalkan pasien itu terus saja menunduk. Akupun hanya mengamatu langkah kakiku ketimbang memperhatikan jalan didepanku, hingga akhirnya aku menambrak Dokter Alvin yang menghentikan langkahnya didepanku.

" Aww.... "aku memegangi dahiku yang terbentur ujung Stetoskop yang masih terkalung dileher Dokter Alvin.

Seketika Dokter Alvin terkekeh geli melihat tingkahku, sementara aku masih terus mengusap dahiku yang sedikit sakit.

" Mau ke cafetaria?" Tanya Dokter Alvin padaku. Aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaannya, dan kami oun berjalan pergi ke cafetaria rumah sakit ini.

***

DOKTER, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang