:: gati ::

86 11 4
                                    


process - pertolongan pertama
- point of view: orang ketiga -
—————

"kalian akan di panggil satu per satu, nanti nama yang di panggil maju ke depan, buat tampilin bakat kalian," rana tercekat. gak, lagi. gak di sini, batinnya.

"abis itu, baru kalian boleh pulang."

ingin sekali rasanya rana pergi dari tempat itu. terakhir rana menunjukkan bakatnya, terakhir pula ia melihat matanya. terakhir pula ia membelai wajah imut anak kecil berumur 4 tahun—yang mungkin sekarang sudah menginjak usia 14 tahun.

10 tahun.

"gue panggil sesuai absen." ujar sang senior yang berdiri di atas panggung kecil.

tunggu, sesuai absen. siswa yang pertama, nomor satu. "azrana vatya," yang namanya di panggil melirik ke depan ragu. tak lama, ia memberanikan diri untuk maju ke depan.

di lihatnya kakak senior laki-laki di hadapannya memberi microphone seakan tau bahwa rana memiliki bakat untuk bernyanyi. ia mengambil mic tersebut dan naik ke atas panggung.

rana melirik gitar akustik di panggung, lalu menggendongnya dan duduk di kursi tinggi yang sudah di siapkan. gue harus bisa, di sebutnya kalimat itu berulang kali.

ia menatap ke arah penonton dan sekilas, ia melihat rama berdiri di paling pojok lapangan. rama tersenyum seolah memberi semangat kepada adik pertamanya.

rama juga takut hal ini terjadi lagi.

rana mulai memetikkan jarinya di senar gitar akustik yang di pangkunya, sesuai tempo. ia  memutar ulang adegan masa lalunya. posisi dan lagu yang sama.

shadows settle on the place, that you left.

our minds are troubled by the emptiness.

destroy the middle, it's a waste of time.

from the perfect start to the finish line.

suaranya memberat, matanya memanas, namun ia berusaha untuk mengakhiri satu lagu saja. mungkin, untuk yang terakhir kalinya.

and if you're still breathing, you're the lucky ones.

'cause most of us are heaving through corrupted lungs.

setting fire to our insides for fun,

collecting names of the lovers that went wrong,

the lovers that went wrong.

selesai ia bernyanyi, semua murid bertepuk tangan, sadar akan bakatnya yang cukup baik dalam hal bernyanyi dan bermain musik, khususnya gitar.

"youth? pilihan yang bagus. selamat, rana!" ujar kak mario—yang namanya dapat di lihat dari blazer osisnya—pratama, tersenyum.

dilihatnya kembali rama, yang tersenyum bahagia mengarah kepadanya. rana mengembalikan gitar serta mic pada tempatnya dan mulai menuruni panggung.

perutnya kembali sakit mengikat, matanya berair, kepala berputar adalah beberapa kendala yang rana rasakan sekarang. apa yang terjadi selanjutnya? pingsan?

dan tebakan kalian benar. hal terakhir yang di lihatnya adalah dua orang laki-laki yang berlari ke arahnya, juga meneriakkan namanya.

/////

butuh dua jam untuk membuatnya sadar. jam dua sampai jam empat sore, dan usaha rama menempelkan minyak kayu putih ke dekat hidungnya rana nggak sia-sia.

rana mengerjapkan matanya beberapa kali, beradaptasi dengan lampu uks yang tepat berada di atas kepala rama—di sampingnya.

"lo pingsan lagi," rana membuang mukanya. dia tau kalau kakaknya akan menceramahinya selama satu jam penuh. "kenapa sih lo gak pernah mau makan tepat waktu?" ujar rama, khawatir.

"maag lo kambuh lagi, kan? sukurin," lanjutnya. rana memukul perut kakaknya lemah, di respon dengan rintihan rama yang berlebihan.

"ih! jahat!"

rama terkekeh pelan, "makanya, makan. makanan di kantin sekolah gue juga enak-enak, kok, dan bergizi." tuturnya sambil mengacungkan jempol. "eh, betewe, tadi yang gendong lo ke sini bukan gue, lho."

rana mengernyit bingung, "hah? siapa?"

kakaknya menggeleng-menaikkan bahu, "hmm... auk. temen lo, katanya."

rana mengangguk setengah mengerti, setengah ragu. satu-satunya orang yang baru berkenalan dengannya pagi ini,

cuma naren.







***

573 words

x tinggalkan jejak x

process [lowercase]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang