Ini adalah satu kisah tentang Lea dan Ben. Ben yang menaruh perasaan pada Lea tapi tak cukup berani mengatakannya. Ben mengafirmasi dirinya, siapalah dia dan siapalah Lea. Dia hanya bocah tambun yang tak pernah pantas mendapatkan Lea.
Itik buruk rupa yang mendamba putri dari negeri dongeng. Seringnya Ben cuma menatap Lea dari kejauhan. Dengan degup yang memenuhi dada. Dengan rasa yang kadang tak tertahankan hingga Ben harus cepat-cepat membuang tatapannya jika tak mau mati karena perasaan.
Perasaan Ben terhadap Lea diketahui oleh teman perempuan Ben. Perempuan bertubuh kurus tinggi yang duduk persis di depan Ben. Teman sekelas yang duduk di posisi seperti ini biasanya sering berbagi cerita. Dan entah kenapa di suatu siang Ben bercerita tentang Lea dan perasaan itu. Ben yang mendamba. Ben yang mengagumi. Ben yang memilih mengubur angan-angan.
Perempuan kurus tinggi itu bilang pada Ben kalau ia mesti mengungkapkan perasaannya. Apa pun yang akan terjadi, penolakan atau penerimaan, bukanlah hal yang mesti ditakuti. Ben hanya mengangguk-angguk dinasehati seperti itu. Sungguh, mestinya seseorang bilang pada Ben: pakai logikamu Ben, di mana-mana cewek cuma mau sama cowok ganteng, kecuali... ada hal-hal lain yang dilirik dari lelaki itu. Uang misalnya, atau latar belakang keluarga, warisan bisa jadi, atau malah kendaraannya yang super mentereng.
Kenyataannya, tanpa perlu ada orang yang bicara seperti itu pun, Ben tetap tidak mengungkapkan perasaannya. Mungkin ia sadar diri. Atau bisa jadi ia memang pengecut yang tak punya nyali. Alih-alih nembak Lea, Ben masih saja suka mengamati Lea diam-diam dari balik jendela kelasnya.
Semuanya tak pernah baik-baik saja ternyata. Cinta yang aman dan tanpa cela cuma ada di fiksi-fiksi belaka. Juga cinta diam-diam Ben yang disembunyikannya rapat-rapat. Segera saja beredar kabar bahwa makhluk kasta bawah jatuh cinta pada seorang malaikat.Mata demi mata memandang Ben ketika ia masuk ke gerbang sekolah. Oohh... ini toh cowok yang ngga punya cermin di rumahnya sampai naksir Lea segala. Waduh, ngga punya otak amat ya, naksir sama Lea. Ya elahhh..., tampang kayak gitu, body kaya gitu, suka sama selebriti sekolah. Kurang lebih begitulah yang Ben tangkap dari tatapan-tatapan itu. Dan segala ketidaknyamanan yang kemudian semakin berkembang dari hari ke hari. Yang awalnya cuma tatapan, kini berubah jadi sindiran, dan lama kelamaan menjadi bulliying.
Ben tak tau apa yang salah dengan jatuh cinta pada seseorang. Ketika semua menjadi memusuhi dan menghakiminya karena perasaan tersebut. Ben jadi takut datang ke sekolah sekarang. Ia tak mau jadi bahan olok-olok, perkataan nyinyir, juga candaan yang lebih terasa seperti menghina daripada sekedar mencari lucu.Sementara Lea yang awalnya tak tau tentang seorang pengagum yang menaruh perasaan begitu dalam, kini mulai mendengar cerita dari orang-orang di sekitarnya. Lea tak peduli awalnya. Hidupnya terlalu sibuk untuk melayani sapaan penggemar-penggemar di sekolah. Ia hanya punya sedikit waktunya karena sudah sebagian besar waktunya sudah diisi untuk tebar pesona dan menciptakan kekaguman orang-orang pada dirinya. Tapi ketika cerita semakin santer terdengar, mau tak mau Lea pun harus membuka mata dan telinga.
"Yang mana sih?" Tanya Lea suatu kali. Ia mengibaskan rambuntnya dengan cara yang elegan ketika teman yang duduk di belakangnya bercerita tentang Ben.
"Yang gendut itu. Yang ngga banget," jawab temannya dengan menambahkan ekspresi mengerikan untuk mewakili Ben.
Mudah saja bagi Lea mencari Ben. Tak perlu menunggu lama untuk Lea tau siapa yang namanya Ben itu. Saat Lea bertatap muka, ia tak menyeringai jijik atau memegang dada karen ngeri. Lea bersikap biasa saja. Ia terlihat anggun dan elegan. Ia tak mau terlihat murahan. Tapi juga tak mau dianggap berlebihan.
Ben kira dalam tatap muka yang tak disengaja itu, ia bisa menemukan siapa Lea sebenarnya. Yang ternyata sangat baik dan murah hati. Yang tidak angkuh seperti di bicarakan orang di belakangnya. Yang kemudian menyapa Ben dengan hangat dan bilang, ngga usah didengerin ya Ben, aku ngga masalah kok kamu seperti apa. Lagian kita bisa berteman kan? Begitulah angan-angan Ben.
Kenyataannya? Siapa sangka kalau Lea ternyata punya semacam kelompok pelindung yang meski tak bisa dibilang bodyguard tapi mau bersusah payah menjaganya, dan tentunya... melindungi Lea dari orang-orang seperti Ben.