Risalah Hati

178 1 1
                                    


Setelah tiga tahun berlalu, kisah terakhirku dengan seorang pria di masa SMP, akhirnya untuk malam ini ada yang mengajakku keluar untuk sekedar makan bersama. Ada perasaan senang membuncah dalam dadaku, walau hanya makan biasa. Iya, biasa. Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa itu istimewa? Hanya dinner di bawah gemerlap lampu kota, di pinggir jalan kota Bandung yang ramai, di depan sebuah pusat perbelanjaan terbesar kota ini. Dimana istimewanya? Tapi, mengapa aku merasa?

Hari-hari setelah itu disibukan dengan deretan blackberry messanger-mu. Walau secara formal kita belum bisa di sebut berpacaran karena you-know ada yang disebut sebagai 'penembakan' sebelum proses itu. Tapi aku merasakannya. Merasa.

Entah kau.

Setiap BBM-mu atau ajakan keluarmu membuatku di atas awan. Semua kata 'kangen'mu membuatku berada dalam titik puncak kehebatan rasa suka cita. Jika itu tujuanmu, mengapa hanya aku yang merasa?

Sejuta pertanyaan muncul dibenakku.

Mengapa tidak kunjung tiba? Setidakpantas itukah aku untuk berada di sampingmu? Kadang aku merasa menjadi sesuatu yang hanya sedikit kau tengok keberadaannya. Senyum yang kau berikan. Usapan tanganmu di kepalaku. Pelukanmu di pantai kala itu. Cinta sepihak-kah aku?

"Hidupku tanpa cintamu, bagai malam tanpa bintang. Cintaku tanpa sambutmu, bagai panas tanpa hujan, jiwaku berbisik lirih, aku harus milikimu.."

Di suatu waktu aku mempertanyakan ketidakadilan hatimu pada malam itu. Di depan rumah biruku. Tepat lima bulan sejak ajakan keluar pertamamu.

"Aji, kita selama ini, jalan bareng, ketawa bareng, lewatin hari bareng-bareng, hubungan kita apa sih?"

"Kenapa tiba-tiba ngomongin itu sih, din?" katamu dengan gelisah.

"Ya, semua yang kamu kasih ke aku, ga bisa aku rasain kalo kita cuma 'sahabatan' aja loh, ji"

"Dina sayang, aku nyaman gini, apa sih bedanya? Kalo udah jadian, terus apa?" katamu dengan ketus.

Aku terdiam.

Setelah itu, aku tidak berani mempertanyakan status kita. Bagaimanapun aku bertahan karena aku yang merasa. Jadi, mungkin aku berdiri untuk mempertanggung jawabkannya. Hari-hari setelah itu aku masih terus berharap padamu. Walau, entah kenapa setelah itu itensitas BBM kita makin melemah. Kadang kau hilang tanpa alasan yang jelas, kemudian kembali dan mengambil alih seluruh hatiku. Kau masih semanis dahulu. Dan aku masih selalu merasa.

"Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit waktu, biar cinta datang karena terbiasa .."

Biarkan aku, ji. Ijinkan aku membuat kamuflase dirimu dalam hatiku. Cukup nikmati saja cintaku yang seperti ini.

"Simpan mawar yang kuberi, mungkin wanginya mengilhami. Sudikah dirimu untuk kenali aku dulu. Sebelum kau ludahi aku, sebelum kau robek hatiku .."

Sebulan kemudian. Ketika aku keluar pusat perbelanjaan terbesar kota Bandung. Tepat dibawah kelap-kelip kota. Aku melihat sosokmu. Ditempat yang sama, suasana yang sama. Sedikit berbeda. Mungkin tendanya? Mungkin kursi kayunya? Atau penjual kaki lima yang ada di situ? Ah, tidak. Posisimu tetap sama di samping kanan. Tetapi aku di sebrang jalan. Posisi samping kirimu yang dulu milikku, duduk seorang wanita. Wanita yang bukan aku, yang kemudian kau kecup keningnya dan tertawa.

Pandanganku kabur. Airmata turun.

Hatiku robek. Sakit.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang