Satu Jalan Beribu Cabang

15 0 0
                                    

Udara kota besar ini terasa begitu panas.

Orang-orang berlalu-lalang dijalanan dengan pakaian terbuka, kacamata hitam, dan kipas kecil ditangan mereka. Peluh menetes dari kening mereka.

Panasnya benar-benar menyengat. Pertengahan bulan Juli memang seperti waktu terburuk.

Matahari terus mempertahankan eksistensinya diatas sana. Terus bersinar dan menerangi kota besar ini.

Panas menjalar sampai ke ujung kaki. Udara yang berpolusi seakan menambah buruk kesan kota ini. Rasanya begitu berat untuk sekedar menghirup udaranya.

Aku agaknya sedikit beruntung.

Siang ini, aku duduk diatas kursi nyaman, yang dilindungi kaca tebal.

Ya.

Aku ada didalam sebuah ruangan kecil dengan penyejuk udara yang lumayan besar. Tak ada setitik peluh yang nampak.

Bodoh.

Pekerjaan yang begitu banyak hari ini membuatku melupakan detil terpenting hari ini.

Aku bergegas menyambar kunci mobil dan pergi.

Pemandangan dijalanan kota besar ini sama saja. Sama-sama berasap, panas, dan padat.

Entah berapa lama lagi aku tahan tinggal disini, rasanya ingin pergi dan tinggal bersama kedua orangtuaku saja.

Sayang sekali, aku begitu membutuhkan pekerjaan di kota ini. Setidaknya penghasilan disini begitu menjanjikan.

Jalanan kota ini begitu padat. Rasanya aku menjadi salah satu dari orang-orang yang baru kulihat dari balik kaca apartemen tadi.

Aku memacu mobil ini tanpa rem, yah, maksudku kau tidak membutuhkannya, kecepatan hanya bisa berkisar tiga belas sampai dua puluh kilometer per jam. Pedal rem hanya dibutuhkan saat ada sepeda motor yang seenaknya memotong, dengan bumbu pelengkap klakson yang ditekan 6 detik tentu saja. Atau, alternatif lain, kau bisa gunakan pedal gas. Ya, aku tidak merekomendasikan yang satu ini sih.

Alah.

Aku terlalu banyak melamun, untung saja dewi fortuna masih memihakku, aku sampai dengan selamat di tujuan. Aku harus bergegas.

Kini aku sudah bersantai dengan nyaman dibawah pendingin ruangan, dan duduk diatas sofa lembut yang empuk. Nyaman sekali.

Aku duduk bersama empat wanita lain yang sedang sibuk mempercantik diri mereka sendiri.

Mereka sudah tampak menawan.

Aku sendiri hanya duduk santai sembari sesekali menatap kearah mereka.

Ini bukan hari istimewaku, aku tidak harus berlebihan seperti mereka.

Yah. Jika kau ingin tahu, keempat wanita itu begitu sumringah menyambut hadirnya hari ini. Walaupun ini bukan hari bahagia mereka, namun mereka merasa peluang untuk bertemu cinta, khusus dihari ini naik drastis dari 0.2 menjadi 0.9.

Wanita berusia pertengahan dua puluh seperti kami memang seyogyanya memikirkan hal itu.

Tapi aku tidak.

Aku adalah sebuah pengecualian.

Cinta buatku bukanlah hal picisan yang bisa kau gapai dengan mengemis atau memaksakan diri untuk mencari.

Jika ia jodohmu, Tuhan akan hantarkan.

Jika ia bukan jodohmu. Tuhan akan singkirkan.

Ya, itu opiniku.

Aku juga kurang tertarik soal cinta, aku lebih mengutamakan karier dan kesuksesan masa mudaku.

Jika kau tanya soal cinta...

SatuWhere stories live. Discover now