Viktor

21 3 0
                                    

          Hal yang pertama kali aku sadari dari Viktor Axelsen adalah dia cakep, cakep, cakep, cakep, manis, manis, manis, manis,.... Ya Tuhan, siapa sih yang tidak bilang cakep kepada seorang pria bermata biru dan punya lesung pipit yang selalu menghiasi lekukan manis pipinya? Atau suaranya yang selalu menggema di kepalaku, mengisi kekosongan.

          "Jadi, kamu pergi berlibur di Bali sendirian?"

          Aku berpaling dan menjawab, "Yah, aku suka berpergian sendiri."

          "Memang sih, aku juga suka pergi sendirian. Kamu dari mana?"

          "Aku dari London, Inggris. Kamu?"

          "Denmark."

          "Denmark? Wow... Lebih jauh dari yang kukira." Aku mengangkat sebelah alis.

          Dia tertawa, "Memangnya kamu kira aku dari mana?"

          Dari surga, Malaikat Bermata Biru. "Tidak, hanya tidak menyangka. Kemari liburan juga?"

          "Ya, sekalian sambil coba-coba kuliner kopi di sini, aku dapat rekomendasi bahwa di sini kopinya enak-enak." Aku melirik ke arah kopi Falalaku, kopi tanda minta maaf Viktor untukku. Yap! aku berhasil terbujuk untuk nongkrong bareng dia di Cafe kecil yang terletak di pusat Kuta Square. Jadi di sinilah aku, bagaikan pasangan muda mudi pada umumnya, nongkrong di cafe, ngobrol, duduk berdua....

          "Kamu sudah pergi kemana saja?" Tanyanya.

          "Aku baru ke Pantai Pandawa, Uluwatu, dan Pantai Kuta."

          "Pantai Pandawa? Aku belum kesana. Bagus tidak tempatnya?" Tanyanya ingin tahu.

          "Tunggu. Memangnya pemandu wisatamu tidak membawamu kesana?"

          "Aku tidak menggunakan jasa pemandu wisata." Jawabnya santai.

          Wow, cowok yang suka kopi dan terbiasa untuk sendiri.... Pantas saja aku suka dengannya, dia sama sepertiku, sendiri. Aku menceritakan semua hal aku ingat tentang Pantai Pandawa, sebagian adalah berdasarkan pengalamanku sendiri (Aku sama sekali tidak ingat cerita Mr. Ketut). Dia mendegarkan dengan saksama seluruh ceritaku, bertanya tentang macam-macam, dan tampak begitu antusias mendengar destinasi wisata baru.

          "Baru setelah itu Mr. Ketut membawaku ke Uluwatu untuk melihat matahari tenggelam dan menonton tari Kecak." Aku menutup ceritaku.

          "Aku sudah pergi ke sana, tarian yang bagus. Juga matahari tenggelam yang luar biasa," dia menatapku, "Kita juga bertemu di sana."

          Ada sesuatu dari cara dia mengatakan kita, penekanan yang sangat menegaskan momen ketika aku menabraknya. Dan aku yakin bahwa tabrakan itu bukan hal biasa. Terjadi sesuatu. Diantara kami. Berdua. Aku cuma bisa tersenyum dan menatap ke arah jendela, ke jalanan. Aku kaget melihat banyaknya turis yang memenuhi jalan. Hari telah berubah warna menjadi jingga. 

          "Kemana mereka? Semua tampaknya pergi ke pantai." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

          "Oh, sudah waktunya," Viktor melirik jam tangannya, "Ayo."

          "Ayo kemana?"

          "Matahari tenggelam, orang-orang ini akan menonton matahari tenggelam di  Pantai Kuta."

          Dia mengajak aku untuk melihat matahari tenggelam? Berdua? Dia sendiri sudah begitu mengagumkan tanpa matahari tenggelam dan sekarang? Kurasa aku akan mati berdiri. 

Sunset RoadWhere stories live. Discover now