Kisah Papan Selancar

20 4 0
                                    

       Aku memuntahkan pasir sambil memperhatikan papan selancar yang terbelah. Layaknya sebuah pohon yang dihantam oleh angin topan dan patah menjadi dua bagian, papan selancar itu kini tak bisa lagi dikatakan sebagai papan selancar. Hanya ada setengah bagian dari kayu lonjong itu yang menancap di pasir, sedangkan bagian lainnya tergeletak tak jauh dari tempat Jo berada. Aku meringis menatap bekas patahan bergerigi di ujung papan dan menatap Jo.

       "Emm..... Jo?" Panggilku.

       Dia bergeming dan berbalik, mata coklatnya menatapku. Aku berusaha untuk mencari-cari sesuatu di matanya, suatu ekspresi, entah apa. Rasa takut, sedih, panik, malu, dan sebagainya. Tapi ekspresi Jo tetap datar. Tidak tercermin apapun di mata hazelnya. Akupun bertanya-tanya apakah urat malu gadis ini sudah putus atau apa, tapi kutepis pikiran itu jauh-jauh. Ada sesuatu yang lebih penting sekarang yang perlu kami bereskan.

       "Ya......"

       "Ng.... Aku tidak tahu apa yang akan kita katakan pada sang pemilik papan mengapa ini bisa terjadi  dan tidak mungkin rasanya memperbaikinya. Jadi bisakah kau memberi alasan atas...." Aku menunjuk papan selancar, "Ini...."  

       "Tentu saja kita akan berterus terang." Balas Jo sambil bangkit.  

       "Kau yakin dia tidak akan berubah menjadi Hulk dan membanting kita seperti yang Hulk lakukan pada Loki di Avenger?" Sebagai maniak Marvel, aku boleh terbilang cukup imajinatif bisa berkhayal di saat-saat genting seperti ini.

       "Viruma, kita akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Itu bisa jadi alasan yang cukup kuat dan dia, si pemilik papan pasti mau memaafkan."

       "Begitukah?" Sebuah suara berat terdengar dari belakang kami. 

       Refleks kami berdua berbalik dan berhadapan dengan seorang pria tua dengan tubuh kekar berdiri di belakang kami sambil memegang sekaleng bir. Tua yang kumaksud disini adalah umurnya pasti menginjak 50-60 tahun. Rambutnya berwarna putih tebal, begitu pula cambangnya. Perutnya agak buncit, tapi masih menampakkan otot-otot seolah-olah menegaskan bahwa dia pernah melalui masa-masa kejayaan saat dirinya masih lebih muda. Dia menggunakan celana boxer ala hawai dengan motif bunga yang tampak menyakitkan untuk dipandang (gak sesuai banget). Kakinya kurus dan gaya berdirinya bisa dibilang agak aneh.

       Dia mendesah dengan gaya dramatis yang dibuat-buat, membetulkan letak kacamata hitamnya dan berkata :

       "Aku baru saja meletakkan papan selancar itu 5 menit yang lalu, membeli bir dan lihat apa yang terjadi." Dia mengangkat tangan, "Dua orang gadis menghancurkan papan selancarku tanpa ampun. Seolah-olah mereka baru saja menenggak habis 5 gelas wiski dan teler."

       "Meskipun kalian tampaknya tidak teler sama sekali." Dia menunjukku dan Jo bergantian.

       Jelas kaulah yang teler bapak tua.

       "Begini sir, kami minta maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang terjadi dengan papan selancar anda. Itu adalah kecelakaan. Kami melakukannya tanpa sengaja dan itu memang salah kami sendiri, jadi berkenankah anda bila kami me-"

       "Tidak masalah." Potongnya.

       Aku membuka mulut untuk protes, tapi dia kembali memotong, "Tidak masalah."

       "Tidak masalah dalam apa?" Tanya Jo.

       "Bir yang kubeli tidak terlalu enak, tidak dingin. Tapi lumayan untuk siang yang panas ini" Katanya sambil mengangkat kaleng birnya.

       "Yang kami maksud bukanlah birnya sir, tapi papan selancar anda." Kataku berusaha untuk tetap waras.

       "Oh, ya, ya..... Papan selancar......" Dia kelihatan linglung sekarang. "Papan selancar..... Tidak masalah..... Bukan punyaku." Dia mengangkat bahu dan menenggak habis birnya.

Sunset RoadWhere stories live. Discover now