Hujan dan Duka

957 21 0
                                    

Siapa sangka, cinta yang dulu hadir di setiap hembusan nafasku kini berakhir dengan uraian air mata. Mereka yang dulunya hadir dengan membawa bungkusan cinta untukku, kini telah terbungkus oleh kain putih itu. Kini payung hitam yang ada di genggamanku ini membawaku ke peristirahatan terakhir mereka yang ku cintai.
Ayah dan bunda ku. Kecelakaan tragis yang menimpa mereka saat hendak mengurus perusahaan yang berada di luar kota, telah mengirim duka untuk ku. Sekarang keputusan ataukah memang takdir, aku resmi bertukar status menjadi seorang anak yatim piatu. Rintik hujan ini membuat hatiku semakin hendak berteriak untuk melepaskan segala amarah dan tangis yang sejak tadi kutahan.

Hujan...
bawa aku bersama mereka

Hujan...
Bantu aku agar lenyap dari dunia ini

Hujan...
bantu aku untuk percaya akan kenyataan ini.

Hujan...
Bantu aku untuk menahan sesak hati ini
Melihat nisan ini, seakan aku ingin menerobos masuk bersama mereka ke liang sempit itu,

Mereka akan kehujanan, kedinginan, bahkan kepanasan

Hujan, bawa aku hadir di sisi mereka, walau hanya sekadar memayungi mereka ketika engkau guyur mereka dengan air kasihmu, ataukah saat rekanmu hendak membakar kulit mereka dengan panas cahayanya..

Aku tak tega membayangkan apa yang mereka rasakan..

Mereka tak pernah membiarkan tubuhku terluka barang sedikitpun..

Namun sekarang saat mereka terluka, apa kah aku rela dengan derita mereka???

Hujan...
Beri keteduhan bagi mereka

ku titip kau pada ayah dan bundaku di peradaban sana

jemari ini bergetar saat hendak kusematkan rangkaian bunga pada nisan ayah dan bunda ku. Mereka bersanding dua di pekuburan. Aku tak pernah melihat mereka bersanding di pelaminan, namun kini aku di tantang oleh kenyataan pahit kala mereka pasrah dipersandingkan di pekuburan ini. Kesunyian dan kesepian akan menemani hari mereka di alam penantian itu.

Perlahan tangan hangat menyentuh pundak ku. Ya, dia adik bunda, Om Dava.

"Tahta, mari kita pulang."

Perlahan terdengar oleh ku suara beratnya yang ku rasa iba melihatku tertunduk pilu di antara nisan kedua orang tuaku.
Aku diam tak bergeming. Tetesan hangat mengalir lagi dari pelupuk mataku.

'Ayah, bunda mungkin ini salam perpisahan dari anak mu. Jaga dirimu di ruang sempit itu.' Aku mengusap lembut nisan keduanya. Aku tak bisa lagi memeluk mereka seperti yang sering kulakukan ketika akan melepas mereka ke luar kota. Tak akan ada lagi ayah yang akan mengecup keningku ketika ia hendak pergi ke kantor. Tak ada lagi pelukan hangat bunda ketika akan melepas ku berangkat ke sekolah. Sekali lagi air mata ini kembali menetes. Tak hanya menetes. Mereka mengalir melepaskan segala sesak hati ini. Namun tak bersuara karena usahaku untuk menahan perih nya.

"Ta, ayo sayang."
Om Dava kembali menyapa pundak ku. Namun kali ini kedua belahnya. Ia mengangkat tubuhku perlahan dan membawaku ke pelukannya. Aku merasa ketenangan di sana. Walau tak bisa menyamakan kehangatan dan ketenangan yang ku dapat dari dekapan bunda dan ayah. Namun ini lebih dari cukup saat tak ada lagi tempatku untuk melepas pilu ini.
Tatapanku kosong saat berlalu dari pekuburan itu. Pikiran ku melayang akan wajah ayah dan bunda saat mereka terbalut oleh baju terakhir yang membaluti tubuh mereka sebelum meninggalkan dunia ini.

Tak ada kata terakhir yang mereka tuturkan padaku sebelum mereka pergi. Kejadian ini seakan mimpi terburuk di hidupku. Dimana janji ayah dan bunda yang katanya akan selalu melindungiku. Akan selalu menyayangiku.

Hujan...
kau selalu setia menemaniku

Mulai dari aku menginjakkan kaki pertama kali di pekuburan ini,

Hingga kini, saat aku hendak pergi dan meninggalkan ayah dan bunda ku di sini,

Hujan...
Jika mereka terjaga nanti, sampai kan salam sayangku padanya,

Hujan,
Jaga mereka dengan keteduhanmu
Aku percaya padamu... karena kau lah sahabatku yang paling setia..

*

Malam temaram, aku menyudut di tempat tidur ini. Warna indah kamarku tak sejuk lagi ku tatap. Kini aku tarpaku kaku menatap ke arah jendela kamar yang sengaja tak kututup gordennya. Terlihat air hujan yang kian deras berjatuhan mengalir di kaca jendela itu. Aku memeluk lutut yang kusedekapkan dengan tubuhku. Di sini aku rindu. Aku ingin berlari saja ke pekuburan yang masih basah itu. Bahkan sekarang pasti lebih basah diguyur oleh rentetan air hujan yang tak kunjung berhenti dari tadi pagi.
'Ayah dan bunda pasti kedinginan, mereka basah kuyup sekarang.' Batinku mengerang dan habis sudahlah pertahanan hatiku. Bening itu mengalir perlahan di permukaan pipiku.
Kini hanya aku dan bi Iyem serta mang Sarwi di rumah ini. Sore tadi Om Dava sudah pergi bertemu dengan rekan bisnis ayah untuk mengurus perusahaan ayah. Untuk sementara Om Dava yang akan mengurus perusahaan ayah.

Hujan...
Inikah jalanku???
Menatap sendu kehidupan dengan pilu???

Hujan...
Bawa mimpiku kembali
Ajak aku berangan-angan lagi
Tidakkah luka ini dalam???
Apa kau bisa obati segala sesak ini???

Hujan...
Cinta itu dusta...
Kenapa ayah dan bunda tak menepati janjinya???
Apa mereka tak lagi mencintaiku???
Berarti tak ada cinta yang sejati
Cinta itu egois...
Bahkan cinta itu membunuh ayah dan bundaku...

'Mulai hari ini aku tak percaya cinta lagi'

**

'Bunda, jangan tinggalkan Tahta bunda...jangaan. ayah.... bawa bunda ke sini lagi ayah.' Ayah tetap saja menarik tangan bunda untuk menjauh dariku. tapi dari kejauhan ayah juga di tarik oleh sosok hitam. Ayah dan bunda berusaha meronta untuk berhenti. Ayah dan bunda bersusah payah memutar kepalanya untuk melihatku yang sedang terisak-isak.

Namun semakin jauh, ayah dan bunda melambaikan tangan mereka. Seulas senyuman terukir di bibir masing-masingnya. Apa aku harus mengikhlaskan mereka??? Namun aku tak bisa..

Sejurus kemudian, aku terbangun dari mimpi buruk ini. Kulihat jam dinding, ternyata masih pukul dua lebih dua puluh satu menit. Peluh membasahi leher dan wajahku. Aku bangkit dan duduk bersender di di sisi tempat tidur. Malam ini aku merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Biasanya saat aku mengalami mimpi buruk, maka setelah itu aku akan langsung menemui bunda di kamarnya dan menceritakan semuanya. setelah itu bunda pasti akan menenangkanku.
Namun kali ini, aku terbangun dalam malam yang sepi. Kesendirian, tanpa teman. Hanya bi Iyem dan mang Sarwi. Namun mereka juga ada di lantai bawah. Kepada siapa harus ku ceritakan semua ini???

Hujan...
Jangan berhenti
Aku butuh kau yang menemani
Tiada lagi yang peduli saat ini

Hujan...
aku mimpi buruk malam ini
Hanya kepada kau ku beritahu perihal ini
Jangan bilang siapa-siapa
Aku takut mereka tahu kemalanganku
Aku takut mereka mencaci kepiluanku

Hujan...
Mulai hari ini
Tolong temani setiap malamku
Karena aku takut sendiri
Bertemankan hening dan sepi

***

#Notes
Maaf part 1 sekian dulu. Komentar nya sangat dinantikan.

"Melibihi hidup, terkadang cinta tak hanya antara umat manusia, namun cinta juga bisa dihadirkan oleh sosok hujan tanpa kata, hanya rasa dan hati yang berbicara"
By: Rahmi_Ahmad

HUJAN MERAH JAMBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang