Seminggu berlalu setelah kepergian ayah dan bunda. Aku menapaki jalan dengan lamban. Hari ini aku tidak akan meminta mang Sarwi menjemput. Aku ingin pulang sendiri. Jalan kaki mungkin lebih baik untuk menetralkan batinku. Aku sudah berusaha mengikhlaskan kepergian ayah dan bunda.
Seminggu terakhir ini, aku sudah bisa beradaptasi tanpa ayah dan bunda. Sekali sebulan Om Dava akan memberiku uang saku. Sedangkan biaya rumah diberikannya pada bi Iyem.
Hari ini cuaca cerah. Hujanku tidak hadir sepertinya. Aku rindu hujan. Semoga malam nanti ia tidak lupa menemaniku.
Aku berjalan selangkah demi selangkah.
"Bruukkk." Tiba-tiba saja bunyi yang sangat keras menyadarkan ku dari lamunan yang panjang.
'Suara apa itu? Apa sebuah kecelakaan??'
Dari kejauhan aku melihat kerumunan orang di seberang jalan. Tanpa pikir panjang aku pun menghampiri kerumunan itu. Aku menelusup masuk ke dalam kerumunan itu.
"Permisi, permisi." Tak sengaja aku mendorong seorang cowok.
"Maaf. Aku tidak sengaja." Aku berusaha meyakinkan padanya atas ketidaksengajaanku.
"Never mind." Ungkapnya singkat dan seulas senyum terukir di bibir tipisnya. Aku tak bisa menepis. Wajahnya manis sekali.
"Perkenalkan, aku Gara." Suara nya membuatku kembali berbalik menghadap ke arahnya. Ia mengulurkan tangan kanan nya. Aku ragu-ragu menyambut uluran tangan itu.
"Tahta." Ucapku singkat.
setelah menyebutkan namaku, aku kembali berusaha melihat siapa korban kecelakaan itu. Ternyata seorang nenek tua korban tabrak lari. Aku heran tak ada orang yang mau menolongnya. Dengan sigap aku mendekat. Aku sempat linglung oleh darah segar yang mengalir di keningnya. Sepertinya kepala nenek ini terbentur keras tadi. aku menggoyang-goyangkan bahu nenek itu perlahan. Namun nihil, ia tak kunjung bangun. Mugkin dia pingsan. Aku berusaha mengangkatnya. Tapi tenagaku tak sanggup untuk itu. lalu, aku melihat sepasang tangan meraih ke belakang pundak nenek ini.
Ya, Gara. Dia membantuku mengangkat sang nenek. Tanpa kusadari aku mengikutinya. Ia dengan cepat memasukkan sang nenek ke dalam mobilnya.
Aku tercenung melihat kejadian itu."Ayo cepat naik." Ia setengah berlari mengitari mobil dan langsung membuka pintu kemudi.
"Iya." Sungguh aku tak sadar sama sekali atas jawabanku ini serta tingkah ku yang mengiyakan perintahnya.
Sungguh di luar dugaan ku.
Itu awal pertemuan ku dan Gara. Menyelamatkan nyawa seorang nenek yang tidak kami kenal. Hanya berdua. Penuh kepanikan. Hingga keluarganya berhasil kami hubungi. Untung si nenek membawa kartu identitas.Sore menjelang, aku sekarang di atas mobil Gara. Gara menawarkan ku untuk pulang dengannya. Karena sudah sore, aku tidak menolak tawarannya.
Beberapa menit kami diam seribu bahasa.
Namun suara Gara memecah kekakuan itu."Mau kuantar kemana nih?"
Ia menyunggingkan senyum indah itu lagi. Betapa pun aku tidak munafik. Itu sangat sweet."Tahta. Kau dengar aku??"
Suara beratnya lagi-lagi mengusik lamunan ku.Mati, kujamin mukaku sekarang pasti seperti kepiting rebus. Merah padam. Malu. Ketahuan memperhatikannya diam-diam.
"Ummgggh.. kompleks Merpati." Aku gelagapan menyebutkan alamat rumahku.
"Oke." Jawaban singkatnya berhasil lagi membius telingaku.
Jujur saja, perasaan apa ini??? Mungkin kah aku mengaguminya?? Kata bunda, kalau lama-lama mengagumi bisa jadi mencintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN MERAH JAMBU
RomanceCinta??? Tidak, aku tidak percaya cinta. Namun saat ia hadir. Aku lupa kalau aku pernah tak mempercayai cinta. Ya, aku mulai ingin mengenal lagi cinta. Hujan.... Ia mengenalku melebihi aku mengenal diriku sendiri. Namun pertanyaanku... Dari mana ia...